Oleh, Dalem Tehang
PAK Waras sempat menengokkan wajahnya ke arahku. Ada seulas senyum di wajahnya. Senyuman yang membawa seribu pesan tanpa kata. Ia berdiri dari tempatnya bermunajat dan membangunkan pak Ramdan serta Anton. Tidak lama kemudian, kami berempat melaksanakan solat Subuh berjamaah.
Baru saja kami selesai solat, turun hujan dengan lebatnya. Suara cucuran air dari langit yang demikian deras, melahirkan suara tersendiri ketika mengenai asbes sebagai penutup kamar. Sebuah senandung tidak beraturan dan hanya Tuhan yang tahu makna dentingannya.
“Alhamdulillah, habis subuhan turun hujan deres. Inshaallah bawa berkah buat kita semua,” kata pak Waras, sambil berdoa dari balik jeruji besi dengan menatapkan matanya ke arah langit.
“Kalau kata orang d kampungku, hujan pagi kayak gini berkahnya orang kaya, pak,” celetuk pak Ramdan, yang berdiri di samping pak Waras dengan memegang jeruji besi.
“Kok bisa ada pandangan gitu, emang kenapa, pak?” tanyaku, yang juga ikut berdiri di dekat jeruji besi dan menatapkan pandangan ke luar kamar.
“Karena kalau orang kaya, di rumahnya pasti ada stok makanan, om. Tapi nggak dengan orang yang susah. Harus kerja dulu hari itu, baru bisa beli makanan. Kalau hujannya dari pagi kayak gini, kan orang susah nggak bisa kerja. Otomatis nggak dapet pemasukan, dan nggak bisa beli makanan buat anak istrinya di rumah,” jelas pak Ramdan, panjang lebar.
“Masuk akal juga penjelasannya, pak. Tapi buat petani dengan sawah tadah hujan, hujan pagi gini mereka seneng. Karena tanemannya pasti seger dan bisa tumbuh subur,” kataku, beberapa saat kemudian.
“Sebenernya, apapun yang terjadi pada alam ini bawa berkah buat semua makhluk. Cuma kita sudah terbiasa ngenilainya dari ada yang diuntungin dan ada yang dirugiin. Padahal, hakekatnya nggak gitu. Rahmat Tuhan itu buat semua makhluk-Nya di muka bumi tanpa terkecuali,” ucap pak Waras, menimpali perbincanganku dengan pak Ramdan.
“Inilah yang aku senengi dari pak Waras, selalu kasih kita pengetahuan akan besarnya rahmat Tuhan. Dan keadaan di kamar kita yang selalu diisi dengan tambahan ilmu, buatku terus ngerasa nyaman,” ujar pak Ramdan, sambil tersenyum ke arah pak Waras.
“Sebenernya, aku juga nggak pinter-pinter amat, pak. Cuma pengen, kita setiap harinya bisa lebih baik dalam pikiran dan jiwa. Pikiran akan lebih terbuka kalau kita banyak baca atau ngobrol yang positif, sedang hati akan jadi lebih baik kalau kita banyak berkaca atau introspeksi diri,” tanggap pak Waras, dengan gaya khasnya; kalem.
“Tapi kan nggak bisa juga maksa orang lain ikuti kepengen kita walau nuju kebaikan, pak,” sela pak Ramdan.
“Ya bener itu. Tapi kita punya kewajiban buat nyampein dan ngajak untuk kebaikan. Soal orang lain mau ikuti apa nggak, bukan urusan kita. Wong, Kanjeng Nabi aja hanya bertugas nyampein dan ngajak, apalagi kita. Masak mau maksa. Kalau itu dilakuin, sama aja kita ngerasa lebih hebat dari Kanjeng Nabi dong,” sahut pak Waras. Ada senyum tipis di sudut bibir tebalnya.
“Kalau nurut pak Waras, hujan pagi ini pertanda apa?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan, karena air yang tumpah dari langit masih demikian deras.
“Pastinya ya bawa keberkahan, be. Makanya tadi aku berdoa, mengharap keberkahan dari hujan ini. Dan yang pasti, hujan adalah salah satu dari keghaiban yang sepenuhnya wewenang Tuhan,” jawab pak Waras.
“Maksudnya gimana, pak?” tanyaku lagi.
“Kanjeng Nabi pernah bersabda begini, be: Kunci ilmu ghaib itu ada lima, dan nggak ada yang tahu kecuali Allah Ta’ala. Pertama, nggak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi pada dirinya keesokan hari. Kedua, nggak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi di dalam rahim. Ketiga, nggak ada satu jiwa pun yang tahu apa yang akan dilakuinnya besok hari. Keempat, nggak ada satu jiwa pun yang tahu dimana ia akan mati, dan yang kelima, nggak ada seorang pun yang tahu kapan turunnya hujan,” urai pak Waras.
“Tapi perkembangan ilmu pengetahuan banyak yang bisa ngejawab keghaiban itu. Misalnya, dokter kandungan lewat alat canggihnya bisa ngelihat apa jenis janin di rahim, juga ada perkiraan cuaca dari BMKG, pak,” ucapku, menyela.
“Memang bener sih, be. Cuma semua itu sekadar bacaan atau perkiraan. Nggak ada kan dokter kandungan yang berani mastiin jenis kelamin bayi dalam rahim tetep sesuai yang dilihat dari alat canggihnya sampai sang bayi lahir ke dunia. Justru mestinya kita ngelihat perkembangan ilmu pengetahuan ini dari kacamata begitu kuasanya Tuhan. Dia kasih sedikit ilmu buat sebagian manusia untuk mahami kekuasaan-Nya, agar kita nyadari kenisbian kita. Bukan terus ngerasa kita sudah tahu banyak hal. Makin kita banyak belajar, semakin nyadari betapa banyak yang kita nggak tahu,” urai pak Waras tetap dengan gaya kalemnya.
Pak Ramdan menaruhkan dua cangkir di sela-sela jeruji besi tempat kami berdiri. Satu untukku berisi minuman kopi pahit hangat, dan satu lagi untuk Pak Waras teh manis.
“Terimakasih, pak,” kataku kepada pak Ramdan.
“Sama-sama, om. Mau sekalian dibuatin sarapan mie rebus apa ya. Biar badan tetep hangat, kan lagi hujan deres gini,” ujar pak Ramdan, beberapa saat kemudian.
“Boleh juga, pak. Sekalian buat tiga. Kalau stok habis, ambil di lokerku. Kayaknya masih ada mie instan disana,” jawabku.
Setelah pak Ramdan menyelesaikan membuat mie instan rebus, kami pun sarapan. Sambil terus berbincang ringan. Tiba-tiba Teguh bangun dari tempat tidurnya dan menuju ruang depan tempat kami tengah mengisi perut.
“Jadi kruyukan perut bauin mie ini, sampai kebangun tidur nyenyakku. Enak kali kalau sarapan juga ya,” ujar Teguh, langsung bergerak ke lokernya dan mengambil dua bungkus mie instan rebus.
“Kalau sarapan mah satu bungkus aja, Guh,” kata pak Ramdan.
“Tanggung, pak. Kalau cuma sebungkus rasanya kayak nyangkut di tenggorokan aja. Kalau dua bungkus, baru masuk perut,” jawab Teguh, dan menghidupkan kompor gas kecil untuk memasak mie instan, tanpa meminta pak Ramdan membuatkannya. (bersambung)

