Cari Berita

Breaking News

Mariatul: Denny JA Dorong Kaum Perempuan Aktif

Sabtu, 29 Juli 2023

Ahmad Gaus, penulis buku Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama:  Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google.  








INILAMPUNG, BANJARMASIN -- Komunitas Perempuan Interfaith (KPI) Banjarmasin bekerjasama dengan Rumah Menulis Dunia (RMD) dan Lajnah Imaillah Jemaat Ahmadiyah menyelenggarakan diskusi dan bedah buku Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama:  Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google.  

Acara diadakan di aula Jemaat Ahmadiyah, Jl. Dahlia Kebun Sayur, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada Jumat (28/07/2023).

Hadir sebagai narasumber adalah Mariatul Asiah, Pendiri KPI dan Ahmad Gaus, penulis buku. Juga tampak hadir sejumlah aktivis perempuan  dari berbagai agama. 

Diungkapkan oleh Mariatul bahwa acara ini digelar untuk menghidupkan solidaritas di antara perempuan yang melampaui batas-batas primordial seperti suku dan agama. Tantangan perempuan di mana pun dan dalam agama apapun, ujarnya, selalu sama yakni menjadi objek dari penafsiran agama yang dikembangkan oleh para ulama berjenis kelamin laki-laki.

Mariatul menjelaskan, sampai saat ini masih ada anggapan bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua.  Keberadaannya hanya untuk melengkapi laki-laki. Mereka rentan menjadi korban KDRT dan kekerasan seksual. 

Masih banyak kasus perempuan yang didiskriminasi, dilemahkan, dipinggirkan. Semua itu terkait dengan budaya patriarki yang tumbuh di atas tafsir agama yang bias gender.

“Karena itu saya menyambut baik pemikiran Denny JA dalam buku ini yang mendorong kaum perempuan untuk merebut tafsir agama. Ini berarti bahwa kaum perempuan tidak boleh diam, melainkan harus aktif dalam diskursus keagamaan. Kalau diam saja maka mereka akan menjadi target dari tafsir agama yang dipaksakan kepada mereka,” tandas Mariatul.

Lebih lanjut Mariatul menguraikan bahwa pemikiran Denny JA mendorong lahirnya kesadaran tentang pentingnya kebebasan, kesadaran kesatuan dengan alam, kesadaran hak asasi manusia, dll. Semuanya membutuhkan tafsir baru. Karena itu kompetisi tafsir tak terhindarkan.

“Ungkapan merebut tafsir itu muncul sebagai arus kesadaran baru di kalangan kaum perempuan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri. Mereka melakukan perlawanan terhadap tafsir yang berkembang selama ini, yang tidak memiliki sensitivitas gender. Bahkan kontra kesetaraan manusia,” tegas Mariatul lagi.


Perlu Tindakan Sosial yang Baru

Sementara itu Gaus menguraikan pemikiran-pemikiran Denny JA daalm buku yang ditulisnya dengan sudut pandang sosiologi agama. Para ahli mengatakan bahwa agama memiliki pengaruh besar dalam perkembangan masyarakat. Asalkan tafsir mengenai agama harus terus menerus disesuaikan dengan kebutuhan zaman. 

Karena itu interpretasi atas teks-teks agama menjadi penting. Teks di langit harus diberi rumah di bumi. Kebenaran samawi harus dibenturkan kenyataan sehari-hari.

Ilmuwan sosial seperti Denny JA, ujar Gaus, membawa agama dari wilayah metafisika yang sakral ke wilayah kebudayaan yang profan. Dari dogma teologi menjadi fenomena kultural.

“Itulah makna dari rumusannya bahwa agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia.  Dengan rumusan ini maka agama muncul dengan wajah yang humanis..” tegasnya.

Jika agama semata-mata hanya diperlakukan sebagai wahyu, maka ia hanya hanya akan berada di ruang kesadaran ilahiah dan individual. 

Tapi dengan menjadikan sebagai warisan kultural, atau produk budaya, atau bahasa sosiologinya “fakta sosial”, maka ia dapat diihat perkembangannya di tengah masyarakat melalui riset empiris dan penelitian kuantitatif.

Di sinilah, menurut Gaus, kontribusi penting Denny JA sebagai ilmuwan sosial yang melihat agama sebagai fenomena sosial yang dapat diteliti, bukan sebuah nubuwat tentang perkera-perkara gaib.

Terkait perebutan tafsir agama, Gaus mengutip pandangan Weber tentang “tindakan sosial”. Budaya patriarti tidak lain ialah tindakan sosial tradisional yang terus diulang-ulang padahal merugikan kelompok gender perempuan.

“Dasar dari tindakan sosial tersebut ialah tafsir. Nah, yang harus direbut ialah tafsir yang berpihak pada kebebasan perempuan untuk menentukan diri mereka sendiri, bukan dittentukan oleh orang lain. Lelaki. Tafsir itu harus diwujudkan dalam tindakan sosial yang baru, sehingga terbentuk budaya baru sebagai tandingan dari budaya patriarki,” pungkas Gaus.

Dalam sesi tanggapan, Suster Ruvina Sitorus menegaskan tentang pentingnya memupuk kerjasama di antara keragaman agama di tingkat akar rumput. "Keragaman itu indah. Ketika kita melebur ke dalam keragaman maka kita akan bahagia," tegasnya. 

Acara yang dimulai Pukul 15.00 WITA itu juga dihadiri perwakilan dari komunitas Hindu, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Musyawarah Rumah Kristen Indinesia,  Komunitas Narasi Perempuan, dan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3)
Banjarmasin. 

Acara ditutup dengan pembacaan puisi Jalaluddin Rumi oleh Windi dari Rumah Menulis Dunia, dan doa oleh Suster Ruvina. (rls/bdy/inilampung)


LIPSUS