Oleh Isbedy Stiawan ZS
SETIAP puisi ada latar yang menyertai. Ibarat "asbabun" mengapa puisi diciptakan atau dilahirkan. Istilah lain, sebab-sebab ke(lahir)an sebuah puisi atau sejumlah ada yang mengikuti.
Latar ini akan terungkap atau diungkapkan penyairnya saat diminta menjelaskan proses kreatif. Kalau tidak, maka puisi biarlah menjelaskan sendiri. Bukankah pengarang sudah mati begitu karyanya dilempar ke publik?
Puisi tak serta merta lahir, ada yang mendahului, yakni inspirasi, ide/gagasan, maupun pemantik lainnya.
Antologi (buku) puisi Ketika Aku Pulang yang didiskusikan hari ini, juga memiliki latar (asbabun) yang menyertainya. Berikut proses kreatif kelahiran antologi tersebut.
Saya tidak punya kampung (etnis), meski dari ayah (Zakirin Senet) ada titisan darah Bengkulu dan dari ibu (Ratminah) mengalir darah Jawa Cirebon.
Saya lahir dan besar di Tanjungkarang (sekarang Kota Bandarlampung) Provinsi Lampung. Tempat lahir, persisnya Rawa Subur dan masuk Desa Enggal kala itu. Sebuah dusun kecil yang dikelilingi oleh etnis Lampung, Serang (Banten), Bengkulu, Minang, serta etnis lainnya. Benar-benar heterogen.
Kawasan ini bertetangga dengan Kebon Jahe, Rawabengkel, Rawarahayu, dan Rawa Laut, serta Rawasari. Saat ini Rawa Subur sudah tidak dikenal, selain berupa nama jalan. Enggal juga bukan lagi desa melainkan kelurahan dan bahkan kecamatan.
Rawa Subur menempa masa kecil hijgga dewasa. Kawasan yang berada di pinggiran rel kereta api dari Stasiun Tanjungkarang-Pelabuhan Panjang, kala itu dikenal sebagai daerah bronk (kejahatan): baik pencuri, pemabuk, dan genk berkelahi. Saya berada dalam pusaran itu. Mau tidak mau. Menolak ataupun menepis. Sebab rumah saya di sana.
Pertikaian antarpreman hampir setiap hari saya mamah. Pada era penrmbak misterius (petrus), kawasan ini menjadi target serius pihak kepolisian. Setiap subuh kami dihebohkan dengan penemuan dan pengambilan mayat preman. Bagi pemuda yang memiliki tato cemas dan ada yang segera menghapus dari badannya. Walaupun harus menderita.
Saya ada dalam pusaran peristiwa menegangkan itu. Saya juga ikut di dalam "kepremanan" masa remaja tersebut..Setidaknya ikut-ikutan mengukir badan, mabuk minuman, maupun daun ganja. Saya juga mengekor kawan-kawan, yakni menanamnya dalam pot dan diletakkan di kamar mandi.
Semasa SMA saya menjadi-jadi. Pulang jelang subuh dengan langkah lunglai. Kadang tidur di rumah kawan. Suasana seperti itu sulit saya hilangkan dari benak dan batin saya.
Pada saat seusia seorang pelajar SMA, teman sekelas mengajak saya bermain teater. Kebetulan sanggar tetaer tersebut tengah menyiapkan pementasan. Ia mengajak saya bukan karena kawan karib semata, tapi dikarenakan ia tahu kalau saya suka menulis "puisi". Sengaja saya beri tanda kutip, saya ragu mengatakan apakah tulisan tangan saya dan dibacakan di RRI Tanjungkarang kala itu apakah benar puisi atau hanya ungkapan seorang remaja.
Di sanggar teater ini, di sela jeda latihan kami membicarakan puisi (dan cerpen) di samping evaluasi latihan-latihan. Bermain teater hingga saya selesai SMA, bahkan saya makin "candu" untuk menikmati pementasan di TIM Jakarta, misal dari Arifien C Noer, Nano Riantiarno, dan Putu Wijaya. Pernah pula menyaksikan pementasan teater Rendra. Untuk sampai ke TIM pada 1980-an adalah perjuangan sangat berat dan berisiko bagi saya.
Anak "DPR" Rawa Subur
Saya meninggalkan Rawa Subur sekira 1985-an. Di sana masih ada rumah orang tua dan beberapa rumah/lahan yang dikelola adik-adik saya. Di daerah pinggiran rel (DPR) saya ditempa menjadi keras sekaligus jauh dari adab yang baik.
Tetapi, entah mengapa saya merasa "terselamatkan" oleh kesenian. Saya buang perilaku tak baik, di kala saya menggeluti seni (teater dan sastra). Meski saya tidak bisa melupakan kenangan manis-pahit, putih-hitam semasa di Rawa Subur. Apa yang saya katakan ini, juga saya ungkaplan di dalam pengantar buku puisi saya Ketika Aku Pulang. Semacam biografi kecil saya: biografi masa kecil/remaja saya di daerah yang pantas disebut "hitam" saat itu. Kini sudah berubah drastis.
Ingatan atau kenangan, yang riang sebagai kanak-kanak maupun yang sedih sebagai anak yang hidup dari keluarga kurang mampu, saat berusia di atas 50-an kembali bergelayut. Bagaimana saya berlari memburu kereta yang sedang melaju lalu melompat naik, kemudian lompat dan berlari saat turun. Semua itu realitas saya sebagai anak di daerah pinggiran rel kereta. Sajak-sajak yang mengisahkan anak pinggiran rel kereta api, sebelum banyak saya tulis di tahun 1985-1988.
Sebagai warga kawasan kriminal dan hampir tiap hari kabar penembakan misterius bagi preman di sana, telah membuat saya menulis cerita pendek "Morak" di Minggu Merdeka.
Persis di bawah jendela kamar tidur saya, sebuah gang bagi warga lintas, biasa dijadikan lapak judi para preman. Selain riuh maka tak jarang berakhir adu senjata tajam di sana. Perjudian juga biasa dilakukan di atas nisan-nisan TPU Kebon Jahe, tak jauh dari rumah saya.
Kenangan Puitik di Usia 60
Kenangan-kenangan itu rasanya puitis di saat usia saya mendekati 60 tahun sampai 63 tahun. Latar Rawa Subur tersebut yang menginspirasi sajak-sajak saya dalam Ketika Aku Pulang. Saya sempat membayangkan, sekiranya buku ini diluncurkan di rumah masa kecil saya yang kini makin padat, lebih puitis dari puisi iru sendiri. Tetapi, andai itu tidak pernah terlaksana.
Pada usia 60 tahun, usai saya mengunjungi Rawa Subur, silaturahim dengan adik-adik dan beberapa sahabat masa remaja, tergoda imajinasi saya untuk menulis puisi. Lahirlah puisi "Rawa Subur, 60 Tahun Kemudian".
Puisi itu cukup panjang, dan kiranya mendapat respon baik dari kawan-kawan pegiat dan pengamat sastra di Lampung. Mereka menyarankan andai ada puisi lainnya yang berbicara ihwal Rawa Subur atau ingatan-ingatan masa kanak-remaja serta Rawa Subur, baiknya disatukan dalam buku (antologi).
Selain "Rawa Subur, 60 Tahun Kemudian", saya juga punya puisi-puisi lain di antaranya "63 Kali Berputar", "Pulang" – dalam puluhan bagian, dan lain-lain. Saya pun menuruti saran kawan-kawan. Bahkan, testimoni mereka saya sertakan dalam pembuka buku puisi Ketika Aku Pulang.(2022).
Buku puisi itu saya awali dengan "Andai Aku Pulang, Adakah Masa Lalu?".
ANDAI AKU PULANG,
ADAKAH MASA LALU
"anak pinggir rel kereta,
kau lelaki, harus berani
lompat dan turun dari
kereta api!" pesan ibu
kala itu aku kelas 5 SD
ibu pun tak cemas
jika pagi di hari libur
aku sudah berdiri dekat
rel kereta. kemudian
lompat saat kereta lewat
menuju stasiun panjang
- main di pelabuhan
kunikmati laut dan
para kuli mengangkut
barang dari kapal
menuju gudang -
dan anakanak memunguti
serpihan yang jatuh
dari karung yang sobek
sepanjang dermaga
anakanak itu
berambut perak
gegas di antara
para kuli pelabuhan
aku memandangi
pelabuhan dan laut
keriuhan dan kesunyian
ibu di rumah hanya menanti
anaknya pulang di sore hari
atau cemas kalau aku
kembali melebihi magrib
"kubawakan ikan dari
pemancing yang baik," kataku
lalu kuserahkan ikan besar
sebagai anak pinggir rel
rawa subur yang penuh
kenangan, bagaimana bisa
kuhapus segala ingatan
- semasa kecil dan remaja -
bahkan di sini pula
pertama kucium gadis tetangga
di warung kecil yang tutup
sewaktu malam. gadis itu
minta tambah, aku pun gairah
: betapa kanakkanak yang
gaduh di hatiku!
andai kini aku pulang
adakah masa lalu
2020
Sedangkan dua tahun sebelum lahir puisi di atas, saya menulis puisi "Rawa Subur, 60 Tahun Kemudian" ini:
RAWA SUBUR,
60 TAHUN KEMUDIAN
di sini, sebelum 60 tahun kemudian,
sepasang rel akan membawa umur
dalam gesekan besi dan detak sepur
sehampar kebun labuh, pohon petai
seperti hendak menggapaigapai
begitu jauh membawa dan pergi
bulan juni. di bawah jendela
depan rumah masih terasa
tangan ayah
di bekas makam ariari
dulu sekali dicahayai lampu
aku tahu itu setelah jadi bocah
rel kereta masih gemuruh
buah labuh berganti musim
tanah bekas menanam ariari
— hanya misteri —
pohon petai yang menggapaigapai
harus rebah juga di atap rumah
— ayah bersyukur tiada korban —
tapi aku menunggu batang petai
tumbuh “aku suka sambal
petai, petai rebus. alangkah sedih!”
tak perlu kenang yang tumbang
bahkan, rel kereta yang kini sunyi
karena tiada penumpang ke panjang
(kecuali kereta pembawa batubara
yang meringis setiap hari, dan
rawasubur serasa diguncang)
rawasubur, 60 tahun kemudian
telah migrasi ke kota
tanahtanah kosong bagiku
bermain siang dan di bawah bulan
tumbuh bangunan — tanpa buah
labuh, kelapa, petai, jengkol —
yang dulu untukku sembunyi
saat bermain petak-umpet
kena! satu dan berikutnya
terkapar dan di tubuhnya
beberapa lubang peluru
entah, pemburunya
begitu misteri
yang mati penjahat di sini
kenangankenangan itu datang
enam puluh tahun kemudian
ketika rambutku sudah berwarna
dinding rel kereta membelah
dua kampung, rawasubur-kebonjahe,
yang semakin pangling
“kau yang datang isbedy?”
: aku kenangan
Enggal, 5 Juni 2018
Selanjutnya bisa diperiksa dalam buku yang dibincangkan ini. Di sana ada pula catatan pengantar yang mendekati semacam biografi kecil saya.
Pulang
Buku Ketika Aku Pulang adalah berlatar Rawa Subur, baik tentang ingatan dan kenangan, ihwal perkawanan kala itu, dan lainnya. Akan tetapi, ibu menjadi "tokoh" yang berperan amat kuat, setelahnya ayah dan seterusnya.
Untuk mewujudkan antologi ini, saya juga berdiskusi dengan kawan-kawan, misal Endri Y Kalianda, Lukman Hakim, Arman AZ. Sebagian saran mereka saya lakukan, dan masukan yang lain ada pula saya biarkan sebagai percakapan saja.
Untuk puisi "Andai Aku Pulang, Adakah Masa Lalu", "63 Kali Berputar", dan "Rawa Subur, 60 Tahun Kemudian" masih tidak sulit mengambil di file saya untuk dibukukan, namun puisi terpanjang (dalam puluhan bagian) yakni "Pulang" jelas membutuhkan waktu dan kesabaran. Karena puisi-puisi itu terpecah atau tercecer berbagai dokumen. Sebab, puisi-puisi tersebut berawal dari tanpa judul. Artinya, hanya catatan puitis soal ingatan pada masa kanak, cerita-cerita ibu dan ayah, kerinduan pada kedua orang tua saya, juga lokus Rawa Subur.
Kemudian saya susun sesuai rasa lalu saya beri angka (bagian). Soal titimangsa tidak lagi penting saya terapkan di sini. Saya membiarkan tiap bagian puisi bercerita sendiri dan menemui pembacanya.
Pulang bagi kehidupan ini sesuatu yang meniscaya (atau pasti). Seperti juga kepergian. Setiap perjalanan akan kembali atau pulang. Setiap terbang akan hinggap kembali. Bagi saya, pulang tiba-tiba membayang. Karena setiap diri ini, saya meminjam pendapat Nirwan Dewanto, membawa kampung (kelahiran/wilayah etnis/tempat di mana dilahirkan), maka Rawa Subur menjadi kerinduan saya di usia 60-an: "Di sana beta dilahirkan!". Sebab, kampung bagi kesukuan saya, sudah lama tak lagi terkenang.
Maka Rawasubur seakan memanggil-manggil masa silam saya. Terutama semasa anak-anak, remaja, dan dewasa. Saya menijggalkan di mana saya dilahirkan itu ketika berumah tangga. Tetapi, orang tua dan adik-adik masih di situ..Jadi, saya masih kerap menyinggahi Rawa Subur. Terkadang bercengkerama dengan kawan-kawan remaja – teman yang dulu bersama memalak penjual mie atau sate di waktu begadang – sambil mentertawakan "kebangetan nakal kami" waktu remaja. Sebagian ingatan/kenangan itu ada dalam puisi-puisi saya di buku Ketika Aku Pulang ini.
Mengumpulkan lalu menyatukan dalam satu buku dengan tema pulang, kenangan dan ingatan kampung kelahiran bernama Rawasubur dengan historigrafi, geografi, kultural saat saya masih kanak-kanak sampai remaja, bukan hal mudah. Tentu masih banyak kenangan yang manis maupun pahit yang belum sentuh di dalam Ketika Aku Pulang.
Biarlah yang tidak tersentuh kesempatan ini tetap sebagai misteri: rahasia saya dengan ingatan-ingatan tersebut.
Buku ini mendapat 'kehormatan' tak ternilai, ketika Tatang Ramadhan Bouqie berkenan menyumbangkan lukisan untuk ilustrasi dan bahkan digarap pula desain sampul. Sehingga bisa dilihat hasilnya; saya puas dan bangga! Seorang Tatang – saya menyapanya "kang Ramadhan" – yang dikenal perupa, desain media lulusan ITB – dengan senang membantu saya berkolaborasi.
Barangkali ini saja uraian saya tentang proses kreatif (ke)lahir(an) antologi puisi Ketika Aku Pulang. Artinya, sebuah karya sastra punya latar atau asbabun hingga menjadi/mewujud.
Sekian, terima kasih kepala Forum Diskusi Meja Panjang, juga menginisiasi kehadiran saya di sini. Mereka adalah kawan baik saya dalam bersastra: Remmy Novaris DM, Nanang R. Supriyatin, Giyanto Subagyo, Sunu Wasono. Serta pembicara yang hebat: Sihar Ramses Simatupang yang kesempatan ini menjadi pembedah Ketika Aku Pulang juga Arief Joko Wicaksono sebagai pembanding. *
Lampung, bertepatan milad, 5 Juni 2023
—------
*) tulisan ini pengantar Proses Kreatif Antologi (Puisi) di Forum Diskusi Meja Panjang, Gedung Ali Sadikin Lantai 5 PDS HB Jassin, Jumat 23 Juni 2023 pukul 14.00-16.30.
**) Isbedy Stiawan ZS adalah sastrawan asal Lampung. Saat ini berkhidmat di keorganisasian Lembaga Seni Budaya Olahraga (LSBO) PW Muhammadiyah Lampung dan Lembaga Seni Budaya & Peradaban Islan (LSBPI) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung.