Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 485)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 30 April 2023


Oleh, Dalem Tehang


PAKDE, istri sama anaknya nunggu di ruang besukan,” kata tamping itu.  


Setelah menyerahkan kantong plastik berisi pakaian kotor ke tangan tamping ruang kunjungan, aku keluar kamar. Berjalan bersama menuju ruang besukan. Ketika melapor di pos penjagaan luar, bertemu dengan sipir Mirwan. Yang bertugas menjaga pintu gerbang pemisah area steril.


“Abang sehat aja kan. Maaf sudah lama nggak main ke kamar,” kata sipir Mirwan, saat kami bersalaman.


“Alhamdulillah, berkat doamu aku sehat-sehat aja, kamu juga terus sehat ya, Mirwan. Nggak apa-apalah nggak main ke kamar, yang penting nggak lupa aja sama aku,” jawabku, dan tertawa.


“Nggak mungkin lupalah sama abang. Pembimbing bayangan tesisku masak dilupain, bisa kuwalat nanti,” ujar sipir Mirwan, juga sambil tertawa.


Begitu aku berdiri di pintu ruang kunjungan, cah ragil Halilintar langsung mengangkat tangannya. Memberitahu posisinya bersama istriku Laksmi. 


Tamping yang mendampingiku berjalan terlebih dahulu dan menaruhkan kantong plastik berisi pakaian kotor di samping tempat duduk Laksmi.


Langsung ku peluk erat istriku. Ku cium pipi dan bibirnya. Ku elus-elus pipinya. Ku tatap mata indahnya. Begitu rindu jiwa ini kepadanya. Halilintar menyusul memelukku dengan erat, setelah mencium tanganku.


Aku duduk di antara Laksmi dan Halilintar. Kami menikmati makanan buatan istriku. Sambil berbincang dan mengupas kerinduan. Surat persetujuan sebagai tamping aku sodorkan, dan setelah membacanya dengan cermat, istriku mengambil pulpen dari tasnya. Menandatanganinya. 


Aku menceritakan kepada Halilintar mengenai langkah menjadi tamping. Termasuk kemudahan yang diperoleh bila mereka akan menemuiku.


“Jadi nanti kalau mau ketemu ayah, nggak perlu masuk kesini ya?” tanya Halilintar.


“Nggak perlu, le. Cukup masuk pintu gerbang utama, langsung naik lewat tangga samping pintu gerbang. Di depan ruangan kepala bagian umum ada sofa besar. Ruangannya juga luas. Kita bisa ngobrol disana, lebih bebas,” jelasku.


“Tapi ayah nggak disuruh bersih-bersih ruangan kan?” tanya istriku.


“Ya nggaklah, bunda. Ayah jadi staf bagian umum. Tempatnya juga di ruang kepala bagian. Kerjaannya paling nyortir surat masuk. Dan sesuai arahan kepala bagian, anter suratnya ke bagian mana lagi. Ngonsep-ngonsep surat juga nggak, sudah ada pegawai yang kerjainnya,” jawabku.  


“Oh gitu. Bunda kira kayak tamping-tamping lain itu, ayah. Kerjain ini-itu sampai urusan nyapu ngepel dan semua yang nyangkut kebersihan segala,” kata istriku lagi.


“Kan banyak jenis tamping itu, bunda. Ada tamping kebersihan, tamping air, tamping listrik, tamping kantor, sampai ke tamping mesjid. Semua ya kerja sesuai tugasnya. Nggak semua tamping tugasnya bersih-bersih. Itu tugasnya tamping kebersihan. Tamping kantor juga macem-macem. Ada yang di bagian umum, bagian administrasi malah terbagi beberapa sub lagi. Termasuk bertugas manggil tahanan yang mau sidang dan sebagainya,” uraiku panjang lebar.


“Baru paham sekarang bunda soal tamping ini, ayah. Kirain nanti, ayah harus juga bersih-bersih ruangan kantor. Prinsipnya, mana yang nurut ayah baik dan bermanfaat buat ayah jaga hati dan pikiran selama disini, bunda sama anak-anak pasti dukung. Ayah lebih tahu gimana ngelola ketenangan, kesabaran, dan keikhlasan biar terus terjaga,” tutur Laksmi, sambil memelukku dengan erat.


“Inshaallah, pilihan ayah ini nggak salah, bunda. Sudah kebayang sama ayah, bakal berapa lama lagi disini, jadi harus siapin beberapa kegiatan yang tetep buat hati dan pikiran tenang,” ujarku, dan mencium Laksmi.


“Cerdas ayah ini rupanya yo, bunda. Sudah bisa bayangin bakal beberapa lama lagi disini, langsung siapin agenda-agenda. Adek seneng kalau lihat ayah tetep enjoy kayak gini,” kata cah ragilku, Halilintar.


“Yo kuwi maksute, le. Ben ayah tetep fresh dan hati enjoy. Kan nggak buatmu sedih lihat ayah nanti pas dateng-dateng lagi,” sahutku, dan merengkuh badan anak bungsuku.


“Kalau adek baca-baca, katanya banyak orang yang ditahan itu stres dan akhirnya bunuh diri. Itu karena mereka nggak bisa nerima kenyataan dan kiati hidup terkurung gini ya, ayah,” kata Halilintar lagi.


“Kalau yang kelihatan stres atau galau, ya banyak, le. Terutama yang baru masuk sini sampai sekitar satu bulananlah. Kan emang nggak gampang adaptasinya. Tapi kalau yang sampai bunuh diri, selama ayah disini, nggak pernah ada. Banyak hal yang buat orang sulit nerima kenyataan itu, le. Yang gampang itu kan kalau sekadar ngomong, misalnya yang sabar aja, yang ikhlas aja. Ngejalaninya itu susah-payah bahkan sampai jungkir-balik,” uraiku.


“Tapi nyatanya ayah bisa walau katanya susah-payah,” tanggap Halilintar.


“Ayah masih nuju kesana, le. Kepada kesabaran dan keikhlasan yang sebener-benernya. Masih berproses. Dan ini semua berkat dukunganmu, mbak, dan pastinya motivasi tiada henti dari bunda, juga keluarga besar. Ayah masih sering nggak sabaran, masih sering kesel, juga marah. Tapi sekuat keyakinan, ayah teken semuanya. Ayah pejemin mata dan diem, pergiin semua hal yang nggak baik dari pikiran dan hati dengan pelan. Susah-payah buat bisa bener-bener sabar dan ikhlas itu, le,” jelasku, panjang lebar. 


“Kenapa ayah milih diem buat nenangin pikiran dan hati yang nggak karuan. Banyak orang kan yang teriak-teriak atau ekspresiin dengan kesel-kesel,” sambung cah ragilku.


“Kalau pakai teriak-teriak atau kesel-kesel, malah bisa nimbulin masalah sama kawan dong, le. Ngeganggu orang lain itu harus dihindari bener, apalagi di penjara gini. Ayah inget omongan seorang tokoh namanya Rabi’ah Al-Adawiyah. Dia bilang begini: Simpanlah apa yang kamu rasa dalam diam dan serahasia mungkin, hingga debarannya hanya kamu dan Tuhan yang mendengarnya. Dari omongan itulah, akhirnya ayah milih pejemin mata dan diem kalau lagi ngadepi perasaan yang nggak karu-karuan,” kataku lagi.


“Ayah, sebenernya siapa sih lawan kita itu? Banyak kawan di sekolah yang sering nyalahin kawan yang lain. Gimana nurut ayah?” tanya Halilintar. Semakin bersemangat.


“Banyak orang cerdik pandai yang nyimpulin, kalau lawan kita sebenernya bukan orang lain, le. Lawan kita ya rasa males kita sendiri, lawan kita ya kebiasaan kita yang sering menunda-nunda, lawan kita itu keragu-raguan buat maju, lawan kita ketidakdisiplinan kita sendiri, termasuk lawan kita ya ego diri sendiri. Jadi, baikan perbaiki diri aja. Nggak usah ngenilai apalagi ngusik orang lain,” tanggapku.


“Gimana kalau kita diremehin sama kawan dari kelompok lain?” kembali cah ragil bertanya.


“Biarin aja. Teteplah jadi orang yang diremehin. Nggak apa-apa itu, le. Tapi, jangan biarin orang lain tahu langkahmu berikutnya. Karena, kalau kamu nggak diremehin atau direndahin, artinya permainanmu mudah dibaca lawan. Kuncinya, selalu sisain 1% misteri,” kataku, sambil menepuk-nepuk bahu cah ragilku yang menjabat ketua OSIS di sekolahnya.


“Gimana buat lawan nggak mudah ngebaca strategi kita?” Halilintar mengajukan pertanyaan lagi.


“Kamu sudah baca buku Sun Tzu Art of War kan, le. Di salah satu halamannya, ada rangkaian strategi yang apik. Kalimatnya seinget ayah begini: Dengan mengubah pengaturan dan rencananya, dia membuat musuh tidak memiliki pengetahuan yang pasti. Dengan memindahkan kamp-nya dan mengambil rute berliku-liku, dia mencegah musuh untuk mengantisipasi tujuannya. Nah, dari kalimat itu kita bisa pelajari kalau strategi itu nggak kaku, tapi fleksibel. Kapan aja bisa diubah, sesuai dengan perkembangan di lapangan,” jawabku, panjang lebar.


“Seneng bunda denger ayah sama adek ngobrol gini. Adek jadi kaya pengetahuan dan pengalaman praktis. Yang penting, adek harus tetep jadi diri sendiri, tetep rendah hati, tetep coll, dan jadi pendengar yang baik. Karena ilmu yang sangat berharga adalah mendengar,” ujar istriku, Laksmi, yang sejak tadi hanya menjadi pendengar setia saat aku dan Halilintar berdialog. (bersambung) 

LIPSUS