Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 510)

INILAMPUNG
Kamis, 25 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang


TERUS saran pak Manto, aku harus gimana sama tawaran jadi pengendali blok itu?” tanyaku, setelah ia menghentikan tawanya.


“Saran aja ini ya, bang. Pegang posisi itu, tapi abang jangan terkait urusan uangnya. Biar yang pegang orang lain,” ujarnya.


“Maksudnya gimana?” tanyaku, dengan cepat.


“Misalnya uang bayaran hp, percayain ke salah satu kepala kamar untuk nagih dan pegangnya. Kalau tamping kunci sama air, biar mereka langsung yang serahin ke penanggungjawab blok. Kayaknya itu lebih pas buat abang,” tutur pak Manto, beberapa saat kemudian.


“Jadi, aku pengendali aja ya. Segala sesuatu terkait soal uang, sudah ada yang pegang. Tinggal aku nyatet. Gitu ya, pak,” tanggapku. 


“Sederhananya gitu, bang. Itu lebih pas sama gaya abang. Apalagi, abang juga kan sekarang sudah ngantor setiap harinya. Ada kegiatan rutin disini. Tapi, abang tetep perlu pegang kendali di blok. Urusan teknis, serah-serahin aja sama orang yang dipercaya. Yang penting, keputusan tetep di tangan abang,” kata pak Manto lagi.     


“Terimakasih sarannya, pak. O iya, beberapa kali tadi aku denger pak Manto bilang, pola ini yang cocok sama aku, maksudnya gimana ya,” tanyaku.


“Gini lo, bang. Saya paham, abang itu nggak tegaan orangnya. Nggak bisa neken-neken orang kayak gaya ipis yang kendaliin blok. Terus, abang juga tetep punya empati yang tinggi walau sudah bergaul bulanan dengan sesama tahanan dan napi. Citra diri abang nggak luntur sama ganasnya lingkungan. Justru abang pelan-pelan bisa ngewarnai. Nah, gaya abang itu, berbanding terbalik sama kebiasaan main teken untuk dapet uang disini,” tutur pak Manto, dengan panjang lebar. 


Aku langsung terdiam. Tidak menyangka bila selama ini pak Manto cukup cermat mengikuti gayaku. 


“Emang harus main teken gitu ya pak, buat menuhi kewajiban untuk pegawai penanggungjawab blok?” tanyaku.


“Pastilah, bang. Nggak ada disini yang dengan sukarela apalagi ikhlas, mau ngebayar uang air, uang kunci atau uang hp. Saya tahu, abang sebenernya paham gimana gaya hidup disini. Semuanya perlu uang. Dan uang itulah yang ngatur semuanya. Walau, nggak semua pegawai dan sipir bisa diatur sama uang,” imbuh pak Manto. 


“Ya bener sih itu, pak. Sederhana aja, setiap minggu per-orang wajib bayar uang kamar rata-rata Rp 250.000. Buat makan, minum, dan kebutuhan lainnya di kamar. Belum lagi kebutuhan yang lain-lain, seperti sabun mandi sampai ke sabun cuci pakaian. Ditambah rokok, pengen makan di kantin dan sebagainya. Yah, bisa dibilang setiap orang keluarin uang minimal Rp 1.500.000 setiap bulannya,” ucapku.


“Nah, besar kan kebutuhan setiap orang disini. Bisa dibayangin, berapa perputaran uang dalam satu bulannya. Katakanlah cuma 1.000 orang dari 1.200-an tahanan yang keluarin uang Rp 1.500.000 sebulannya. Fantastis lo jumlahnya,” kata pak Manto, tanpa memerinci jumlah totalnya. 


“Tapi, nelongso bener keluarga tahanan mikirin anggota keluarganya yang ada disini untuk bisa tetep hidup layak, pak,” tanggapku.


“Saya tahu, abang pasti bayangin, gimana pontang-pantingnya keluarga tahanan untuk siapin kebutuhan dana buat yang ditahan biar tetep bisa makan. Iya kan. Makanya, tadi saya saranin, ambil posisi kepala blok tapi serahin ke orang lain urusan neken-neken tahanan buat bayar ini dan itunya. Sebab, nggak sesuai dengan karakter abang,” sambung pak Manto.


“Ada nggak upaya rutan buat tahanan manfaatin potensi dirinya yang bisa hasilin uang?” tanyaku.


“Adalah, bang. Itu kegiatan di gedung samping gereja. Kan tempat orang ekspresiin bakat minatnya. Ada yang melukis, buat patung dari pahatan kayu, dan banyak lainnya. Disiapin juga sarana bagi yang bisa motong rambut. Untuk abang tahu saja, walau nggak lebih dari 10 orang, saya diem-diem ngebina tahanan yang punya kemampuan, biar mereka bisa dapet uang buat cukupi kebutuhannya selama disini. Nggak ngerepotin keluarganya lagi. Dan banyak pegawai juga sipir yang lakuin seperti apa yang saya perbuat, bang. Cuma memang nggak diumumin,” urai pak Manto. 


“Gimana cara pak Manto bukain peluang buat mereka?” tanyaku, penasaran.


“Saya lihat dulu, mereka punya potensi apa, yang selama ini terpendam. Yang pinter melukis, misalnya, saya siapin sarananya. Ekspresinya saya beri ruang. Hasil lukisannya, saya bantu jual ke kawan-kawan. Hasilnya, saya kasih ke orang itu. Salah satunya seperti itu,” jelasnya.


“Kalau Yoga, dikasih peluang jadi apa buat dia cukupi kebutuhan selama di dalem?” tanyaku, ketika melihat Yoga ikut duduk bersama kami, setelah mengantar surat.


“Aku kan bisa servis, bang. Mulai tivi, radio sampai ke hp. Banyak kawan pak Manto yang dia minta servisnya ke aku. Ya lumayan, bang. Bener itu, cukup buatku hidup bulanan disini. Nggak perlu minta ke rumah lagi,” Yoga yang menjawab, sambil tersenyum bahagia.


“Emang kamu bisa servis-servis gitu, Yoga?” tanyaku, dengan serius.


“Pasti bisalah, bang. Yoga ini nggak mungkin buat senpi kalau nggak ahli ngotak-atik elektronik. Cuma sudah saya pesenin, walau kamu ngerti bener ngerakit senpi, jangan lagi lakuinnya. Jalani aja profesi sebagai guru dan buka servis elektronik di rumah,” kata pak Manto, menjawab pertanyaanku. 


Beberapa saat kemudian, pak Manto menanyakan agenda penting hari itu. Yoga menjawab, bila tidak ada agenda penting.


“Kalau gitu, saya pamit dulu. Nggak balik ke kantor hari ini. Sebelum ashar, mau ke pantai. Ngajak istri berendem air laut. Untuk ngilangin penyakit encok dan rematiknya,” kata pak Manto.


Dan setelah pak Manto meninggalkan ruangannya, Yoga membuka tas ransel yang dibawanya dari kamar. Ternyata berisi Alqur’an. Ia langsung membacanya.


“Wudhu dulu kalau mau baca Alqur’an itu, Yoga. Kalau baca komik, nggak apa-apa kita dalam keadaan nggak suci,” kataku, melihat Yoga mulai membuka Alqur’an yang ditaruhnya di meja kerja tempatnya.


“Ooh, gitu ya, bang,” jawab Yoga, dan langsung bergerak ke kamar mandi.


Aku mengaktifkan telepon seluler. Meng-chat istri dan anak-anakku, juga Laksa. Bertanya kabar. Istriku Laksmi mempertanyakan kenapa aku bisa mengaktifkan telepon pada siang hari, karena biasanya malam hari. Anakku Bulan dan Halilintar pun menyatakan keterkejutannya karena aku menghubungi mereka pada waktu yang tidak seperti biasanya. (bersambung)

LIPSUS