Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 495)

INILAMPUNG
Rabu, 10 Mei 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


BABE nggak mau tahu kenapa aku bisa dibilang ngedadak jadi tamping mesjid?” tanya Aris, dan menatapku dengan serius.


“Nggak usah kamu ceritain hal-hal yang cuma buat hati nggak nyaman ya, Ris. Prinsipnya, aku dukung pilihanmu jadi tamping mesjid ini. Biar tetep jadi rahasiamu aja alasan kamu sekarang ngurus mesjid. Itu Rumah Allah lo, berbahagialah kamu dapet kesempatan ngurus rumah Sang Pengatur Kehidupan,” tanggapku, seraya menepuk-nepuk bahu Aris.


Mata pria yang telah menasbihkan diri sebagai adik angkatku itu, tampak meredup dan ada genangan air di sudutnya. Aku tahu, ia tengah menyimpan sebuah prahara yang begitu dalam mendera batinnya. 


“Kamu inget, Ris. Ketika sebuah musibah malah buat kita deket sama Tuhan, itu artinya musibah yang bawa berkah. Syukuri aja semuanya. Nggak ada takdir yang jelek, walau sering memaksa kita nangis atau bahkan menderita batin. Apapun yang sedang kamu alami dan rasain, cukup ceritain ke Yang Di Langit. Karena cuma Dia yang bisa wujudin harapan dan doa kita,” ucapku, dan memeluk Aris dari sela-sela jeruji besi. 


“Terimakasih banyak supportnya, be. Sebenernya, beberapa hari lalu aku mau nemuin babe. Pengen ceritain masalah yang aku alami. Tapi aku takut babe juga ngerasa kecewa, karena babe pernah perjuangin semuanya untuk tetep bertahan. Akhirnya, dengan niat cari ketenangan dan deketin diri sama Tuhan, diem-diem aku ngurus jadi tamping mesjid. Alhamdulillah, kesampeian keinginanku,” tutur Aris dengan suara tercekat.


“Nggak ada masalah buatku, Ris. Yang penting kamu tetep sehat. Dan aku dukung pilihanmu ini. Aku bangga kamu tetep bisa kendaliin diri dengan baik walau diterpa ujian bertubi-tubi. Inilah salah satu cara Tuhan kuatin kamu, untuk nantinya dapetin kehidupan yang penuh ketenangan dan kebahagiaan,” jawabku, dengan kembali menepuk-nepuk bahu Aris. Membesarkan jiwanya.


“Babe yakin aku kuat hadepi semua ujian ini?” tanya Aris, dengan menatapku.


“Yakinlah, Ris. Apapun juga, terlepas dari semua dosa dan kesalahan, kita ada disini dan tetep bisa tegak berdiri karena diberi kekuatan luar biasa sama Yang Maha Kuat. Kita ini termasuk makhluk pilihan, Ris. Disini kita dicuci habis dari semua kotoran yang selama ini nempel di perilaku, jiwa dan pikiran. Setelah bersih, kita diberi kesempatan untuk memulai kehidupan yang lebih baik. Itu yang harus jadi keyakinan kita. Nggak usah kecil hati, apalagi putus asa. Hidup ini terus berputar, dan putarannya jadi rahasia Langit. Sudah bener langkahmu dengan jadi tamping mesjid, karena kamu akan selalu deket sama Tuhan, disebabkan kamu ngurus rumah-Nya,” kataku, panjang lebar.


“Aku pamit dulu ya, be. Mau ke mesjid, sebentar lagi waktu maghrib. Kalau ada perlu apa-apa, panggil aku ya. Aku tetep adek babe sampai kapan pun,” ujar Aris, beberapa saat kemudian.


Dan setelah menyalamiku serta mengucapkan salam, ia beranjak pergi. Meninggalkan jeruji besi tempat kami berbincang. Langkahnya tampak gontai, namun penuh ketenangan. Tetap ada pengendalian diri yang kuat pada pergerakannya. Sebuah keseimbangan yang terus terjaga. Aku tersenyum melihat ketegaran yang telah begitu mantap pada diri Aris.


“Kayaknya serius bener ngobrol sama Aris tadi, om. Emang bener dia sekarang jadi tamping mesjid ya,” kata pak Ramdan, setelah aku membalikkan badan dari jeruji besi dan duduk ndeprok di lantai ruang depan.


“Iya, dia jadi tamping mesjid. Alhamdulillah, dia dapet hidayah,” sahutku, dengan santai.


“Emang kita-kita yang nggak jadi tamping mesjid ini nggak dapet hidayah tah, om,” lanjut pak Ramdan.


“Bukan gitu maksudnya, pak. Mungkin Aris beberapa waktu belakangan ini dapet ujian tambahan yang cukup berat. Dalam perenungannya, ia dapet hidayah untuk deketin diri sama Tuhan. Itu yang aku maksud dia dapet hidayah,” sahutku.


“Jadi, kita juga sebenernya termasuk orang yang dapet hidayah ya, karena bisa rajin ibadah dan jauhi hal-hal yang nggak bener selama di rutan ini,” lanjut pak Ramdan.


“Pastinya gitu, pak. Nggak mungkin kita punya kesadaran buat perbaiki diri kalau nggak karena hidayah Yang Kuasa,” kataku lagi.


Pak Waras yang sejak tadi asyik membaca sebuah buku, mendadak menyerahkan buku di tangannya kepada pak Ramdan. 


“Ngapain aku dikasih buku ini, pak?” tanya pak Ramdan.


“Baca judul bukunya dan buka halaman 366. Baca kalimat yang ada disana dengan suara keras, biar semua denger,” ucap pak Waras dengan gaya kalemnya.


“Buku ini judulnya Shaidul Khatir. Halaman 366 isinya, Imam Ibnul Jauzi berkata: Aku pernah berpikir tentang sebab orang mendapat hidayah dan tersadarnya seseorang dari kelalaian. Dan aku temukan kesimpulan, bahwa sebab terbesarnya ialah karena Allah telah memilih orang tersebut,” kata pak Ramdan, membaca kalimat yang ada dalam salah satu halaman dari buku yang diberikan pak Waras.


“Nah, dengan baca satu halaman dari buku itu aja, kita semua ngerti kan. Kalau urusan hidayah karena Allah telah memilih orang tersebut. Jadi, soal Aris kok bisa dadakan jadi tamping mesjid, ya kehendak Allah. Gitu juga kita. Cuma tahanan dan napi biasa, juga bukan siapa-siapa, nggak jadi tamping apa-apa, tapi kok bisa istiqomah jalani ibadah, karena Allah sudah milih kita. Bersyukur dan terus istighfar, itu aja tugas kita,” tutur pak Waras. Tetap dengan gaya kalemnya.


Suara adzan dari masjid menggema kencang. Waktunya untuk solat Maghrib. Pak Ramdan bergerak. Menggelar beberapa sajadah untuk kami solat berjamaah. Pak Waras memintaku menjadi imam. Dia bertindak sebagai pemimpin doa seusai solat.


“Pak, aku sudah masuk juz 30 malem ini,” kataku kepada pak Waras.


“Oh ya. Alhamdulillah. Berarti sudah mau khatam lagi ya, be. Kalau gitu, sekalian khatamin malem ini. Kami semua dengerin babe ngaji,” jawab pak Waras, dan meminta semua penghuni kamar 30 untuk duduk bersila di lantai atas. Semaan Alqur’an juz 30 yang aku bacakan. (bersambung)

LIPSUS