Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 493)

INILAMPUNG
Senin, 08 Mei 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


LAKUIN aja apa yang nurut abang baik. Nggak usah ragu-ragu. Di rutan ini banyak orang yang terpuruk sampai rasanya badan mereka masuk ke bumi, dan sulit buat naik ke permukaan lagi. Itu karena jiwa dan pikiran mereka ikut terbelenggu sama keterbatasan gerakan badan. Tapi, banyak juga yang kelihatan masa bodo dengan apa yang dialaminya. Karena mereka nggak punya kemampuan untuk nemuin jalan nuju kegiatan-kegiatan positif. Semua karakter manusia ada di dalem sini. Yang normal maupun nggak normal. Bersyukur dan berbahagialah abang yang sudah nemuin jalur buat nikmati hidup disini dengan hal-hal positif,” tutur pak Manto lagi.  


Aku melihat pak Waras dan pak Ramdan masih duduk di tepian selasar, seusai jogging. Aku tahu, keduanya menungguku. Maka, setelah berbincang beberapa waktu kemudian, aku berpamitan kepada pak Manto.  


“Besok pagi aku tunggu di kantor ya, bang,” kata pak Manto, saat kami bersalaman. 


“Inshaallah, pak. Kalau ada senggang, main ke kamar aja, kita ngobrol-ngobrol,” ujarku, menawari pak Manto.


“Pengen sih, bang. Cuma pasti bakal ganggu kawan-kawan yang lagi tidur atau ngobrol, kalau saya ke kamar abang. Itu yang saya nggak mau,” balas pak Manto, dan kembali menebar senyum lepasnya.


Setelah aku bergabung dan duduk ndeprok di tepian selasar, pak Ramdan mengajak ke kantin.


“Kami sejak tadi nungguin. Om asyik bener ngobrolnya. Mana sudah sarapan pula. Aku sama pak Waras sampai nahan suara kruyukan dari perut yang pengen diisi,” ucap pak Ramdan, sambil bangkit dari duduknya.


“Ya kenapa nggak ke kantin aja duluan, pak. Aku kan bisa nyusul,” jawabku. 


“Nggak enaklah. Masak pas urusan makan, kita setinggalan,” celetuk pak Ramdan.


Aku langsung terdiam. Ada rasa tidak enak di hati. Karena tadi aku diajak sarapan oleh pak Manto dengan posisi duduk di teras pos penjagaan. Siapapun yang tengah berada di sekitar lapangan pasti dengan mudahnya melihat apa yang sedang kami lakukan. Termasuk pak Waras dan pak Ramdan yang sebelumnya jogging bersamaku.


“Maaf, aku tadi disediain sarapan, pak. Nggak ada maksud ninggalin kawan pas makan,” kataku, beberapa saat kemudian.


“Maaf, om. Aku nggak bermaksud nyindir lo. Kalau yang tadi, ya kami maklumi. Namanya juga om dikasih sarapan sama salah satu bos di rutan, nggak mungkin juga nolak. Maksudku, kalau kita lagi bareng-bareng dan nggak ada yang ngajak sarapan, sebaiknya ya makannya samaan,” tutur pak Ramdan, dengan cepat.


Pak Ramdan dan pak Waras memesan nasi uduk dan teh manis hangat. Aku hanya minum air mineral. Aku temani mereka berdua menikmati sarapannya, sambil terus berbincang ringan.


Tiba-tiba Iyos dan Dika masuk ke kantin. Spontan aku memanggil mereka. Dan setelah bersalaman, aku menanyakan Aris.


“Bang Aris sejak kemarin malem sudah pindah ke kamar tamping masjid, be. Emang dia nggak cerita ke babe ya sebelumnya,” kata Iyos, dengan polos.


Aku hanya menggelengkan kepala. Sambil menceritakan jika aku mengetahui keberadaan Aris sebagai tamping masjid ketika mendengar suaranya saat adzan Subuh tadi. Itu pun masih penuh keraguan akan kepastiannya.


“Kalian tahu kenapa Aris ndadak jadi tamping mesjid?” tanyaku kepada Iyos dan Dika, yang sebelumnya sama-sama dengan Aris di kamar 12 Blok B.


Keduanya hanya menggelengkan kepala. Baru beberapa saat kemudian Iyos menjelaskan, sejak sekitar dua pekan ini pembawaan Aris memang beda. Lebih banyak diam. Tidur. Dan selalu membaca Alqur’an. Bahkan hampir tidak pernah keluar kamar sama sekali.


“Kayaknya, ada prahara luar biasa yang dialaminya, be. Bersyukur ia larinya ke baca Alqur’an dan akhirnya milih jadi tamping mesjid,” ucap pak Waras, memberi komentar.


Seusai menemani pak Waras dan pak Ramdan sarapan, aku langsung mengajak mereka kembali ke kamar. Sementara Iyos dan Dika melanjutkan kegiatannya di kantin. Juga mengisi perut. Saat telah memasuki pintu utama Blok B, aku berbelok ke kiri. Menuju kamar 7. Tempat tamping masjid.


“Aris masih tidur, om. Itu dia yang paling ujung,” kata seorang anak muda yang menjadi tamping masjid, ketika aku menanyakan keberadaan Aris.


Aku melihat Aris masih lelap dalam tidurnya. Di atas kasur yang tebal dan lebar. Sama persis dengan tempat tidurku.


“Ya sudah, biarin aja dia tidur. Nanti aku kesini lagi,” ujarku kepada anak muda yang meladeniku dari balik jeruji kamar 7.


Saat telah berada di depan pintu kamar 30, terdengar suara sapaan memanggil. Aku melihat ke arah gazebo yang berada di sudut, depan kamar 34. Ternyata pak Edi yang memanggilku. Aku pun mengurungkan langkah memasuki kamar, berbalik menuju tempat bekas kap kamarku waktu kami sama-sama menjalani penahanan di sel polres tersebut. 


“Mau ngopi nggak be. Ini aku lagi ngopi sambil makan cemilan bawaan anak yang dateng kemarin,” kata pak Edi, setelah kami bersalaman dan aku duduk di dekatnya.


“Nggak usah, pak. Tadi sudah ngopi. Kalau ada minuman kaleng, boleh juga,” jawabku.


Pak Edi langsung berteriak. Memerintahkan OD kamar 34 untuk mengambilkan satu minuman kaleng miliknya. Juga membawakan rokok yang ada di atas rak dekat tempat tidurnya.


“Ngomong-ngomong, sebentar lagi kan babe mau vonis. Sudah kepikir belum, mau lakuin kegiatan apa biar nggak bete selama jalani hukuman,” kata pak Edi, setelah aku menikmati minuman kaleng pemberiannya sambil menyedot rokok cap Mangga yang menjadi favoritku. 


Tanpa basa-basi, aku pun menceritakan rencana menjadi tamping pada bagian umum. Selain akan meramu kisah beberapa kawan dalam bentuk cerpen, serta yang masih menjadi pertimbangan menjadi “pemegang” Blok B menggantikan Basri dan Dino sebagai kepala blok.


Mendengar uraianku, pak Edi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampak ia berpikir keras. Sesekali ia hembuskan asap rokok dari mulutnya dengan kencang. Di lain kesempatan, hembusannya perlahan, bahkan dipermainkan hingga membentuk gulungan asap.


“Gimana nurut pak Edi dengan rencana-rencanaku itu?” tanyaku, beberapa saat kemudian.


“Yah, bagus sih, be. Apa yang babe sudah rencanain itu diluar perkiraanku. Bukan cuma karena babe belum vonis tapi sudah nemuin jalan buat ngisi hari-hari disini nantinya, tapi juga apa yang mau babe lakuin itu nurutku emang bagus. Cuma, semuanya kan nggak hasilin uang. Ngapain banyakin kegiatan kalau buat makan aja masih nunggu kiriman orang rumah,” tanggap pak Edi, seusai berdiam diri beberapa saat untuk berpikir. (bersambung)

LIPSUS