Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 507)

INILAMPUNG
Senin, 22 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang


TAPI, ini kakak kandung lo, ayah. Setega itu sama adek sendiri,” Teguh menjawab dengan cepat. 


“Itu Anton, malah kedua orang tuanya nggak pernah mau nengokin selama hampir setahun dia ditahan. Lebih berat mana ujiannya dibanding yang kamu alami,” ucapku lagi. 


“Jadi gini lo, Teguh. Bener itu, kita emang harus belajar biasain diri nggak dianggep sama orang lain. Karena, tongkat pun akan dibuang ketika si buta sudah bisa ngelihat. Pahamkan yang aku maksud,” kap Yasin menimpali. 


“Nggak usah buatmu uring-uringan ya, Teguh. Nanti Allah bakal bukain hati dan pikiran kakakmu,” pak Waras menambahkan.


“Jadi, aku doain aja ya, pak?” tanya Teguh, dengan suara pelan.


“Bagusnya sih gitu. Karena cuma Allah yang bisa bolak-balikin hati dan pikiran orang. Lagian, kalau terus kayak gini kelakuan kakakmu itu, dia bakal susah sendiri. Bukan hanya di dunia, tapi juga di akherat nanti,” lanjut pak Waras.


“Maksudnya gimana, pak?” kembali Teguh bertanya.


“Kanjeng Nabi pernah bersabda begini: Barang siapa yang mempunyai kerabat atau saudara yang lemah tetapi ia tidak mau berbuat baik kepada mereka, sedangkan ia mau memberi sedekah kepada orang lain, maka Allah tidak mau menerima sedekah orang itu, dan tidak mau melihatnya di hari kiamat nanti,” urai pak Waras.


“Subhanallah. Separah itu ya jadinya, pak,” ucap Teguh, dengan spontan.


“Ya itu kata Kanjeng Nabi, Teguh. Makanya, kita harus ngeramut saudara-saudara kita, utamanya sekandung. Selain itu, kita juga harus jauhi orang yang selalu buat kecewa, berhenti dari kebiasaan nyenengin orang yang nggak pernah ngehargai. Kalau itu bisa dilakuin, hidup kita pasti lebih tenang. Nggak gampang uring-uringan,” sambung pak Waras.  


Suara adzan Maghrib terdengar dari masjid. Kami pun bergegas mengambil air wudhu. Bergiliran. Pak Ramdan menyusun sajadah untuk solat berjamaah. Begitu solat selesai, Pak Waras langsung mengingatkanku untuk terus membaca Alqur’an seperti biasa, walau baru khatam.    


Ketika waktu solat Isya datang, baru aku menutup Kitab Suci untuk kembali mengikuti jamaahan. Dilanjutkan makan malam bersama. Seorang tamping datang ke kamar. Disuruh Yoga meminta nomor teleponku. 


Aku melihat ke arah depan. Dibatasi oleh taman dan selasar berjeruji, tampak Yoga berdiri dari balik jeruji besi kamarnya, memandang ke arah tamping yang menemuiku.


Aku menyebutkan nomor hp-ku, yang ditulis di tangan oleh tamping tersebut. Tidak lupa, aku mengambil satu Alqur’an milikku lainnya, yang terdapat tulisan Bahasa Indonesia-nya. Memberikannya kepada tamping untuk diserahkan kepada Yoga. Tidak lama kemudian, ia berjalan meninggalkan sel, dan melihatnya menemui Yoga. 


Segera aku menuju bidang tempatku. Merebahkan kasur, dan mengambil hp yang tersimpan di sudut bagian dalam. Mengaktifkannya. Dan benar perkiraanku. Yoga mengirimkan foto-foto baju dan kaos khas tamping bagian umum. Segera aku melanjutkan gambar tersebut kepada istriku. Untuk dicarikan dan dibuatkan kemeja serta kaos berkerah dengan ciri yang sama. 


Yoga juga menyampaikan terimakasihnya atas kiriman Alqur’an yang terdapat Bahasa Indonesia-nya, sehingga ia bisa memulai mempelajari kitab suci tersebut.


Sesekali, aku tersenyum sendiri. Masih berstatus tahanan, telah menjadi tamping. Dunia penjara memang penuh dengan segala kemungkinan. Terbebaskan dari segala ketidakmungkinan. 


Semangatku untuk membuat cerita pendek, terus menggebu. Apalagi Dian mengirimkan karyaku yang telah ditayangkan di media online yang juga punya sahabatku. Ali. Ada rasa bangga dan bahagia. Dan itu semua menjadi pemacu gairah untuk terus merangkai karya tulis.  


Sambil tengkurap di atas kasur, aku mulai menulis cerita kehidupan seorang napi yang memilih masuk bui lagi karena tidak bisa beradaptasi setelah tiga bulan hidup di alam bebas.


“Kayaknya lagi semangat bener om buat cerpennya. Angkat juga dong ceritaku, om,” kata Anton, seusai keluar dari kamar mandi. 


“Cerita hidupmu nyedihin, Ton. Anak tunggal yang nggak diperhatiin sama sekali oleh orang tua, hanya karena mereka lebih utamain ngejaga martabat dan jabatannya. Sudah aku agendain untuk buatin cerpen tentang kamu kok. Tenang aja,” jawabku, seraya tersenyum.


“Ya emang sedih sih kalau ngerenungi nasibku ini, om. Cuma sering aku bandingin sama kawan-kawan yang selama ini jadi penopang kehidupan keluarga. Kayak om, pak Waras, pak Ramdan, atau kap Yasin. Aku ngerasa, nasibku lebih baik dibanding keluarga om dan kawan-kawan,” ujar Anton.


“Maksudnya gimana, Ton?” tanyaku. Tertarik dengan perkataannya.


“Kalau aku, emang masih bujangan, om. Nggak nanggung siapa-siapa. Walau orang tua nggak mau ngebesuk, tapi rutin ngirim uang dan makanan lewat supir. Tapi, kalau om dan kawan-kawan yang sudah berkeluarga, kebayang kan gimana susahnya istri dan anak-anak sekarang ini. Iya kalau istrinya kerja, kayak istri om, masihlah ada pendapatan. Kalau istrinya nggak kerja, seperti istri pak Waras dan pak Ramdan, gimana susah dan sedihnya mereka buat bertahan hidup. Nasib keluarga itu kan lebih nyedihin dibanding yang aku alami,” tutur Anton, panjang lebar.


Spontan aku terdiam. Tidak menduga Anton memiliki pemikiran hingga sejauh itu. Ia bisa meredam kepiluan hatinya yang “dihempaskan” oleh kedua orang tuanya, dengan membandingkan kami yang telah menjadi kepala keluarga. Yang memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak.


“Maaf kalau omonganku nggak ngenakin hati, om. Aku yakini, kata-kata yang tulus emang nggak enak didenger, sebaliknya kata-kata yang bagus, yang nyanjung-nyanjung, yang enak didenger, sebenernya nggak tulus. Om pahamlah maksudnya,” kata Anton, beberapa saat kemudian.


“Apa yang kamu bilang itu bener, Ton. Aku malah berterimakasih sama kamu, karena sudah ngebuka mata hati dan pikiran ini.  Buatku, pak Waras atau siapapun yang sudah berkeluarga, kepedihan dan kesedihan yang sebenernya emang dirasain istri sama anak-anak. Bukan kami-kami yang di penjara ini. Omonganmu tadi ngebuka fakta, siapa yang sebenernya sangat menderita,” tanggapku, dengan wajah serius. (bersambung)

LIPSUS