Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 494)

INILAMPUNG
Selasa, 09 Mei 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


MAKSUDNYA gimana, pak?” tanyaku lagi.


“Ya iya, rencana babe mau jadi tamping di bagian umum itu, emang bagus. Bahkan prestise buat tahanan kayak kita ini. Gitu juga bikin cerpen, bisa ngasah otak dan kemampuan. Dan ini juga prestise, karena yang babe tulis kan spesifik, soal kehidupan kawan-kawan yang di dalem aja. Yang jarang orang bisa lakuinnya. Jadi cerpen yang eksklusif. Paling kalau mau ada hasil, ya babe sepakati jadi kepala blok. Itu juga harus pinter-pinter berbagi sama pegawai penanggungjawab blok, ditambah saweran buat sipir waktu mereka perluin, baru ada hasil yang bisa buat babe ngatasi kebutuhan selama disini,” jelas pak Edi, panjang lebar.   


“Maksud pak Edi, cari kegiatan yang bisa hasilin uang, gitu ya,” ucapku, sambil menatap pria berpostur kurus yang terlilit kasus mafia tanah itu.


“Intinya ya kesitulah, be. Ngapain kita banyak kegiatan disini kalau nggak ngasil. Satu aja tapi bisa cukupi kebutuhan hidup disini, itu yang penting,” tegas pak Edi.


“Terus nurut pak Edi, apa kira-kira yang bisa kita lakuin dan ngasilin duit?” tanyaku lagi.


“Ini yang mau aku obrolin, makanya manggil babe. Ada tawaran bagus dari kawan di Blok C. Kita cukup amanin barang dia di kamar. Seminggunya dapet kompensasi sejutaan. Dengan gitu, kita nggak perlu lagi nunggu kiriman orang rumah, be. Bahkan bisa kasih ke keluarga waktu mereka besukan,” kata pak Edi, setelah berdiam beberapa saat.


“Emang apa barang yang perlu diamanin di kamar, pak?” tanyaku dengan penasaran.


“Narkoba, be. Mulai ganja, ineks, sampai sabu. Kawan itu yang ngurus barangnya sampai masuk sini. Tapi, nyimpennya di kamar kita. Bukan di tempatnya. Pas perlu, dia ambil ke kamar kita,” urai pak Edi. 


“Emang bisa dia masukin barang-barang itu, pak?” tanyaku, kali ini dengan nada serius.


“Kalau kawan itu sudah minta kita yang simpen, berarti urusan barangnya bisa masuk, ya sudah bereslah, be. Kita nggak perlu tahu gimana cara ngatur barangnya bisa lolos masuk ke dalem, itu urusan dia. Kawan itu cuma nawari, kita yang simpenin barangnya kalau sudah masuk. Dia ambil pas ada yang beli atau dia perluin. Simpel aja kok,” lanjut pak Edi.


“Nggak sanggup aku, pak. Aku tahu persis, urusan beginian bukan duniaku. Lagian, selama ini aku nggak pernah kenal sama barang-barang seperti itu. Bakal jadi aneh bin ajaib, kalau di dalem justru aku ngamanin berbagai jenis narkoba,” kataku dengan nada serius.


“Justru karena selama ini babe nggak pernah nyentuh barang jenis itu, makanya aman kalau ada di babe. Kawan yang nawarin kerjaan ini, diem-diem sudah peta-in kita. Dan tadi dia bilang ke aku, babe yang paling pas buat amanin barangnya. Maka dia berani kasih kompensasi sejutaan tiap minggunya. Lumayan kan be, bisa dapet Rp 4 jutaan sebulan. Cuma nyimpenin barang di loker kita aja,” sambung pak Edi, dengan nada menggebu-gebu.


“Kenapa bukan pak Edi aja yang amanin barangnya di kamar,” ujarku, sambil menatap pria yang telah beberapa kali masuk bui ini, dengan serius.


“Aku nggak sanggup, be. Gampang orang ngebacanya. Aku kan ipis. Residivis kayak aku ini pasti dapet perhatian khusus dari sipir, walau nggak kelihatan cara mereka mantau gerak-gerikku. Kalau babe kan, beda. Apalagi hampir semua pentolan ipis disini tahu persis kedekatan babe sama banyak sipir. Itu semua juga jadi pertimbangan kawan yang sampein tawaran ini,” pak Edi menambahkan.


“Terimakasih tawarannya. Aku tahu maksud pak Edi bagus, biar aku bisa hidup mandiri disini. Nggak ngerepotin orang rumah lagi. Tapi jujur, aku nggak sanggup, pak. Mohon maaf bener,” kataku, dengan tegas.


“Sayang sebenernya babe ngebuang peluang ini. Tapi ya sudah. Aku tetep hargai dan hormati sikap babe. Masing-masing kita di dalem sini emang punya mimpi atau target sendiri. Lanjutin aja apa yang sudah babe rencanain. Kalau perlu bantuan, bilang ke aku, pasti siap bantu kapan aja,” tanggap pak Edi, setelah berdiam beberapa saat. Menenangkan batin dan pikirannya atas penolakanku.


Setelah berbincang hal-hal lain selama beberapa menit, aku pun berpamitan. Dan masuk ke kamar. Selepas membersihkan badan, aku leyeh-leyeh di bidang tempatku. Mengambil buku catatan harian, dan menuliskan beragam pengalaman yang aku alami beberapa hari ini. 


Tanpa sadar, ternyata aku tertidur sambil tengkurap, dengan buku catatan harian dan pulpen yang masih menggeletak di samping. Ketika aku membuka mata dan duduk, kawan-kawan sudah duduk rapih. Akan melakukan makan siang bersama.


“Nah, itu om Mario sudah bangun. Ayo, makan dulu, solat dhuhurnya nyusul aja,” kata kap Yasin, yang melihatku telah bangun dari tidur.


Tanpa bicara apapun, aku ke kamar mandi. Membasuh muka dan mencuci tangan. Langsung bergabung dengan kawan-kawan yang telah duduk melingkar untuk menikmati makan siang.


Seusai makan siang dilengkapi mengisap rokok satu batang, aku melaksanakan solat Dhuhur. Menggelar sajadah di bidang tempatku. Setelah salam, aku meneruskan dengan membaca tasbih dan istighfar sebanyak-banyaknya. 


Hingga rasa kantuk demikian kuat memaksa mataku beberapa kali terpejam dan hilang kesadaran. Akhirnya, aku membaringkan badan di lantai, dan kembali terbuai lelapnya tidur.


Sampai kemudian aku merasakan telapak kaki ditepuk pelan. Anton membangunkan untuk solat Ashar dan mengajak berjamaah di masjid. Namun aku memilih solat di kamar. Setelah melaksanakan persujudan kepada Sang Khaliq, aku pun kembali membersihkan badan dengan mandi. Dan seusai berganti pakaian, naik lagi ke bidang tempatku. Melanjutkan membaca buku yang dikirimkan adikku Laksa.


Keasyikanku membaca buku terusik ketika Teguh memanggil. Anak muda itu memberi isyarat ke arah jeruji besi. Aku melihat, Aris tengah berdiri disana. Setelah menutup dan menaruhkan buku, baru aku beranjak ke ruang depan. Menemui Aris.


“Kamu jadi tamping mesjid ya, Ris. Kaget campur seneng waktu denger kamu adzan subuh tadi. Suaramu khas bener. Mendayu dan mengguncangkan kalbu,” kataku, saat kami bersalaman.


“Iya, be. Baru dua hari ini aku jadi tamping mesjid. Maaf, nggak sempet kasih tahu sebelumnya. Tapi nurutku, langkah ini yang terbaik untukku saat ini,” jawab Aris, ada senyum penuh keterpaksaan di sudut bibirnya.


“Nggak masalah buatku, Ris. Aku malah seneng dan dukung pilihanmu ini. Dengan jadi tamping mesjid, banyak hal berbuah pahala yang bisa kamu lakuin, sekaligus ngupas dosa-dosa yang ada. Kamu biasain aja khusus adzan subuh, suaramu pas bener untuk ngebangunin orang,” kataku lagi, seraya menatap wajah pria yang usianya beberapa tahun di bawahku ini. (bersambung)

LIPSUS