Cari Berita

Breaking News

Dermaga 4 Ketapang

INILAMPUNG
Senin, 23 Oktober 2023




Endriyono
Esais, Tinggal di Bandarlampung


SEKIRA tahun dua ribuan, tepatnya 2002. Saat itu heboh berita bakal terjadi kiamat dan banyak orang yang memilih mengunci diri di dalam rumah. Saya justru bepergian ke Tanjung Putus, Pulau Tangkil, Pulau Legundi, dan tentu saja, Pulau Pahawang. 

Kendaraan umum yang bisa dinaiki, hanya angdes. Sejenis mobil L300 yang dibuat tudung dan kursi kayunya, berhadap-hadapan antarpenumpang. Naiknya dari Pasar Cimeng, Teluk Betung. Setiap hari, hanya ada satu kali keberangkatan yang bisa mengantar sampai Bawang. Berangkatnya setiap jam 13.00. Kalau tak salah, sampai Bawang, sekitar jam 16.30. 

Kemudian, pada 2009, saya sering ke arah pantai itu lagi. Juga masih sepi, jika sebelumnya naik angkutan umum yang jelek, pasca reformasi saya sudah naik sepeda motor. 

Dan begitu dari Pantai Pancur, hendak pulang ke Bandar Lampung, sampai Umbul Limus sudah jam 19.00. Mengendari motor supra tromol, naik turun dan masuk tikungan tajam, jalanan sepi dan gelap. 

Seperti masuk ke dunia lain. 

Pada kondisi semacam itulah, saya merasakan pentingnya ajaran salat dua rakaat sebelum safar. Dan pasti akan berbeda pengalaman spiritual orang yang pernah merantau atau melakukan perjalanan, dengan seseorang yang tak pernah bepergian. 

Ujung Punduh Pidada, tepat di lekuk paling selatan Pulau Sumatera itu, sejak tahun segitu yang belum ada listrik dan jalanan masih banyak yang berbatu kasar, manusia penghuninya menjadikan beras sebagai makanan pokok. Kalimat ini yang membuat saya disentak. Termasuk ketika menanyakan ada warung tidak di daerah pedalaman dan kepulauan itu. 

"Kami ini manusia, Mas. Bukan binatang. Tentu makannya nasi."

Dan zaman segitu, di pedalamannya, sudah ada rokok beragam merk. Harganya, sama dengan warung eceran di Pasar Hanura. Tentu memecah kebekuan dan agar kawan saya yang menyentak tak semakin tersinggung. Saya berucap sambil senyum. "Oh, makan nasi, saya kira masih belum pakai baju dan jalannya bungkuk."

Setelah ada beberapa Villa orang luar negeri, baru teman saya menawarkan cara lain. Kalau hendak cepat sampai, ada pilihan transportasi ke Pulau Legundi. Yakni, dari dermaga Ketapang, yang angdes dari Bandar Lampung ada setiap saat, dilanjutkan sewa perahu. Hanya 45 menit sampai. Sementara jika jalan darat, dari Ketapang setidaknya masih butuh waktu 2 jam.

Sejak saat itu, saya tak pernah ke arah sana lagi sampai masuk lagi pada tahun 2022. 

Dan sampai sekarang, nyaris tiap pekan bepergian ke sana. Betapa terkejutnya, ternyata wisatawan ke Pulau Pahawang, luar biasa ramai. 

Sekira bulan lalu, saya hendak menyeberang. Beragam rombongan datang, ada yang hendak pulang. Banyak yang kaosnya seragam perusahaan, logo BUMN, dlsb. Mereka liburan berombongan, menikmati keindahan panorama laut dan bawah laut.

Siapa saja, warga daratan dan apalagi perkotaan yang setiap hari sibuk urusan kerja, begitu liburan ke Pulau Pahawang satu dua malam, pasti merasakan sensasi tersendiri. Baca saja ulasan mereka di mesin pencari, indah-indah dan terhibur.

Ratusan dan mungkin ribuan orang masuk ke Pulau Pahawang, apakah berdampak secara ekonomi bagi warga pulau hingga meningkatkan taraf kesejahteraan?

Saya hanya tertawa ketika heboh beberapa waktu lalu, ada Perdes di Pulau Pahawang yang menegaskan, setiap wisatawan diminta tiket masuk sepuluh ribu itu. Tapi saya tidak mau membahas bagaimana mestinya pemerintah merespon lonjakan kunjungan wisatawan agar berdampak bagi pendapatan warga. Sehingga berkah tinggal di daerah yang indah juga dikompensasi menjadi kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Meski jika tidak ada upaya serius upgrade skills warga, disertai dengan kemampuan beradaptasi bermukim di area tujuan wisata, ramainya wisatawan hanya bakal memunculkan gejolak sosial baru. 

Saya hanya akan berkisah seputar keindahan Pulau Pahawang. Yang pasti Anda menyesal jika tidak pernah ke sana. Tapi, layaknya orang liburan, ke sana mesti bawa uang yang banyak. Ada layanan ada harga. 

Kalau mau liburan bagus, makan enak, menemukan tempat indah, dilayani sebagai turis, di mana saja di belahan dunia ini, hukum yang berlaku pasti mahal. 

Jika mau murah, tentu masuk era tahun dua ribuan itu. Saya masih ingat, tanpa keluar uang banyak, hanya ikut jalan di pinggir pantai bareng warga, atau mencari kepiting di sela-sela akar bakau, sorenya bisa makan sebaskom kerang, setengah ember kecil kepiting batu. Yang lezat dan gurihnya setelah dibakar, masih tersublim di lidah. Malamnya, ikut perahu klotok mengobor atau mancing cumi-cumi. Dan atau ke bagan, ikut perahu yang mengumpulkan hasil tangkapan ikan. Semua masih mudah dan murah. 

Pada beberapa lokasi, melempar pancing seadanya pun bisa mendapat ikan kakap sebesar tapak tangan. 

Namun demikian, keindahan itu bakal terasa sebagai liburan jika kita lakukan hanya sehari dua hari. Bayangkan kalau kita tinggal di sana bertahun-tahun, apa yang indah menjadi sesuatu yang membosankan karena setiap saat kita saksikan. 

Maka jangan heran, jika nyaris separo penghuninya, dan yang bekerja di banyak sektor jasa pengantar wisatawan itu, justru orang dari luar pulau. 

Itu hampir terjadi dimana pun pulau yang jadi destinasi pariwisata.(*)

LIPSUS