Cari Berita

Breaking News

Perihal Sastra dan Akal Sehat

INILAMPUNG
Senin, 15 Mei 2023

Eeng Nurhaeni

Peradaban dan kebudayaan yang buruk tercermin dari pola berbahasa dari masyarakat yang cenderung sarkastis. Bangsa-bangsa yang memahami seluk-beluk sastra, dengan pendekatan etika dan humanisme, seakan berhak bagi mereka untuk maju dan memiliki peradaban tinggi. Karena bagaimanapun,  indikator bangsa yang besar identik dengan tingginya kualitas kebudayaan di negeri tersebut.

Dalam filsafat idealisme Hegel, tiga unsur pokok pemikiran manusia mesti dipegang-teguh, yakni kualitas kebenaran (logika), nilai-nilai kebaikan (etika), dan keindahan (estetika). Generasi melek sastra yang mencerminkan kualitas budaya bangsa, seakan dilumpuhkan di sepanjang rezim militerisme Orde Baru. Sehingga, anak-anak generasi milenial seakan merasa haus dari pola pikir sastrawi. Kita bisa memahami ketika seorang psikolog dan pakar linguistik, Thomas Lickona (1992) menegaskan bahwa indikator kerusakan budaya bangsa adalah penggunaan kata-kata yang buruk (bad language).

Saat ini, banyak akademisi dan budayawan merasa cemas karena rendahnya kualitas pendidikan sastra di tingkat rumah-tangga, sekolah, hingga ke tingkat kampus perguruan tinggi. Budaya mendongeng, membaca, menulis, dan mendiskusikan karya sastra harus dihidupkan dalam ruang-ruang kelas maupun keluarga. Semakin bagus keluarga dalam berucap dan berkomunikasi, semakin terampil anak-anak bangsa memanfaatkan kata-kata dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Sebaliknya, jika sehari-hari orang tua memberikan teladan dalam berbahasa buruk, kasar, dan kotor, para anak-didik akan mudah mengadopsi pola berbahasa yang dipakai oleh orang tuanya. Untuk itu, di tingkat kelyarga bangsa, pemimpin rumah-tangga harus menjamin gizi sastra bagi perkembangan otak dan pikiran anak-anak didik, dari hal-hal yang sederhana, kemudian terus meningkat pada nilai dan kualitas sastra yang bertaraf tinggi. Orangtua bisa mempraktikkannya dengan membiasakan membaca dan menulis karya sastra. Anak-anak harus dikenalkan ilmu sastra, karya sastra, bahasa sastra, sastrawan nasional dan daerahnya, kritik dan apresiasi sastra, sampai pada tingkat metafora.

Adapun tempat yang paling layak untuk memberikan edukasi bagi pemekaran bahasa yang santun dan arif bagi anak-didik adalah keluarga di rumah-rumah tangga. Sebab, apapun sistem komunikasi dan gaya bahasa dalam keluarga sangat menentukan corak budaya dan karakteristik mereka. Terlebih bahasa sastra memiliki kekuatan magis yang bisa menyugesti memori anak-didik. Di sisi lain, bacaan sastra berkualitas, menjadikan anak-anak Indonesia terdorong mengembangkan kualitas kecerdasannya, serta mengasah nalar dan akal sehatnya.

Dengan kemampuan imajinasinya, anak-anak akan melejit melampaui zamannya, jika dibiasakan membaca buku berkualitas, kemudian mampu mengarang, mengilustrasikan, serta mengelaborasi hasil bacaannya.

Selain itu, fungsi sastra tak lepas dari pola untuk penguatan pengalaman batin bagi anak dan keluarga.

Menelusuri pengalaman sejarah dunia dari zaman ke zaman, terbukti bahwa sastra yang baik akan sanggup menguatkan peran keluarga untuk membentengi generasi muda dari bahaya laten di era milenial ini. Mulai ancaman laten hate speech (ujaran kebencian), cyberbullying (perundungan siber), dan bad language (bahasa kotor). Mempelajari sastra sangat mendukung akselerasi intelektualitas, imajinasi, karakter, kearifan dan kesantunan anak dalam berperilaku, bersikap, dan dengan sendirinya, berakhlaqul karimah.
 
Perihal pendidikan sastra

Wujud dari pendidikan sastra harus berorientasi pada produk karya sastra. Selain anak-didik untuk memahami karya-karya besar dunia, mereka juga perlu diajak mengarsipkan karya sastranya dalam bentuk kliping, buku maupun fail-fail tersendiri. Jika sejak kecil mereka sudah rajin menulis karya sastra, mampu memilih karya sastra yang baik, maka generasi berbudaya, beradab, santun, dan berkarakter, tidak hanya dalam impian belaka.

Bagaimanapun, dunia sastra adalah ruh keindahan dan kesantunan bagi anak-didik. Ia memang bukan segalanya, tetapi segalanya bisa berawal dari sastra. Melalui karya sastra yang baik, kekuatan kubu yang saling berseberangan di pentas politik modern, dapat ditampilkan secara bijak dan arif, hingga membuat pembaca tidak kehilangan bagian-bagian penting yang merupakan substansi dari ilmu sastra dan politik itu sendiri. Orang-orang gagal di dunia politik tidak dikemas sebagai figur yang “sakit hati”, tetapi merupakan bagian dari psikologi manusia yang terus berproses untuk menemukan kedewasaan dan jati dirinya.

Melalui karya sastra, para politikus akan berhati-hati menjalani hidupnya, terlebih bagi mereka yang tega mempraktikkan politik kotor untuk menumbangkan pesaingnya. Munculnya para intelektual dan sastrawan muda di era milenial ini, merupakan mata rantai tak terpisahkan dari realitas kebesaran pujangga kita di masalalu. Sebagaimana ungkapan-ungkapan filosofis yang mengungkap nasib para politisi yang polos dan lugu, yang apabila tidak diberi peringatan oleh rambu-rambu moral dan religiositas, mereka akan kebablasan terjun dalam kancah lembah hitam yang membuat mereka bisa terjerat ke dalam jaring-jaring ciptaannya sendiri.

Oleh karena itu, tidak cukup bagi kita untuk sekadar tersenyum menyaksikan puing-puing reruntuhan budaya dan peradaban yang sedang berjalan, tetapi selaiknya kita menarik benang-benang merah untuk menjaga nilai-nilai religiositas dengan sebaik-baiknya.

Keunikan karya sastra

Jika kita menelusuri esensi dari novel Pikiran Orang Indonesia (POI), kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kedangkalan atau banalitas adalah pangkal dari kejahatan manusia. Kecerdasan dan kedalaman hanya mungkin dicapai kalau seseorang mampu mengajukan pertanyaan eksistensial dan berani berpikir reflektif.

Tokoh-tokoh dalam novel POI terkait erat dengan analisis Andreas Maurenis Putra dalam "Teror Eichmann, Hannah Arendt, dan Pentingya Refleksi Kritis“ (Kompas, 23 Desember 2021). Andreas memberikan sebuah perspektif yang berbeda dalam melihat persoalan genesis kejahatan. Menurutnya, pandangan Arendt tentang Eichmann mencerminkan pendekatan struktural terhadap persoalan kejahatan, serta apa yang membuat seseorang nekat berbuat jahat. Kejahatan Holocaust adalah kejahatan sistematis yang melibatkan banyak psikopat, jika memang pelakunya adalah orang-orang yang terkena gangguan jiwa.

Ungkapan Andreas paralel dengan karakteristik tokoh utama POI (Haris), bahwa orang yang normal sekalipun berpotensi melakukan kekejian di dalam sebuah sistem otoriter yang sangat menekankan identitas kolektif yang didasari ideologi rasialisme. Secara konseptual, ini adalah konsep keakuan kolektif yang menegasikan yang lain (other). Novel POI memang telah banyak menyita perhatian public terkait terbongkarnya kasus pembunuhan terhadap Yosua oleh anak buah Ferdi Sambo, atas perintah atasannya sendiri.

Daniel Goldhagen dalam bukunya Hitler's Willing Executioners: Ordinary Germans and the Holocaust (1996) juga menyoroti persoalan struktural di mana ideologi antisemitisme berhasil mendefinisikan dan menanamkan musuh bersama dalam narasi apokaliptik, sekaligus menegaskan identitas keakuan kolektif. Menurut Goldhagen, dalam struktur semacam itu – kurang lebih sama dengan militerisme Orde Baru – bahwa sugesti untuk melakukan tindakan kejahatan dengan mudah bisa menjangkiti orang normal sekalipun.

Kejiwaan tentara NAZI

Douglas M Kelley, seorang psikolog yang direkrut oleh militer Amerika Serikat untuk menyelidiki kondisi kejiwaan para petinggi NAZI pernah menyatakan (1946), bahwa hasil penyelidikan kejiwaan membuktikan bahwa mereka itu bukanlah orang-orang yang berpenyakit jiwa. Mereka adalah orang-orang sadar dan waras, seperti halnya kita. Mereka juga termasuk orang-orang tua yang baik bagi anak-anak mereka.

Hanya saja, mereka tidak mampu menjawab persoalan-persoalan eksistensial yang mereka hadapi sendiri, karena ia membutuhkan jawaban secara reflektif yang tidak sebentar. Barangkali dibutuhkan jeda waktu untuk menelusurinya secara mendalam, sebagaimana narasi dalam Pikiran Orang Indonesia (Bab 3, hal. 12):

Kadang saya bertanya pada diri sendiri tentang hakekat Tuhan: apakah Dia hidup dalam lubuk hati masing-masing pribadi ataukah dalam komunitas masyarakat yang suka menghasut dan main keroyokan? Apakah Dia dan siapakah Dia? Apakah Dia hadir pada saat-saat paling genting dalam kehidupan manusia yang teraniaya dan serba menderita, karena suatu kesalahan yang tak jelas apa?

Kenapa manusia sampai tega berbuat kejam terhadap sesamanya? Dan bagaimana penderitaan itu sampai mengantarkan manusia ke pintu kemurnian ataukah ke jurang kebejatan? Dan lagi, siapakah itu pemimpin yang sejati? Apakah yang sering pamer-diri sambil meneriakkan berbagai yel-yel, ataukah yang berjuang keras memecahkan persoalan-persoalan mendasar demi mengangkat nasib rakyat ke taraf hidup yang lebih baik? Jadi manakah dari semua itu yang benar dan salah, atau yang keliru…?

Begitu banyak pertanyaan yang kelak dunia filsafat dapat membekali saya dengan jawaban-jawaban yang pas dan jitu, paling sedikit meleburkan saya pada kenangan akan makna-makna kejadian hingga membuatnya jernih dan jelas, lantas mengkajinya dalam situasi di mana saya berupaya memberi jarak dari semuanya itu.

Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa kedalaman hanya mungkin dicapai jika seseorang mampu mengajukan pertanyaan eksistensial dan berani berpikir reflektif. Pertanyaan eksistensial adalah pertanyaan kemanusiaan. Persinggungan dengan agama dan moral adalah hal yang tidak terelakkan dalam menggeluti pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Ia bersifat normatif yang menentukan arah dalam bertindak, tetapi sekaligus reflektif yang memberi ruang bagi otokritik setelah ada tindakan yang dilakukan.

Sedangkan tentara-tentara NAZI, seakan sehaluan dengan rezim Orde Baru, termasuk pewaris militerisme Orde Baru (Sambo dan kroninya). Mereka telah menorehkan kedangkalan sebagai keterbatasan wawasan pikiran pada hal administratif dan teknis semata. Eliezer hanyalah sosok dengan kualifikasi "fungsioner“ yang melangkah berdasarkan tuntunan perintah, prosedur baku, insentif, dan sangsi. Untuk itu, saya merasa perlu mengulas novel POI dalam opini khusus di kompas.id, dengan tajuk “Memahami Skizofrenia dari Karya Sastra” (14 November 2021).

Dalih pembelaan yang diucapkan para penjahat perang NAZI di muka pengadilan, hanyalah soal menaati aturan atau hukum yang berlaku saat itu. Berarti, mereka tak punya keberanian (seperti halnya Haris dalam POI) atau ketidakmampuan berpikir kritis, sehingga mengaburkan tema tanggung jawab moral yang bersifat personal.

Kedangkalan berpikir akan menjadi momok yang berperan dalam mendaur ulang kekeliruan-kekeliruan fatal di masa lalu. Lemahnya daya ingat bangsa, akan mudah dininabobokan oleh bangsa lain. Novel POI ditulis dengan penuh kesadaran untuk membangkitkan manusia Indonesia, agar tidak mengulangi dosa-dosa sejarah yang diperbuat oleh tangannya sendiri, yang dampaknya akan ditanggung oleh generasi anak-cucu dalam jangka panjang.

Kebangkitan manusia Indonesia tak mungkin dilepaskan dari peran kebudayaan, yang dalam hal ini sastra akan berdiri di garis depan, karena ia memiliki fungsi yang sangat vital bagi pembenahan akal sehat. Selain itu, wawasan keagamaan yang baik, juga kearifan lokal, dapat memberikan ruang yang cukup terbuka untuk menggeluti pertanyaan-pertanyaan eksistensial.

Untuk saat ini, barangkali yang kita cari bukan lagi jawaban, karena jawabannya sudah tersedia. Tetapi, jawaban itu tak lagi berfungsi manakala tidak ada orang yang berani bertanya, karena akal sehatnya telah dilumpuhkan oleh rezim penguasa. Sedangkan, karya sastra yang baik membutuhkan goresan pena dari kreator-kreator yang waras dan mampu memekarkan akal sehatnya. (*)


Eeng Nurhaeni, Pengamat sastra milenial, pengasuh pondok pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten Selatan

LIPSUS