Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 520-Penutup)

INILAMPUNG
Minggu, 04 Juni 2023


Oleh, Dalem Tehang


SETELAH aku melipat kertas yang dikirimkan Bulan, memasukkannya ke kantong baju, istriku Laksmi kembali mengeluarkan selembar kertas.


“Ini dari cah ragil ayah,” kata Laksmi, dan menyerahkan kertas dari Halilintar kepadaku.


Di dalam kertas putih bersih tersebut terdapat tulisan tangan cah ragilku, Haliintar. Memang tidak serapih tulisan tangan Bulan, namun cukup tegas menunjukkan kepribadiannya. Tegar dalam ketenangan. 


“Ayah, adek cuma bisa kirim kata-kata ini buat penyemangat. 1. Belajarlah seperti padi, semakin berisi, semakin merunduk. Itulah rendah hati. 2. Belajarlah seperti akar, tidak terlihat tetapi memberi banyak manfaat. Itulah bersedekah. 3. Belajarlah seperti air, selalu dibutuhkan tapi setelahnya terbuang. Itulah mengikhlaskan. 4. Belajarlah seperti burung, mampu terbang jauh tapi tidak lupa dengan daratan. Itulah bersyukur. Adek bangga sama ayah.”


Demikian tulisan Halilintar yang terdapat di dalam selembar kertas, yang dikirimkan melalui istriku. Tanpa terasa, mataku memerah. Tidak lama kemudian, ada butiran air mengendap di sudut kedua alat penglihatanku. Iya, aku menitikkan air mata.  Begitu haru jiwaku. Hingga kembali badanku bergetar kencang. Menahan segala kesedihan yang begitu dalam.    


Seorang pegawai kejaksaan datang. Membawa rompi warna merah. Kami pun memahami. Waktuku untuk mengikuti sidang sudah di depan mata. Setelah aku memakai rompi bertuliskan “Tahanan” tersebut, kami keluar sel sementara. Istriku Laksmi dan adikku Laksa berjalan terlebih dahulu menuju ruang tempatku akan disidang. 


Sementara aku harus bergabung dengan kawan-kawan yang lain, dan setelah berbaris rapih, menyusul langkah istri dan adikku. Ketika memasuki lorong ruang-ruang persidangan, tampak belasan wartawan menunggu dengan kameranya. Baik media elektronik, cetak maupun online. Mereka sibuk menjalankan tugas profesinya.


Delapan orang yang berjalan bersamaku, memasuki ruangan sidang yang sama. Saat akan memasuki ruangan, aku melihat pengacaraku, Makmun, dan timnya, berdiri di pintu. Langsung mengarahkanku untuk duduk bersama istri dan adikku. 


“Ramai bener wartawan hari ini ya, ayah. Nggak kayak biasanya,” kata istriku, dengan pelan. Setelah aku duduk di sampingnya.


“Kali karena banyak yang bakal vonis hari ini, bunda. Kawan-kawan wartawan kan cari berita eksklusif,” sahutku, dengan santai. 


Dua jaksa penuntutku telah duduk di kursinya. Tampak beberapa kali mereka menatapku. Aku memahami, bila persidanganku akan menjadi yang pertama dari beberapa sidang lainnya. Tidak lama kemudian, tiga hakim memasuki ruangan, yang segera kami sambut dengan berdiri dari duduk di kursi. Memberi rasa hormat.


Majelis hakim membuka persidangan dan memerintahkan aku untuk maju. Duduk di kursi pesakitan. Pengacaraku duduk di tempatnya. Persidangan dimulai. Tanpa banyak kata pembuka, ketua majelis hakim membacakan putusannya. Klimaksnya, aku divonis dua tahun penjara. Dipotong masa penahanan yang telah aku jalani selama ini. Majelis hakim meyakini, aku melanggar pasal 372 KUHAP.


“Alhamdulillah,” ucapku pelan, setelah mendengar putusan hakim.


Aku sempat memandang ke arah pengacara. Mereka menggeleng-gelengkan kepalanya. Informasi yang aku terima mengenai vonisku, akhirnya mendapatkan kebenaran, setelah ketua majelis hakim mengetukkan palunya.


Majelis hakim memberi kesempatan untukku berdiskusi dengan pengacara. Ketika kami tengah berbincang, istriku memberi isyarat. Agar aku menerima putusan majelis hakim. 


Spontan aku menyudahi diskusi dengan pengacara, dan kembali duduk di kursi pesakitan. Saat itu, aku menyampaikan kepada majelis hakim, bila menerima vonis dua tahun penjara.


Ketika ditanya majelis hakim, jaksa penuntut umum juga menerima putusan hukum tersebut. Dan karena semua telah menerima, majelis hakim menyatakan perkaraku telah inkrach.


“Nanti menyusul surat resminya dari pengadilan maupun kejaksaan. Terdakwa tetap ditahan di rumah tahanan negara untuk menyelesaikan masa hukumannya,” kata ketua majelis hakim.


Setelah sidang ditutup, seperti sebelumnya, aku menyalami majelis hakim, juga jaksa penuntut umum, dan tentu saja pengacaraku. Pegawai kejaksaan langsung mendekat, begitu aku bergerak dari kursi pesakitan. Mengajak kembali ke sel sementara.


Sebelum keluar ruang sidang, aku peluk istriku dengan rasa haru. Lama kami berpelukan, sehingga tidak menyadari bila banyak kamera yang mengabadikan momen tersebut. Aku baru mengetahuinya setelah melepaskan pelukan dengan Laksmi, dan berganti berpelukan dengan adikku Laksa.


Ketika keluar ruangan, belasan wartawan mencecar dengan berbagai pertanyaan atas vonisku. Sambil terus memeluk istri, aku sampaikan bila menerima putusan hakim sebagai bagian dari takdir hidupku.


“Jadi, sekarang statusnya sudah narapidana ya. Kan nggak banding. Begitu juga jaksa, nggak banding,” kata seorang wartawan.


“Iya, statusku sekarang napi. Begitu kata hakim tadi. Tinggal surat resminya aja, nanti dikirim ke rutan,” jawabku, dengan santai.


“Apa yang akan dilakuin selama menjalani sisa masa hukuman?” tanya wartawan lain.


“Aku mau nulis. Cerpen-cerpen selama ini sudah rutin ditayangin media online. Nanti nyusul tulisan soal kehidupan selama di rutan. Sesuatu yang eksklusif tentunya,” sahutku, dan bergegas jalan menuju sel sementara.


Sesampai di dalam sel, aku solat Ashar. Diikuti Laksa dan Laksmi. Berkali-kali istriku menyatakan keikhlasannya atas takdir kehidupanku, yang sangat berpengaruh untuk keluargaku. 


“Kita tetep sabar dan ikhlas ya, ayah. Akan ada masanya kita berterimakasih sama masa-masa ini. Untuk semua luka dan air mata yang ada, hingga kita bisa bertahan dan tetep berdiri seperti ini,” kata Laksmi, dan memelukku dengan erat.


“Iya, bunda. Kita kuat kok. Kata orang, dalam hidup ini ada masanya berharap, ada waktunya buat berhenti, ada masa berjuang, juga ada masanya untuk mengikhlaskan,” sahutku, juga memeluk tubuh istriku dengan penuh rasa haru dan bangga. 


“Dengan sudah putusnya perkara ini, kakak pasti akan lebih tenang. Lanjutin semua kegiatan yang sudah dijalani selama ini di dalem, jadi hari-hari menghabiskan sisa masa tahanan nggak begitu terasa,” kata Laksa.


“Iya bener itu, dek. Dengan vonis ini dan sekarang berstatus napi, buat kakak lebih enjoy memang. Minimal nggak perlu bolak-balik lagi ke pengadilan. Malah sekarang bisa konsentrasi dengan kegiatan di dalem, karena sudah jelas berapa lama lagi jalani sisa masa hukuman,” sahutku, tetap dengan nada santai.


Saat matahari akan tenggelam, barulah aku kembali ke rutan. Ku peluk dengan erat istriku dan adikku sebelum menaiki mobil tahanan. Tiada lagi beban di dalam jiwa. Tiada pula keruwetan di dalam pikiran. Karena sudah terbayang, berapa lama lagi sisa masa hukuman yang akan aku jalani. Ada sebuah kepastian. 


Dan sebagai seorang napi, aku sangat menyadari, jika yang terkurung di dalam bui hanyalah lahiriyah semata. Sama sekali tidak akan mampu mematikan api perjuangan yang terus berkobar di dalam jiwa dan pikiran, untuk mentas lebih baik lagi pada panggung kehidupan selanjutnya. (penutup).

LIPSUS