Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 483)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 28 April 2023


Oleh, Dalem Tehang

  

SEUSAI menikmati sarapan mie instan, aku langsung membersihkan badan. Hujan yang masih mengguyur bumi, membuat lebih segar badanku setelah tersiram air dari bak di kamar mandi. 


Mengingat jika siangan nanti istri dan cah ragilku akan datang, aku pun langsung memakai kaos khusus, bertuliskan WBP, dan bercelana pendek.


“Wah, om sudah siap dari pagi karena tante mau besukan ya,” ujar Anton, melihatku telah memakai kaos dengan tulisan WBP, yang menjadi “pakaian resmi” warga binaan bila ingin keluar dari area steril rutan.


“Biar nggak nambah lagi pakaian kotornya, Ton. Makanya sekalian pakai kaos WBP. Di kantong plastik ini sudah banyak bener baju yang mau dibawa pulang buat dicuci,” sahutku, sambil tersenyum.


“Kamu nggak ada besukan, Anton?” tanya pak Waras.


“Nggak tahu, pak. Mau ada yang besuk, syukur. Nggak juga, ya nggak apa-apa. Aku mah nerimo aja,” jawab Anton, seraya tersenyum kecut.


“Aneh juga orang tuamu itu ya, Anton. Masak nggak mau nengokin anak sendiri. Malahan suruh orang nemuin kamu,” kata pak Ramdan, menyela.


“Mereka punya pertimbangan sendiri pastinya, pak. Tapi justru dengan sikap mereka itu, buatku nambah dewasa,” tanggap Anton dengan kalem.


“Maksudmu gimana?” tanya pak Ramdan lagi.


“Kita kan nggak bisa anggep sesuatu yang wajar nurut kita, juga sebuah kewajaran buat orang lain, pak. Walau itu orang tua sendiri. Emang sih, kadang nggak masuk akalku, masak demi ngejaga martabat dan jabatan, sampai kedua orang tuaku tega nggak pernah mau nengokin anaknya yang di penjara. Tapi, aku nggak benci mereka, aku malah bersyukur dengan sikap mereka. Karena membuatku jadi pribadi yang tegar, mandiri, dan sadar kalau dalam hidup ini nggak boleh ngandelin orang lain,” tutur Anton dengan panjang lebar.


“Jadi maksudnya, justru dengan mereka nggak mau besuk, bukti mereka sayang dan mendidik kamu, gitu ya,” sambung pak Ramdan.


“Iya, sederhananya gitu kesimpulanku, pak. Mereka ngajari aku buat mahami begitu beratnya nebus sebuah kesalahan. Juga ngedidik biar aku jadi orang yang mandiri. Dan Alhamdulillah, aku enjoy dengan kondisi ini,” jawab Anton. Ada seulas senyum lepas dari bibirnya.


“Nggak nyangka, ternyata kamu punya mental tangguh, Anton. Terus asah kelebihanmu itu. Aku yakin, nantinya seberat apapun perjuangan buat meraih sukses, bisa kamu lalui dengan baik. Karena jiwa dan pikiranmu sudah terlatih,” pak Waras menimpali.


“Aamiin. Terus bimbing dan doain ya, pak. Buatku, penjara ini adalah sekolah kepribadian dan kehidupan. Setiap saat aku selalu dapetin ilmu nuju kebaikan, dan aku bersyukur bener. Mungkin kalau nggak masuk sini, belum tentu jiwa dan pikiranku bisa lebih terbuka kayak sekarang,” ujar Anton dengan wajah serius.


Seorang tamping kebersihan yang merangkap menjajakan berbagai menu makanan untuk sarapan, berdiri di depan jeruji besi kamar kami. Anton langsung memesan nasi kuning untuk ia sarapan. Tamping itu juga menawarkan dagangannya kepada aku, pak Waras, dan pak Ramdan. Namun kami katakan, bila telah sarapan. 


Tiba-tiba Teguh berteriak dari tempat tidurnya. Meminta dua bungkus nasi uduk. Sambil berjalan sempoyongan karena belum stabil badannya selepas tidur, ia merogoh kantong celananya, dan membayar makanan yang ia pesan.


“Gimana badanmu nggak bengkak kayak gajah gini, Guh. Sarapan aja selalu dua piring. Mie harus dua bungkus, sekarang nasi uduk juga dua bungkus,” ucap pak Ramdan, melihat Teguh yang dengan lahap memasukkan makanan ke mulutnya.


“Kalau masih enak makan itu berarti kita sehat, pak. Kalau makannya sedikit, berarti lagi kurang sehat. Itu aja kuncinya,” sahut Teguh, dengan santainya.


“Tapi ya nggak wajar juga kalau sarapan sampai nambah mah, Guh,” lanjut pak Ramdan.


“Pak, kita ini hidup di dunia penuh ketidakwajaran. Jadi, jangan sedikit-sedikit ngomong soal kewajaran. Pusing sendiri nanti. Jalani aja semuanya dengan santai, nggak usah banyak pikiran biar tetep enak makan,” kata Teguh lagi.


“Bener itu, selama kita masih enak makan, berarti kita sehat dan enjoy. Gitukan, Guh,” Anton menyeletuk.


“Iya, bener gitu, Anton. Kita yang banyak makan dan tetep rutin aja, berat badan terus turun, apalagi kekurangan makan. Bisa-bisa kerempeng kayak orang penyakitan,” ucap Teguh, disertai tawanya.


“Emang berat badanmu turun, Guh?” tanya pak Ramdan.


“Turun empat kilo aku ini, pak. Makanya belakangan aku banyakin makan, biar naik lagi. Seimbang antara tinggi dan berat badan. Jadi laki-laki berpenampilan ideal itu yang bagus,” jawab Teguh.


“Kalau itu sih bukan soal kekurangan makan, Guh. Tapi karena pikiran nggak karu-karuan, ditambah batin nggak pernah tenang. Mau makan sebanyak apa juga, tetep aja nggak bakal naikin berat badan,” kata pak Ramdan.


“Coba siapa di rutan ini yang pikiran dan hatinya selalu tenang, aku yakin nggak ada, pak. Paling juga, siang hari ngerasa tenang, malemnya nggak karuan. Bohong besar kalau ada yang bilang di dalem sini tetep bisa terus enjoy dan tenang. Pasti naik-turun itulah yang dirasa pikiran dan jiwanya,” urai Teguh, panjang lebar.


Perlahan, hujan pun mereda. Sinar matahari mulai tampak. Menyibak pekatnya awan. Beberapa tamping kebersihan langsung bergerak. Mengeringkan selasar di depan kamar tahanan yang terkena tampias air hujan selama beberapa waktu ini.


Baru saja aku meninggalkan ruang depan dan duduk di bidang tempat tidur, Anton memanggilku.


“Om, ada yang cari,” teriak Anton.


Aku berdiri dari tempatku. Tampak Yoga sedang berdiri di balik jeruji besi. Pria muda yang menjadi tamping pada bagian umum tersebut, berpenampilan perlente. Memakai kemeja warna biru dipadu merah, bertuliskan “Tamping Kantor” pada bagian depan dengan huruf kecil melingkar, ia langsung tersenyum saat mengetahui bila aku telah melihatnya.


Setelah kami bersalaman dari sela-sela jeruji besi, ia mengajakku untuk ke tempat tugasnya sebagai tamping.


“Jangan sekaranglah, Yoga. Aku belum siap. Apalagi belum lengkapi administrasi. Nanti jadi masalah kalau aku muncul kesana,” jawabku.


“Bos yang suruh, bang. Tadi pagi dia nge-chat aku, suruh ngajak abang. Nggak bakal ada masalah, tenang aja. Biar Bos yang turun tangan kalau kemunculan abang ada yang persoalin,” kata Yoga. Meyakinkan.


“Baikan gini deh, Yoga. Kamu siapin aja surat persetujuan keluarga. Nanti kan istriku dateng, aku minta tandatangannya. Dia sudah setuju kok aku jadi tamping gantiin kamu. Minimal sudah ada satu syarat yang aku penuhi. Baru nanti nyusul BPKB motor setelah komandan kasih,” kataku lagi.


“Ya sudah kalau pertimbangan abang gitu. Nanti aku sampein ke Bos. Oke, aku ke kantor sebentar ya, ambil form persetujuan keluarga. Nanti aku balik lagi,” ujar Yoga, dan bergegas meninggalkan kamarku. (bersambung)

LIPSUS