Oleh Taufik Rinaldi *)
Kalau sore ini ada yang bilang, "Bambu adalah masa depan umat manusia!", kamu percaya?
Mereka segelintir anak-anak muda Indonesia yang saya temani bermain-main di Denpasar akhir pekan kemarin. Buat mereka, bambu agroforestry nyaris sudah jadi ideologi.
Dengan mata berbinar-binar mereka menyusun strategi kerja dan kolaborasi bagaimana bambu bisa jadi solusi masalah kemiskinan, ketidakadilan, gender, ekonomi, dan seni. Rentang area kerjanya gak main-main, melibatkan restorasi lahan kritis jutaan hektar dan duit jutaan dolar. Dahsyat!
Ada yang lucu ketika membincangkan strategi organisasi. Hari pertama suasana agak 'mendung' ketika mereka menghujani forum dengan banyak masalah: pendanaan tersendat, pembagian kerja gak jelas dan tumpang tindih, kelelahan menyeimbangkan antara inovasi, peluang, dan konsistensi program yang sedang berjalan, belum lagi rentang koordinasi yang panjang karena melibatkan para pejuang di garda depan yang berurusan dengan lembaga lintas negara sampai ngopi-ngopi dengan para Dubes dan Menteri hingga para pegiat di garda tapak yang bergelut dengan Pemda, Desa, Adat, dan ulat bambu yang konon enak disantap.
Tapi, begitu dibahas beberapa kali, kesimpulannya mengejutkan: ada banyak capaian keren yang justru bisa diraih dalam situasi kekacauan (chaotic) yang mereka jalani. Ketidakjelasan tupoksi kerja memicu munculnya kekuatan anggota dan pengurus organisasi. Yang tadinya 'di-setting' ngurusin keuangan ternyata jago mengkoordinasi. Yang semula urusan administrasi program belakangan lihai berperan untuk melakukan pendampingan komunitas. Tukang riset ternyata jago tata organisasi. Bu Bos yang kerjanya melanglang buana promosi dan cari peluang kerjasama global sesekali masuk dapur jadi chef untuk rapat-rapat anak muda yang nafsu makannya seperti tentara 30 kompi.
Belajar bersama mereka kita menemukan relevansi istilah "Holacracy" sebagai bentuk organisasi kerja masa depan. Apa yang dipercaya generasi kolonial dan milenial tentang struktur hirarki lembaga berbentuk piramida (Ketua, Sekretaris, Ketua Bidang, Staf, dst.) sudah harus digantikan dengan bentuk kelembagaan/struktur organisasi berbentuk sekumpulan gelembung yang saling berdempetan menyerupai kecebong atau telur ikan.
Di satu program anda jadi ketua divisi tapi di program lain anda jadi tukang desain untuk publikasi. Minat bisa banyak dan tugas organisasi untuk menangkap dan memberi peluang. Agak gila sih, tapi ternyata sudah tersedia aplikasi kerja yang memungkinkan orang saling koordinasi tanpa harus frustrasi karena ketiban ikutan whatssap grup yang jumlahnya belasan atau puluhan.
Di sesi terakhir semua orang berkumpul duduk melingkar di lapangan terbuka dan diminta memilih satu kata untuk refleksi mewakili kesan mereka terhadap proses rembug yang berlangsung selama empat hari. Ada yang bilang 'keren', 'semangat', 'kreatif', 'happy', 'capek', 'penasaran', dan lain-lain. Ketika giliran saya disuruh pegang mic, yang terlontar dari mulut saya adalah kata 'future'.
Ya, empat hari itu adalah 'masa depan' yang konon kata Kahlil Gibran, 'tak bisa kamu kunjungi meski dalam impian'. Saya beruntung tidak harus bermimpi terlebih dahulu untuk bisa berada di antara anak-anak muda hebat ini.
----
*) penulis novel, esai, dan peneliti. tulisan ini diambil dari status FB/IG miliknya.
