-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 479)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 24 April 2023


Oleh, Dalem Tehang

 

SAAT kami melewati taman kecil di depan kamar 20, tampak pegawai rutan yang selama ini menjabat sebagai penanggungjawab Blok B tengah berbincang serius dengan Dino dan Basri. Aku menyapa mereka dengan menganggukkan kepala sambil terus berjalan, yang disahuti dengan anggukan juga.


Namun, baru beberapa langkah dari tempat mereka duduk, terdengar suara pegawai penanggungjawab Blok B memanggilku. Dan meminta untuk bergabung dengan mereka. Aku pun memutar badan, menuju ke taman kecil. Sementara pak Waras melanjutkan langkah kakinya menuju kamar kami. Kamar 30.


“Jadi gini, om. Dino sama Basri ini bakal segera dipindah ke lapas narkotika. Berbarengan dengan 25 orang lainnya. Otomatis napi penanggungjawab Blok B kosong. Kami tadi ngobrol-ngobrol, siapa kira-kira yang pantes jadi pengendali napi di blok ini sebagai ganti mereka, pilihan pertama jatuh ke om,” tutur pegawai penanggungjawab Blok B setelah aku duduk bersama mereka.


“O gitu, pak. Kenapa Dino sama Basri mesti pindah ke lapas narkotika, kan bisa diatur biar mereka tetep disini,” kataku.


“Ada ketentuan baru, om. Napi narkotika yang masa hukumannya masih di atas 18 bulan, wajib dipindah ke lapas narkotika. Tanpa kecuali,” jawab pegawai penanggungjawab Blok B berusia sekitar 41 tahunan itu.


“O, ada ketentuan begitu ya. Tapi, kenapa aku yang jadi pilihan buat kendaliin napi dan tahanan di blok ini. Kan banyak yang senior-senior. Apalagi, perkaraku baru akan putus minggu depan. Nanti malah nimbulin kecemburuan, nggak bagus buat suasana di blok kita,” ujarku, dengan serius.


“Aku sama Dino beberapa hari ini banyak tanya ke kawan-kawan di blok kita, om. Mayoritas setuju kalau om jadi kepala blok-nya. Mereka nggak mersoalin om sudah vonis apa belum, yang mereka lihat om orangnya enjoy dan bisa ngemong siapa aja,” Basri memberi penjelasan.


“Gini ajalah, biar om Mario pikirin dulu, sehari dua ini. Kami berharap, om mau jadi pengendali napi dan tahanan di blok ini,” tukas pegawai penanggungjawab Blok B seraya menatapku dengan serius.


“Oke, aku pikirin dulu ya, pak. Inshaallah secepetnya aku bisa ambil keputusan,” tanggapku, dan beberapa saat kemudian berpamitan untuk masuk ke dalam kamar sel.


Sesampai di kamar, aku langsung membersihkan badan. Kebetulan kamar mandi tengah tidak ada yang menggunakannya. Sambil mengguyurkan air ke sekujur tubuh, pikiranku melayang jauh. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan, mendadak berada di depan mata dengan begitu saja.


Tak ayal, aku pun langsung mengucapkan rasa syukur di dalam hati atas dua peristiwa bernilai positif yang aku alami hari ini. Tawaran menjadi tamping pada bagian umum dengan segala kebebasannya, dan menjadi kepala Blok B dengan semua kekuasaannya. Dua posisi dan kegiatan yang bagi sebagian warga binaan termasuk prestise. 


“Tumben ayah mandinya lama, lagi ada kegiatan ekstra apa ya di kamar mandi,” teriak Teguh, yang suaranya mengejutkanku.


Spontan terdengar suara tawa beberapa kawan yang lain, menyahuti teriakan Teguh. Aku memahami benar, bila seseorang berada di dalam kamar mandi cukup lama, yang terpikir oleh orang lain adalah yang berada di kamar mandi tengah melakukan sesuatu yang menjurus kepada pelampiasan nafsu seksualnya. 


“Mandi sambil mikir dan ngerenung, Guh. Kamu jangan cuma bisa mikir negatif aja dong,” balasku, juga dengan suara kencang. 


“Ayah ini emang manusia ajaib. Mikir dan ngerenungnya di kamar mandi,” sahut Teguh, masih dengan tawanya yang lepas.


“Payah emang kalau anak muda isi otaknya cuma pikiran cabul,” balasku lagi, dan ikut tertawa.


Tidak beberapa lama kemudian, aku telah keluar kamar mandi. Tampak Teguh dan kawan-kawan memandangi wajahku dengan serius.


“Kok ngelihatnya gitu amat ya, emang ada yang aneh?” tanyaku, menatap Teguh.


“Nggak sih, lagi merhatiin muka ayah aja, ada perubahan nggak. Kalau kelihatan agak pucet, pasti habis lampiasin gelegak nafsu yang nggak tersalur dalam kewajaran,” kata Teguh, dan kembali tertawa ngakak. 


“Dasar otak mesum, bisanya cuma mikirin yang cabul-cabul aja. Seneng bener kalau bisa ngerjain orang ya, Guh,” ucapku, juga tertawa.


Suara adzan dari masjid terdengar. Saatnya solat Maghrib. Pak Ramdan bergegas menggelar beberapa sajadah untuk kami solat berjamaah. Pak Waras memintaku menjadi imam. Ketika solat akan dimulai, Anton mengangkat tangannya.


“Kenapa, Ton?” tanyaku, menghentikan gerakan yang akan dilakukan.


“Kenapa sih kalau om jadi imam, bacaannya itu-itu aja. Kalau maghrib, rokaat pertama selalu 10 ayat pertama dari surah al-waqi’ah, rokaat kedua terus-terusan baca qulhu, falaq dan an-nash. Mbok iya, sesekali ganti kenapa, kayak pak Waras itu,” kata Anton.


“Ada alasannya, Ton. Nabi pernah bilang, bacalah surah al-waqi’ah setiap malam. Bahkan, nyuruh istri kita yang lebih utama ngebacanya. Makanya aku selalu baca ayat-ayat di surah itu waktu imam solat maghrib. Kalau soal selalu baca qulhu, falaq dan an-nash, itu sebuah pengakuan kemakhlukan kita yang berserah sepenuhnya kepada Allah. Minta perlindungan total dari perbuatan di luar nalar yang dilakuin jin dan manusia,” jawabku, dengan santai.


“Alasan lainnya, om?” tanya Anton, yang masih tampak penasaran.


“Ya, karena ayat-ayat itu yang aku hafal dan nggak bakal salah bacanya, Ton,” lanjutku, sambil tersenyum.


“Nah, jawaban ini yang aku mauin, om. Seorang imam kan emang harus fasih dan mahami makna dari ayat-ayat yang dibacanya, baru kita yang jadi jamaah juga pede,” tanggap Anton.


Mendadak pak Ramdan kembali meneriakkan iqomah untuk memulai solat, setelah sebelumnya sudah dilakukan namun terpotong dengan perkataan Anton. Akhirnya, kami pun berkonsentrasi untuk melaksanakan prosesi persujudan kepada Ilahi Rabbi dengan hati yang penuh kepasrahan dan semata-mata hanya berharap ridho-Nya. (bersambung)

LIPSUS