Oleh Isbedy Stiawan ZS
GEDUNG Ali Sadikin lt 5 PDS HB Jassin, selepas salat Jumat, ruang meja panjang untuk bedah buku puisiku Ketika Aku Pulang (Siger Publisher, 2022), masih kosong.
Aku masuk ke tempat acara itu lebih awal. Salat Jumat di Masjid Amir Hamzah komplek Taman Ismail Marzuki bersama penyair Nanang R Supriyatin, Arief Joko Wicaksono, dan Yusuf Susilo Hartono.
Selang beberapa waktu, Jonminofri Nazir hadir. Remmy Novaris dan rekan-rekan panitia lain belum tampak. Arief dan Jon mengusulkan untuk menikmati secangkir kopi di lantai dasar gedung Ali Sadikin. Kami plus Eddy Pramduane menyeruput kopi di bawah.
Hampir pukul 14.00 kami kembali ke ruang Meja Panjang. Satu persatu pengunjung datang. Ada Adri Darmaji Woko, Lasman Simanjuntak, Herdi SRS-Herdi Sahrasad/Herdi Umbaran Putra, Rini Intama, Fanny J Poyk, Yon Bayu Wahyono, Uki Bayu Sejati, Helmi Haska sebagai modertator diskusi.
Lebih 30 menit dari jadwal yang semestinya 14.30 acara pun dibuka Remmy Novaris DM sebagai komandan Dapur Saatra Jakarta sebagai penggagas. Dilanjutkan pembaca puisi dari Ketika Aku Pulang oleh Irene Nur Anggraini dan Yuheinida Meilani--mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta.
Aku membuka sesi bentang makalah. Bagianku menerangkan proses kreatif penilisan puisi atau membuat buku puisi, khususnya buku yang dibedah oleh Sihar Ramses Simatupang dan Arief Joko Wicaksono.
Dalam menerbitkan Ketika Aku Pulang diawali dengan lahirnya puisi dan pernah terpublikasi ini pada 2018. Sebuah puisi panjang, "Rawa Subur, 60 Tahun Kemudian". Puisi inilah yang memantik keinginan menyatukan puisi-puisiku lainnya yang tercecer ke dalam buku.
Puisi-puisi yang tercecer -- meminjam istilah Sihar Ramses -- sebagai potongan-potongan memang tersimpan di sejumlah file, bahkan di lamab FB. Mula kerja yang kukira tidak gampang. Apalagi dalam satu tema: Rawa Subur, tanah kelahiran, masa kanakku, ibu + ayahku yang "menjadikan aku ada" sampai sekarang.
Titik terberat adalah Rawa Subur dulu. Aku si anak banal (bandel dan anak nakal), zona brong, kriminal kala itu, pengikisan para penjahat di Rawa Subur di era penembakan misterius (petrus) minta ditilis. Maka buku puisiku ini, Arief Joko Wicaksono, menamai "puisi otobiografi". Ini selaras dengan pengantarku: Biografi Kecil.
Rawa Subur di kawasan Enggal (sekarang bernama Kecamatan Enggal, Kota Bandarlampung) telah tumbuh dan bergemuruh selama separuh lebih hidupku. Jadi sudab begitu kental. Laiknya membatu/menjadi patung dalam tubuhku. Bagiku Rawa Suburku sama dengan diriku, dengan segala tanda dan penanda, suar dan lelampu yang setiap saat mengingatkan aku.
Aku begitu mudah masuk dan keluar, sambil menoreh ingatan. Inilah kenangan-kenangan yang mewarnai sajak-sajakku dalam Ketika Aku Pulang -- yang sampulnya digarap penuh oleh Tatang Ramadhan Bouqie termasuk sumbang lukis untuk ilustrasi sampul).
Lahir dan besar di Rawa Subur bagaikan diriku telah berenang hingga ke dasar airnya. Sebagai kanak yang bukan anak mami, lebih banyak berada di luar rumah. Telah kuhirup udara Rawa Subur. Sudah kucecap-teguk air dari sumur di Rawa Subur. Juga darah pertama (ibu) atas kelahiranku, ariari yang dikuburkan di sana.
Meski dalam peta Bandarlampung mungkin Rawa Subur tinggal setitik, tapi sebagai dusun ia punya nama dan selalu nama itu tidak akan hiliang. Di sini aku berproses untuk menjadi manusia di hadapan manusia-manusia lain di kota, mancanegara, dan internasional.
Asimiliasai kultural, bersentuhan dengan kebudayan antaretnis dimulai dari sini. Hubungan sosial, spiritual, dan segala bentuk tindak manusia kuawali di sini.
Bagaimana bisa kuhapus dari benak dan hatiku? Kenangan-kenangan itu memanggil:
setinggitinggi aku terbang rawa subur tetap terbayang biarpun ke dasar aku menyelam rawa subur tak akan hilang rawa subur adalah mula kata di sana aku akhiri ucap dengan apa kulupakannya bahkan pada maut kubawa kelak aku pulang
Itulah Rawa Subur Itukah pula Rawa Subur yang mungkin akan dikenal dan dikujjungi politisi pada saat pemilihan umum? Tetapi aku tetap mencintai. Separuh napasku ada bersama Rawa Subur..Lokalitas itu yang ingin kutawarkan lewat buku puisiku ini. Tawaran ihwal kearifan lokal -- lingkungan terdekat bagiku sebagai penyair -- kepada pembaca, semoga bsrmakna.
Buku puisiku ini telah diluncurkan di Universitas IBA Palembang, lalu dibedah di Forum Diskusi Meja Panjang, dan akan disikusikan pula di Adakopi, Bojongsari, Depok pada Minggu 25 Juni 2023..
Dan, aku masih punya harapan, bisa didiskusikan dalam satu acara di Bandarlampung. Tak elok kalau di luar dicakapkan, malah di tanah kelahiran atas puisi-puisi ini senyap.*
Menteng Jaya Jakarta, 24 Juni 2023