Cari Berita

Breaking News

Rawa Subur dan Puisi Otobiografi Isbedy Stiawan ZS

Dibaca : 0
 
Sabtu, 24 Juni 2023


            Isbedy, Arief, Sihar Ramses



INILAMPUNG, JAKARTA -- Puisi adalah jalan menangkap kini dan kenang, ruang dan waktu, gagasan dan peristiwa, yang deformatif.


Hal itu dinyatakan Sihar Ramses Simatupang ketika berhadapan dengsn puisi-puisi penyair Lampung, Isbedy Stiawan ZS, dalam buku terbarunya Ketika Aku Pulang (Siger Publisher, 2022).


Forum Diskusi Meja Panjang di Gedung Ali Sadikin lt 5 Pusat Dokumentasi Sastra HB Jasssin, Jumat (23/06) petang hingga menjelang magrib ini digelar Dapur Sastra Jakarta bekerja sama dengan PDS HB Jassin.


Sihar menyodorkan makalah "Isbedy, Pulang dan Rawa Subur" memulai percakapan bahwa mengemas buku adalah penting. 


"Saya salut pada cara Isbedy mengantar masuk ke alam puisinya. Cara mengemas. Barangkali kalau puisi itu diletakkan sepotong-sepotong saja, tak akan membentuk sebuah horison. Setangkup cakrawala," kata Ramses yang dipandu Helmi Haska.


Isbedy, lanjut dia, memang kerap menebarkan sepotong demi sepotong puisinya. Di rubrik puisi koran. Di website. Di media sosial. Di buku kumpulan puisi bersama penyair lain.


"Tapi ketika puisi itu bertemu dengan puisi lainnya yang menyimpan berkas ruang dan waktu tentang Rawa Subur. Terlihat betapa puisi pun sanggup membentuk olahan yang lengkap. Selengkap atau bahkan lebih lengkap dari novel atau cerpen."


Menurut Sihar, kenangan di pembaca tak lagi berupa jalinan imaji si penyair, urutan kalimat tapi juga antar kata yang terngiang. Pada karya Isbedy, kata itu bukan berupa kata lokal dan dalam bahasa daerah tapi bagaimana diksi dia saling menjalin, memisahkan diri atau berebut dominasi antara satu kata dengan yang lain.  Dengan kearifan Isbedy, puisi tak lagi menyorot dirinya. 


"Dia telah menjadi bagian dari elemen puitik tentang Rawa Subur. Ceceran diksi membentuk puisi. Tapi ceceran diksi juga menambah kisah lain di puisi yang lain. Pembaca mengumpulkan setiap cecer ini dan menyematnya sebagai kumpulan empati dan pengayaan bathin tentang Rawa Subur. Bukan hanya data dan fakta yang bergerak tapi juga mental dan spiritual pembaca tentang Rawa Subur."


Saya yakin juga, imbuh Ramses, kalau puisi ini hampir seluruhnya tak bertendensi disebarkan ke media – sebagaimana banyaknya puisi yang pernah dibuat oleh penyair produktif ini.  lokasi yang dirindu, disayang tapi juga sesuatu yang dibenci dan sesuatu yang traumatis di dalamnya. 





Sementara, Arief Joko Wicsksono sebagai pembanding melihat Isbedy sebagai sosok sastrawan Lampung yang tidak saja produkrif melainkan turut mewarnai perpusian di Indonesia, juga menjadj penanda bagi penyair yang datang kemudian.


Penyair Arief yang sehari-sehari menjadi dosen Politeknik Negeri Jakarta ini, mendekati Isbedy dari awal kepenyairannya bersama Assaroeddin Malik Zulqornain (almarhum). 


Kembali kepada asal, ‘kampung kelahiran’  Rawa Subur, dalam pengakuan diri sebagai manusia non penyair serta Isbedy selaku penyair, dalam Ketika Aku Pulang tampak saling bertangkup- menyatu menjadi pengalaman hidup sekaligus pengalaman puitiknya  yang terpadu dengan analekta pernak-pernik memori, baik  memori yang sakral-sakral  hingga memori yang banal-banal. 


"Naluri dari suara sanubari ingin kembali itu menjangkiti, kian merasuki diri penyair, diakui, tatkala usia   memasuki hitungan kepala 6.  Ternyata, dalam  berbagai wilayah jelajah penyair yang kini   memiliki 40-an lebih buku kumpulan puisi tunggal, masih ingin menandai  pengalaman hidup  dengan kisah dan memori yang lain. Pengalaman hidup yang tak terlupakan," ungkap Arief yang pernah menjadi wartawan itu.


Masih kata dia, setelah menelorkan sejumlah tajuk buku  dengan nama serba kota, misal ada: Kota Cahaya; Kota Kembar; Kota, Kita, Malam;  Menuju Kota Lama, selanjutnya dengan Kita Hanya Pohon; Dongeng Adelia; November Musim Dingin; Perahu di Atas Sajadah; Setiap baris Hujan; Anjing Dini Hari; Melipat Petang Dalam Kain Ibu, Di Alunalun itu Ada Kalian, Kupu-kupu dan Pelangi; Lukisan Ombak, Menampar Angin, Kini Aku Datang;  Aku Tandai Tahilalatmu,  masih ada satu yang mesti ditandai secara khusyuk, yaitu desa kelahiran.


Tampaknya, urai Arief, pada otobiografi puisi serial “Pulang”, ada nuansa dominan pada memori bunda. Ibu, ibu, ibu.. ibu, terus disajakkan penyair. Juga beberapa kali ibu bersama ayah, seperti pada “Pulang” 6, 7, 10, 16, 17., 23. Pada “Pulang”  25, 26, 27, 28, 29, 33, serta “Pulang” 38 yang berupa wasiat ibu, sebelum wafat. Dari sejumlah puisi yang berkaitan ibu, serial nomor 26 akan dibeberkan di sini. “mana gambar itu? Perempuan/ berkebaya, rambut dikonde/ mata sipit, tanpa polesan/ --- tapi ibu, kau adalah bidadari// kelak mengajakku pulang/ ke balik langit lengang/ tanpa perlu selendang/ sebagai sayap, karena cintamu/ aku bisa terbang sendiri// mana gambar ibu? Wajah/ yang selalu mengikuti/ ke mana aku merantau/ dan melekat di wajah/ perempuannku (“Pulang”, halaman 32).


"Sebagai penikmat sajak saya merasa dalam Ketika Aku Pulang, karya-karya yang berkaitan dengan ibu lebih terasa cair, tercurah untuk lebih dominan dorongan bercerita –narasi, demi menumpahkan kerinduan-kerinduan pada strata ibu yang berposisi mulia. Keprigelan penyair dalam menata metafora yang menyentuh terasa ‘menipis’. Ini beda tatkala menulis ibu dalam buku Menampar Angin, sajak “Seperti Wajah Ibu” (Halaman 28), 2003; buku Kota Cahaya sajak “Saatnya Aku Mengerti” (Halaman 36, 2005); buku Anjing Dini Hari pada “Mata Ibu, Sungai Bungsuku” (Halaman  59, 2007)."


Isbedy tampil lebih dulu. Ia membeberkan proses kreatif puisi untuk buku Ketika Aku Pilang. Menurut dia, setiap puisi tidak lepas dari latar yang menyertai. Ibarat asbabun, puisi hadir ksrena ada latar bagi kelahirannys.


Bedah buku inj dihadiri sekira 60 orang dari dosen, mahasiswa, seniman, dan sastrawan.


Tampak para sastrawan adalah Adri Darmaji Woko, Uki Bayu Sejati, Herdi SRS, Budhi Setyawan, Yon Bayu, Rini Intama, Fanny Jonatan Poyk, Priska Putri Asmiranti, Yusuf Susilo Hartono, Nanang R Supriyatin, Remmy Nogaris DM, pelukis Tatang Ramadhan Bouqie.


Diskusi ini dibuka dengan pembacaan puisi oleh dua mahasiwa Politeknik Negeri Jakarta, Itene Nur Anggraini dan Yuheinida Meilani. (jkt/inilampung).









      

LIPSUS