Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 497)

INILAMPUNG
Jumat, 12 Mei 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


SETELAH bercengkrama beberapa saat, aku masuk ke dalam. Naik ke lantai bidang tempat tidurku. Merebahkan kasur dan mengambil telepon seluler. Dengan menggunakan headset, aku hubungi istriku.


Hampir satu jam kami berbincang santai. Diselingi ngobrol juga dengan Bulan dan Halilintar. Kepada mereka, ku sampaikan bila malam ini untuk ke sekian kalinya telah mengkhatamkan kegiatan ibadah membaca Alqur’an, dan secara khusus fadhilahnya dipersembahkan juga untuk mereka.


Istri dan anak-anak menyatakan kebahagiaan dan kebanggaannya karena aku konsisten membaca kitab suci. Sesuatu yang saat bebas di luar amat jarang aku lakukan. Mereka memintaku untuk sedikit demi sedikit mengamalkan apa yang ada di dalam Alqur’an. Juga dengan istiqomah.


Karena, kata istriku, mengutip surah Sad ayat 29 : Alqur’an diturunkan Allah kepadamu itu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran. 


Dalam perbincangan itu, tidak lupa ku minta istriku membelikan dua potong ayam ingkung, untuk syukuran di kamar. 


“Iya, besok bunda beliin. Ada warung di deket kantor pengadilan yang jual ayam ingkung. Besok kan ayah sidang, jadi sekalian dibawain,” kata istriku.


“Alhamdulillah, terimakasih, bunda. Ya sudah, kita istirahat ya. Ayah sebentar lagi tidur juga, biar besok pagi bangun dengan badan dan pikiran fresh,” ujarku, dan sesaat kemudian mematikan hubungan telepon.


Seusai itu, aku mengontak seorang kawan yang memiliki jaringan kuat di kejaksaan dan pengadilan. Tanpa berbasa-basi, aku meminta dicarikan informasi mengenai klimaks dari perkaraku. Ia meminta waktu 30 menit saja untuk melakukan “pergerakan”.


Dan kawan tersebut memenuhi janjinya. Bahkan lebih cepat lima menit dari waktu yang ia minta sebelumnya. Dengan terang-benderang, ia menyampaikan akhir dari proses panjang persidangan yang aku jalani alias vonis hukuman yang bakal aku terima.


“Vonis abang sudah ditetepin. Cukup abang yang tahu ya. Jangan bocor. Saya sebenernya selalu pantau setiap abang sidang, walau nggak tampakin muka di depan abang. Saya seneng lihat abang kelihatan santai dan tegar. Saat seperti inilah, ketangguhan mental seseorang itu bisa dilihat,” kata kawan itu, melalui sambungan telepon seluler.


“Nggak bakallah aku sampein ke orang lain info ini, paling ke ayuk kamu aja. Terimakasih banyak ya. Bawa dan jaga diri baik-baik. Aku lagi mondok, jadi nggak bisa berbuat apa-apa kalau sampai kamu kenapa-kenapa,” sahutku, dan setelahnya kami mengakhiri pembicaraan.   


Setelah menyimpan kembali telepon seluler, aku memanggil Anton. Memintanya untuk memijat telapak kaki hingga aku tidur. Dengan penuh senyum, anak muda berusia 27 tahunan ini memainkan jari tangannya di telapak kakiku. Sentuhan yang tidak terlalu kencang membuatku serasa di-nina-bobo-kan. 


Tidak tahu kapan mulainya, aku pun tertidur lelap, hingga terdengar suara adzan Subuh. Sambil bangun dari tempat tidur, aku tersenyum saat mengetahui bila yang mengumandangkan panggilan solat tersebut adalah Aris. Suaranya sangat khas. Iramanya juga indah. Menyentuh kalbu.  


Selepas solat berjamaah, aku mengajak pak Waras dan pak Ramdan untuk berolahraga. Setelah 15 kali memutari lapangan, kami kembali ke kamar. pak Ramdan langsung menyiapkan minuman hangat. Kopi pahit untukku dan teh manis bagi pak Waras.


Sambil menikmati minuman kesukaan, aku menyiapkan pakaian untuk mengikuti sidang di pengadilan, siang nanti. Juga menyiapkan kaos berkerah yang ada tulisan WBP guna memulai aktivitas pada bagian umum sebagai pendamping Yoga.


“Aku juga mulai sekarang ikutan om. minum kopi pahit,” kata pak Ramdan.


“Oh ya. Bagus kalau begitu, pak. Makin banyak yang nggak minum manis, gula di kamar kita bisa lebih irit,” sahutku, seraya mengacungkan kedua jempol ke arah pak Ramdan yang duduk santai sambil menikmati secangkir kopi pahitnya.


“Kok bisa ngerubah kebiasaan gitu, emang kenapa pak?” tanya pak Waras kepada pak Ramdan.


“Aku baru tahu sore kemarin kalau minum kopi tanpa gula itu ternyata manfaatnya banyak, pak. Makanya mulai pagi ini aku minum kopinya nggak pakai gula lagi,” jawab pak Ramdan.


“Emang apa manfaatnya minum kopi pahit?” tanya pak Waras lagi. 


“Kalau yang aku baca di buku, ada lima manfaatnya. Mulai dari ningkatin daya inget dan kecerdasan, mencegah penyakit jantung dan kanker, nurunin resiko diabetes, bersihin antioksidan, sampai bersihin perut dari racun. Pantes aja om Mario selama ini sehat-sehat aja karena rutin minum kopi pahit,” urai pak Ramdan dengan gamblang. 


“Padahal, aku juga baru tahu manfaat minum kopi tanpa gula ya sekarang ini, pak. Sebelumnya, sama sekali nggak tahu. Kalau aku minum kopi tanpa gula, alasan sebenernya sih biar nggak perlu beli gula aja,” kataku, sambil tertawa ngakak.


Pak Ramdan dan pak Waras ikut tertawa mendengar perkataanku. Meski keduanya sangat memahami, hidup di penjara memang harus serba efisien menjurus kepada pengiritan.


Tamping kebersihan telah menyelesaikan tugasnya. Giliran beberapa tamping kantor yang tengah bersiap untuk menjalankan tugasnya. Tidak ingin Yoga datang ke kamar dan melihatku belum mandi, aku pun buru-buru membersihkan badan dan memakai kaos berkerah dengan celana panjang jeans.


“Sudah mulai ngantor tah, om?” tanya pak Ramdan, melihatku telah berpakaian rapih.        


“Belumlah, pak. Mau anter surat persetujuan istri untuk aku jadi tamping aja. Nanti bareng sama Yoga ke bagian umumnya,” sahutku. 


“Jadi nanti kalau babe sudah resmi tamping bagian umum, dari pagi sampai sore ngantor dong. Cuma malem aja kita bisa ngobrol,” ucap pak Waras.


“Kayaknya gitu sih, pak. Kalau nggak salah mulai kegiatan di bagian umum dari jam 09 sampai 17. Pas mau maghriblah aku balik ke kamar,” jawabku.


“Asyik juga ya ternyata jadi tamping kayak om ini. Sama jam ngantornya dengan ASN. Gak kebayang sama aku sebelumnya, kalau di rutan ada tahanan yang bisa ngantor seharian kayak gini,” ujar pak Ramdan, sambil tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. (bersambung)

LIPSUS