Cari Berita

Breaking News

Diantori Ajak Tengok Kembali Tradisi Lewat "Mirul lain Mirul"

Rabu, 27 September 2023


LAMA tak menyaksikan pementasan tari di Lampung yang dikemas dengan drama, artinya ada kisah di dalamnya. Pada Selasa (26/09/2023) malam, Diantori bersama YMBL menyuguhkan pertunjukan yang menyegarkan.



Adalah "Mirul lain Mirul", judul pertunjukan tersebut. Dikemas drama-tari-musik, Diantori mengajak kita untuk menengok kembali tradisi.


Drama-tari-musik, Diantori Dihans sebagai sutradara merangkap produser menyebut Drama Musikal, ini berdurasi 90 menit. Dimulai dengan munculnya seorang ibu tua yang dipanggil Mami oleh anaknya. Peran mami dilakoni aktris senior Lampung, Iin Mufhmainah aka Iin Zakaria.


Kehadiran Iin sebagai pencerita dalam pementasan ini, memperkuat alur cerita. Ini mirip dengan nenek saat mengisahkan percintaannya di kapal pesiar Titanic dalam film "Titanic". 


Apa itu Mirul? Dalam tradisi dan adat budaya Lampung pepadun, penyebutan untuk perempuan (muli) yang telah menikah. Mirul adalah penyeimbang bagi tatanan keluarga. Sebab Mirul sebagai perekat keluarga.


Untuk sampai kepada sebutan Mirul, ada proses yang menyertai. Drama garapan Yayasan Murni Budaya Lampung (YMBL) bekerja sama dengan Gardance Story Community, mengisahkannya dengan apik. Ada drama, tari, musik, dan dikemas secara humor, riang, serta satire dan kritik.


Ada tradisi jaga damar. Ah, tradisi ini pernah saya saksikan sekira 1970-an, masa berusia 12 tahun di suatu perhelatan rnikah. Jaga damar ini dilakukan bukan gadis (mekhanai-muli) Lampung. Meja disusun memanjang, para gadis dan bujang berhadap-hadapan. 


Mereka diizinkan orang tua untuk bertemu ataupun berkenalan. Saya katakan "mendapat izin" sebab keluarga Lampung sangat ketat menjaga anak-anak gadisnya. Tetapi, dalam jaga damar, waktu yang dibolehkan. Pada acara yang kala dulu sebelum ada penerang listrik, untuk penerang dipakai damar. Atau bisa juga lampu minyak maupun petromak. 


Pada sesi pertemuan bujang gadis inilah, bisa saling kenalan dengan cara bersurat-suratan di kertas yang disediakan. Setelah itu, tak jarang berlangsung saling mencintai hingga ke jenjang pernikahan.



Dalam tradisi Lampung Pepadun, ada adat melarikan gadis (muli) yang disukai/dicintai. Larian ini dikenal dengan istilah sebambangan. 


Sebelum sebambangan, si gadis akan meninggalkan surat dan uang di bawah bantal. Ia dilarikan bujan pujaan ke rumah tetua yang dihormati. Sehingga si gadis tetap dijaga kehormatannya. Lalu keluarga lelaki akan mendatangi rumah gadis untuk memberi tahu, serta menyerahkan keris dan lainnya.


Setelah itu dilakukan musyawarah adat untuk mendapati kata mufakat. Betikutnya adalah nyubu. Yaitu para jiran yang mau tahu wajah gadis yang dilarikan, menggunakan kain sarung yang menutupi wajahnya selain mata. Layaknya ninja bertopeng.


Berlanjut begawi ini dengan jaga damar, dan seterusnya. Begawi adat pernikahan dalam tradisi Lampung Pepadun, memang panjang. Bisa beberapa hari. Tetapi, semua itu berjalan riang dan riuh. Diselingi teriakan serempak: "Sorakeee…." yakni menyorak baik calon pengantin perempuan ataupun pria. Sampai saling suap makan di kuade. Biasanya di sini, ada perempuan yang dituakan dan memiliki anak, akan berkata/berdoa: "Semoga dikarunai 40 anak!" 


Usai prosesi adat, untuk perempuan jadilah mirul. Ia mesti menjaga marwah keluarganya di rumah suaminya, sebagai penyeimbang keluarga.


Sampai di sini, pementasan drama-tari-musik "Mirul lain Mirul" berjalan tak membosankan. Alur cerita mengalir antara tari dan musik. Humor atau banyolan disusupkan di dalamnya. 


Diantori yang jebolan ISI Yogyakarta jurusan tari, lama menggarap pertunjukan tari di Lampung dan di berbagai even tari di luar kota. Ia bersama komunitasnya, Gardance Story, selain membina para pemari muda juga menggarap berbagai even tari.


Diantori juga melakukan semacam "pembocoran" di atas panggung. Misalnya, saat penari lelaki yang berperan perempuan, tiba-tiba menyingkap kainnya tinggi-tinggi. 


Atau kain yang dipakai salah satu penari melorot. Membuat penonton tertawa. Begitu pula saat anak-anak lelaki yang naik ke panggung dan seolah mencari mana ibunya dari para ibu yang diperankan para lelaki. Lalu ia melompat dan minta digendong ketika ditemui ibunya.


Dalam adegan "pertemuan" para ibu yang hendak pesta, Diantori mengkritik "kebiasaan" ibu-ibu: menggosip dan memamerkan perhiasan (aksesoris) yang dipakai. Padahal, tak lain adalah serbaimitasi. Percakapan para ibu (Lampung?) dengan logat ke-Lampung-an juga disuguhkan. Sehingga tontonan ini menjadi makin segar. 


Melalui "Mirul lain Mirul" yang dipentaskan sampai 27 September 2023 malam, dengan harga tiket kalau saya tak salah Rp50 ribu, mengajak kita untuk menengok kembali ke tradisi, yakni Lampung Pepadun, yang mungkin hampir tiada (dilupakan) di masyarakat kota. 


Sebuah pertunjukan yang memuaskan, dan sepanjang durasi tak membuat kita jenuh. (isbedy stiawan zs)



LIPSUS