Cari Berita

Breaking News

Sistem Proporsional Terbuka Wujud dari Kedaulatan Rakyat

INILAMPUNG
Selasa, 30 Mei 2023


Oleh, Muhammad Junaidi


PEMILIHAN umum telah memanggil kita/seluruh rakyat menyambut gembira/Hak demokrasi Pancasila/Hikmah Indonesia merdeka/Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya/Pengemban ampera yang setia/Di bawah Undang-Undang Dasar ’45/Kita menuju ke pemilihan umum.


Begitulah lagu pemilu yang kita dengar dimasa orde baru.


Bayangkan dimasa orde baru dalam sistem pemilu tertutup pun, lirik lagu pemilu yang ditulis "pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya"


Sang pencipta lagu tidak menggunakan kalimat "pilihlah partai mu yang dapat dipercaya" sebagaimana sistem yang berlaku di era itu.


Lirik yang menyiratkan harapan dari rakyat yang bahwa dimasa yang akan datang masyarakat akan dapat secara bebas dan rahasia memilih orang yang akan mewakili kepentingannya, tidak lagi beli kucing dalam karung, istilah yang meggambarkan ketidaktauan pemilih akan siapa yang mewakili dirinya.


Harapan itu kemudian diwujudkan diera reformasi dengan terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi no : 22-24/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa sistem proporsional tertutup bertentangan dengan UUD.


Jika kita membaca secara seksama pendapat hukum Mahkamah Konstitusi tersebut nyatalah bahwa sistem proporsional tertutup di katakan inkonstitusional dikarenakan 2 hal yakni ; 


Pertama ; bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 


Kedua ; bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tegas mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum"


Sistem proporsional tertutup inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat yang mensyaratkan keterlibatan rakyat dalam menentukan siapa yang mewakili kepentingan politiknya sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya.


Sistem proporsional tertutup  merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan keadilan, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara terbanyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara lebih kecil hanya karena nomor urutnya lebih kecil.


Yang menarik Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.


Lantas bagaimana dengan proses persidangan di MK yang saat ini sedang berlangsung tekait gugatan bahwa sistem proporsional terbuka bertentangan dengan UUD?


Kita mahfum bahwa adalah kewenangan MK untuk mengadili dan memutus permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.


Namun perlulah diingat kewenangan itu mengandung amanat konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengawal konstitusi/the guardian of the constitution. Dalam hubungan ini MK harus memastikan tidak ada undang-undang yang melanggar hak konstitusional warga negara semata-mata karena alasan menciptakan tertib hukum. Namun, di lain pihak, MK juga harus memastikan tidak terjadi keadaan yang dengan alasan melindungi hak konstitusional warga negara mengesampingkan kepentingan masyarakat. 


Sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini berlangsung adalah wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat, wujud dari pelaksanaan kepentingan rakyat dengan cara memilih siapa wakilnya secara langsung juga wujud dari  keadilan baik disisi rakyat pemilih maupun disisi caleg yang ikut dalam kontestasi di pemilu. Sebagaimana pendapat MK dalam putusan No : no : 22-24/PUU-VI/2008,


Dengan diberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan suara terbanyak, di samping memberikan kemudahan kepada pemilih dalam menentukan pilihannya, juga lebih adil tidak hanya bagi calon anggota DPR/DPRD, tetapi juga untuk masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, baik masyarakat yang bergabung sebagai anggota partai politik maupun masyarakat yang tidak bergabung sebagai anggota partai politik peserta Pemilu.


Memang sedikit aneh ketika kita membaca di media dimana salah satu Hakim MK kemudian menawarkan alternatif sistem pemilu hybrid. Sesuatu yang kurang lazim, karena sesungguhnya tugas MK adalah memastikan materi muatan dari suatu UU apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.


Pendeknya apakah sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak !


Sebagian ahli dalam persidangan saat ini juga mendalilkan bahwa sistem proporsional terbuka bertentangan dengan pasal 22 E UUD 1945 yang menyatakan "peserta pemilu untuk memilih DPR/DPRD adalah Partai Politik".


Ada juga yang menyampaikan bahwa Partai politik kehilangan kedaulatannya dikarenakan sistem terbuka saat ini mengakibatkan banyak kader partai yang telah lama mengabdi dan berproses di partai kalah dan tidak terpilih menjadi aleg. Kalah dari kader baru partai yang karena popularitasnya atau karena uang yang dimilikinya berhasil memenangkan hati rakyat. Singkatnya Partai Politik kian tergerus perannya dalam proses kaderisasi dan rekrtumen politik.


Apakah dalam sistem proporsional terbuka saat ini peserta pemilunya bukan Partai Politik, bukankah semua caleg yang ikut kontestasi pemilu saat ini adalah anggota Partai Politik, didaftarkan oleh Partai Politik. Jelas bahwa peserta pemilu legislatif adalah Partai Politik hanya saja peran rekrutmen politiknya selesai manakala caleg telah didaftarkan.


Kita kembali melihat pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK nomor 22-24/VI/2008 dinyatakan bahwa ;


Peran partai dalam proses rekrutmen telah selesai dengan dipilihnya calon- calon yang cakap untuk kepentingan rakyat, karena rakyat tidak mungkin secara keseluruhan mengartikulasikan syarat-syarat calon pemimpin yang dipandang sesuai dengan keinginan rakyat kecuali melalui organisasi politik yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan politik dari kelompok-kelompok dalam masyarakat. Karena itu, keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik.


Akhirnya lewat catatan ini, saya memahami bahwa bagi mereka yang menjunjung demokrasi, bagi mereka yang menjunjung kedaulatan kerakyatan, akan gundah terhadap informasi bahwa MK akan mengembalikan sistem pemilu dari proporsional terbuka kembali ke sistem proporsional tertutup. Wajarlah jika Pak SBY Presiden RI ke 6 kemarin melontarkan kegundahannya atas akan kembalinya sistem proporsional tertutup. 


Sebab harus kita ingat bahwa prinsip kedaulatan rakyat tidak hanya sebagai basic norm  yang memberi warna dan semangat pada konstitusi dalam menentukan bentuk pemerintahan, akan tetapi juga dapat dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undang- undang di bidang politik.


Saat ini kedaulatan rakyat dan keadilan dalam bidang politik telah mewujud dengan berlangsungnya Pemilu  Presiden dan Wapres, pemilu DPD, DPR, DPRD, juga Pemilukada dimana rakyat memilih secara langsung siapa yang hendak dipilihnya.


Semoga MK tidak membuat keadaan baru untuk pemilu DPR/DPRD dengan memberlakukan hukum yang berbeda terhadap keadaan yang sama yakni sama sama pemilu namun berbeda cara rakyat memilihnya sehingga dinilai tidak adil dan berpotensi bertentangan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 yang mengakui kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law). 


Ingatlah memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang berbeda.(*)


Muhammad junaidi, SH 

Ketua DPC Partai Demokrat Lampung Selatan

LIPSUS