Cari Berita

Breaking News

Manusia Langka, BUYA HAMKA

Senin, 10 April 2023




Oleh Jonminofri Nazir


Saya mendapat kesempatan menonton film Buya Hamka diajak oleh Amel, Uni Satri, dan Tami, pengurus Satupena. 
 Nonton barengan dengan sejuta orang Minang di Epicentrum XXI.  Sejuta itu hanya angka kiasan untuk menunjukkan penonton Gala Primier ramai sangat. Ruang tunggu bioskop dan halaman bioskop jadi padat seperti di Tanah Abang, lengkap dengan kios makanan gratis di kiri kanan selasar. 

Buya Hamka wafat 24 Juli 1981. Di masa tuanya, saya masih mendengarkan ceramahnya secara langsung di Masjid Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Jakarta Selatan. Hampir setiap subuh mendengarkan tanya jawab agama dengan Buya Hamka di radio yang disetel ayah. Saya masih ingat warna suaranya. 

Buya fasih sekali menjawab pertanyaan dari pendengar yang beraneka ragam, terutama tentang fiqih, bidang yang paling digemari oleh muslim Indonesia hingga kini. Yaitu soal halal-haram, wajib-sunah, boleh dan tidak boleh, dan sejenisnya. 

Film ini pun juga menyajikan hal semacam ini, di samping memaparkan sikap hidup yang dipilih Buya Hamka (diperankan oleh Vino G. Bastian). Termasuk bagaimana cara berumah tangga: memelihara relasi dengan istri (Laudya Cynthia Bella), 4 orang anak, dan memilih prioritas dalam keluarga. 

Adegan fiqih pertama adalah hukum beristri dua. Disajikan dengan adegan seorang ibu membawa anak gadisnya yang cantik ke Buya untuk dijadikan sebagai istri kedua. Buya menjelaskan dengan kata-kata kepada gadis itu tentang makna ayat surat Annisa yang sering dijadikan dalil untuk pembenaran untuk laki-laki beristri sampai 4 orang. 

Buya menjelaskan, bahwa ayat itu ditutup dengan pernyataan bahwa si suami harus adil. Di sini Buya menegaskan bahwa suami tidak bisa berlaku adil kepada 4 istrinya. Jadi, Buya menolak pinangan berpoligam itu. 

Adegan tentang ini agak ganjil rasanya: Buya kabur dari ruang kerjanya, kantor Muhamadiah Cabang Makasar, untuk menghindari ibu-anak yang minta Buya berpoligami.  Namun, si gadis mengejar Buya karena tas kerja Buya tertinggal di kantornya. Nah, pada pertemuan di depan kantor ini terjadi dialog Buya dan gadis cantik itu soal poligami. Bukan dengan ibu si gadis. Singkatnya, si anak gadis nembak Buya tanpa cinta, hanya karena disuruh orangtuanya. 

Beberapa adegan lain di film ini juga menyajikan sikap fikih dan budaya yang dianut oleh Buya. Misalnya Buya memakai jas seperti jas Bung Karno (Anjasmara) dan kawannya seorang Tionghoa Tan Ban Kie (Chew Kin Wah) untuk berfoto bertiga. Secara lisan Buya mengatakan pria tidak dilarang memakai jas. Namun, yang mengganggu saya adalah bahan celana tiga pria yang berfoto itu terlalu tipis sehingga garis saku celana tampak dari luar.  Sependek pengetahuan saya, bahan jas zaman dulu tebal, sehingga garis yang membentuk sudut  dengan setrika panas terlihat jelas dan sudah pasti tidak bisa menampakkan bayangan garis saku di dalamnya. 

Satu lagi soal pakaian di film ini: semua pemain pria terlihat memakai baju baru, modelnya sama, berkerah atau kerah pendek seperti baju koko, dengan buah baju paling atas terpasang, sehingga tampak rapih sekali. 

Sedangkan perempuan memakai baju kurung dan berselendang, kecuali Ummi (istri Buya), kadang-kadang dia memakai "seperti jilbab". Padahal di zaman itu, perempuan minang belum berjilbab, tetapi memakai selendang. Leher dan rambut mereka masih terlihat sedikit. Seperti pakaian Mbak Tutut, atau yang lebih kuno lagi seperti pakaian Ustazah Zakiah Derajat. 

 Selain pakaian baru, film ini juga menyajikan gedung, rumah, dan bangunan yang masih baru dicat, termasuk rumah tahanan di awal film. Warna biru sebagian tembok keliahatan sekali baru dicat. 

Film ini juga menyajikan sikap Buya yang lebih mengedepankan akalnya. Adegannya begini: Buya di Medan mendapat kabar dari rumahnya di Padang Panjang bahwa seorang anaknya meninggal dunia. Dia tidak langsung pulang, tapi melanjutkan pekerjaannya sampai selesai. Setelah itu baru pulang. Menurut Buya, toh dia tidak sempat menemui jenazah anaknya karena perjalanan Medan-Padang Pajang jauh. 

Sejatinya film ini bagaikan kumpulan potongan-potongan adegan yang memperlihatkan sosok Buya muda, yang rajin berdakwah. Jadi, dalam dua jam, penonton dijejali adegan Buya sebagai  ulama, penulis roman, ahli tafsir, tasawuf, pejuang/politisi dan lainnya dengan porsi yang hampir sama besar. 

Sayangnya tidak jelas alur cerita yang menjahit kumpulan adegan itu. Jadi, emosi penonton tidak terbangun, dan tidak ada ending selayaknya film Holywood, meskipun alur dan ending film tidak mesti meniru cara film Amerika. 

Akibatnya, penonton cepat kehilangan fokus dalam menonton. Karena itu, saya melihat Amel dan Tami sering melihat layar HPnya yang kecil dibandingkan layar bioskop yang jauh lebih besar. 

Sutradara (Fajar Bustomi) tampaknya sudah berusaha keras menjahit sambungan adegan itu untuk mengikat perhatian penonton, dengan mengatakan: ini adalah drama biopik, biografi Buya Hamka jilid 1 dengan banyak fragmen sehingga sosok Buya akan tampak lebih utuh.  Akan ada biografi Buya Jilid 2 dan Jilid 3, untuk memperlihatkan sosok Buya seutuhnya. 

Buya Hamka memang harus diceritakan berjilid-jilid sebab beliau adalah manusia langka dengan banyak peran di muka bumi ini. 

Film ini bagus untuk ditonton terutama untuk mengenal salah satu manusia hebat yang pernah ada di Indonesia. *



Jonminofri Nazir, wartawan senior. Kini ia berlhidmat di Satupena

LIPSUS