INILAMPUNG -- Buku puisi Ketika Aku Pulang karya Isbedy Stiawan ZS, bukan saja biografi kecil dari seorang penyair berjuluk Paus Sastra Lampung ini. Tetapi, membangun kembali "peta" masa lalu yang mungkin dilupakan.
Itulah yang hendak disodorkan penyair Lampung yang sangat produktif dan banyak "bermain" di tingkat nasional daripada di daerahnya.
Buku puisi Ketika Aku Pulang (2023) adalah puisi panjang dan beberapa puisi yang bicara tentang Rawa Subur, suatu kawasan di Enggal, Bandar Lampung yang menjadi "kampung" kelahiran dan masa kecil Isbedy.
Buku puisi dengan desain cover dan lukisan Tatang Ramadhan Bouqie ini, akan dibahas di Forum Diskusi Meja Panjang bekerja sama dengan PDS HB Jassin, Gedung Ali Sadikin, Jumat (23/06/2023) pukul 14.00-16.30.
Isbedy hadir sebagai pembicara utama. Ia berbicara proses kreatif puisi dan lahirnya buku Ketika Aku Pulang. Pembedah adalah sastrawan-wartawan Sihar Ramses Simatupang, dan pembanding sastrawan-dosen Arief Joko Wicaksono.
Sihar Ramses Simatupang dalam amatannya menjelaskan, sesungguhnya Ketika Aku Pulang, tidak hanya membaca awal dan rantau secara fisik, tapi awal kelahiran, secara spiritual, keberadaannya oleh Sang Pencipta, Sang Khalik, Ilahiah, adalah berbanding lurus dengan kepulangan.
"Rawa Subur adalah analogi, adalah metafora, adalah semiotik Isbedy untuk kembali ke tempat asali, keabadian sebelum kelahiran, keabadian juga setelah kematian," kata Ramses mengutip bahan percakapan.
Dikatakan Sihar, Rawa Subur adalah peta miniatur untuk membaca kehidupan dan “yang ada” untuk semesta yang lebih abadi, sakral dan Ilahiah.
"Ini zaman digital. Ceklah Rawa Subur. Hanya sepotong informasinya di antara tumpukan data tentang Bandar Lampung. Tapi Rawa Subur di buku puisi Isbedy Stiawan ZS ini bukan lagi peta lokasi. Sudah ruang dan waktu. Lokus dan tempus. Tapi juga sebuah peradaban," kata Ramses.
Sihar mengaku salut pada cara Isbedy mengantar masuk ke alam puisinya. Cara mengemas. Barangkali kalau puisi itu diletakkan sepotong-sepotong saja, tak akan membentuk sebuah horison. Setangkup cakrawala.
"Puisi adalah jalan menangkap kini dan kenang, ruang dan waktu, gagasan dan peristiwa, yang deformatif. Susunan tak selesai hanya di penyair, di buku puisi ini tapi pembaca kemudian dapat menyusunnya kembali di saat membaca bahkan meletakkan buku puisi ini."
Pada karya Isbedy, lanjut Ramses, kata itu bukan berupa kata lokal dan dalam bahasa daerah tapi bagaimana diksi dia saling menjalin, memisahkan diri atau berebut dominasi antara satu kata dengan yang lain.
"Dengan kearifan Isbedy, puisi tak lagi menyorot dirinya. Dia telah menjadi bagian dari elemen puitik tentang Rawa Subur. Ceceran diksi membentuk puisi. Tapi ceceran diksi juga menambah kisah lain di puisi yang lain," Sihar menjelaskan. (zal/inilampung)