Endri Y
Penggiat KGM
BEBERAPA tahun lalu, malam-malam begini, saya banyak mendengar ragam argumen Kang Juli. Secara tegas, beliau melempar tanya.
"Apa beda otak dengan akal? Kambing itu, punya otak atau punya akal?"
Jujur, pertanyaan itu sangat retoris bagi saya, selain tidak mampu menjawab. Dan benar, Kang Juli mengajukan pertanyaan itu bukan untuk meminta jawaban, alih-alih menguji kemampuan lawan bicaranya. Kang Juli hanya berusaha mentransformasikan pengetahuan tentang manusia dan kemanusian, perbedaan mendasar manusia dengan hewan. Yang kemudian, dibuat kluster kembali, ada hewan ternak. Ada juga hewan buas.
Pada dimensi tertentu, manusia bisa menjadi hewan buas maupun hewan ternak. Sebatas memakai otak untuk filter pengetahuan, atawa memaksimalkan potensi akal untuk mencari esensi atas beragam persoalan dan masalah hidup.
Persoalan dan permasalahan dalam hidup pun, dibedakan lagi defenisinya. Termasuk cara mengkaji urai untuk memposisikan ini soal atau ini masalah. Dua hal yang jauh berbeda cara menghadapi, menyikapi, maupun menjawabnya.
Kang Juli, selalu mampu mendominasi arah diskusi. Menjadi penunjuk arah sekaligus rel atas jalannya perdebatan. Namun yang pasti, manusia itu makhluk politik. Ragam tafsir atas hakekat pembeda yang punya akal dengan yang punya otak, bakal secara mudah dibedakan dengan penalaran politik. Substansi politik, menurut beliau, tidak pernah berada pada warna abu-abu. Melainkan hanya ada dua warna yang berbenturan. Hitam atau putih. Apa pun pandangan ideologi politiknya, dus apa pun pilihan partai politiknya. Hanya ada dua, manusia hitam atau manusia putih.
Berotak atau berakal.
Punya otak dengan punya akal, diterjemahkan Kang Juli secara tegas. Pembeda antara binatang dengan manusia. Pembicaraan Kang Juli selalu menelurkan pengembangan ide-ide baru agar semua orang, menjaga akal sehatnya. Merawat pengetahuan atas segala lingkup permasalahan. Banyak kebaruan obrolan yang saya dapat selama mendengar pembicaraan Kang Juli. Selisih usia yang cukup jauh, hanya menyisakan keterbatasan atas perkenalam saya dengan Kang Juli. Yang saya ketahui, Kang Juli adalah Ketua Golkar Lampung. Namanya banyak menghias berita-berita di koran yang saya baca di perpustakaan sekolah. Atau di lapak koran, yang dulu hampir selalu ada di setiap perempatan jalan protokol.
Pada beberapa tahun belakangan, setelah banyak aktif dalam Komunitas Gedung Meneng (KGM), barulah saya tahu dan sering bermuka-muka dengan Kang Juli. Dan dari sana, saya menemukan pelbagai kosa kata yang familier itu, beliau yang mengucapkan. Misalnya, "tidak berkomponen."
Maksudnya, mungkin menyebut, orang yang tidak berkompeten. Bahkan, tidak berkomponen, menjadi joke sekaligus plesetan abadi dalam perbincangan KGM.
Selain itu, cara berbagi orang Jaseng, kite-kite, sire, sire, kite maning, jadi banyolan segar. Sering diucapkan beliau, "Kita mah, Jaseng tidak sekolah."
Akan tetapi, tidak ada yang meragukan kemampuan dan pengetahuannya, terutama argumen dan pergaulannya.
Kang Juli masuk dalam pusaran politik elit di Provinsi Lampung sejak era dan pasca reformasi.
Belakangan, kiprahnya masih terlihat dominan di Federasi Serikat Pekerja maupun Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Pelabuhan Panjang. Beliau juga tercatat sebagai Ketua DPW Partai Berkarya Lampung.
Alasan beliau masih mau memimpin parpol, pernah diucapkan, sebab didirikan oleh Tomy Soeharto. Sebagai pengagum dan tokoh politik lokal di era Orde Baru, Kang Juli merasa butuh penegas bahwa mestinya parpol dipegang orang-orang idealis yang punya latar dan pengalaman berpihak pada masyarakat. Orde Baru itu, tepatnya Presiden Soeharto itu, tidak melulu dalam posisi bersalah. Pada ranah kebangsaan dan keindonesiaan, tipikal pemimpin seperti Soeharto yang dibutuhkan negeri ini. Di sanalah, tagline "Penak Zamanku" menemukan relevansinya.
Dan memang, setiap orang punya interpretasi masing-masing atas pilihan politiknya. Kang Juli yang bersiteguh atas ideologi kekaryaan sebagai idealitas berparpol, punya hak atas pilihan itu. Meski beliau tahu, tak mungkin bisa memaksa banyak anak muda mengikuti pilihan politiknya, beliau bukan sekadar menghormati, lebih dari itu, beliau berkenan berbagi ilmu tentang apa dan bagaimana politik mestinya bekerja.
Kabar berpulangnya Kang Juli, memang terlihat menyisakan duka mendalam bagi kalangan yang (maaf) "terbatas".
Gubernur Lampung yang notabene juniornya di Partai Golkar Lampung, belum ada ucapan duka cita secara resmi.
Pun lini masa, kurang menjadikan duka cita atas wafatnya H. Jajuli Isa memenuhi beranda. Hal itu tentu bisa dipermaklumkan sebab tokoh sepuh yang tak berada dalam pusaran kekuasaan saat ini, sering dilupakan. Penegas bahwa kita adalah bangsa pelupa. Bangsa yang hanya mengenal elit dan dekat "hanya" ketika berkuasa. Jika sudah tidak berkuasa, cenderung ditinggalkan. Lebih ironis lagi, dilupakan.
Bagaimana pun, yang sekarang jadi elit politik layak berterima kasih pada Kang Juli atas kiprah dan pewarnaannya pada pendulum parpol di Lampung.
Selamat jalan di bulan penuh berkah ini, Kang Juli. Selamat datang kehadirat-Nya. Semoga Allah selalu memberi rahmat dan ampunan. Al Fatehah. Amin. (*)