Endriyono
Esais, Tinggal di Bandarlampung
Saya baru ke luar siang hari. Kaget. Panas sekali. Angin berhembus kencang dari arah selatan. Dulu, jika semilir angin dari arah selatan sudah mulai, berarti kemarau. Pertanda masuknya musim anak-anak bermain layang-layang di pinggiran kampung. Aktifitas lari dan kejar-kejaran di sawah yang mulai retak tanahnya, bakal berhenti setelah angin bertiup dari arah barat.
Maka, para tetua di kampung kami. Bakal teriak. "Ada barat. Musim barat, perbanyak salawat."
Di tengah perjalanan, saya merasa haus sekali. Begitu melihat pohon kelapa, seketika berhenti. Meminjam golok. Dua butir, langsung air dugan itu saya glogok. Tandas tanpa sisa. Satu cengkir, satunya gembotok. Alhamdulillah. Tak pernah saya merasa sehaus itu, dan segar seperti ini.
Di desa kami dulu, area yang persawahannya tadah hujan, dugan merupakan buah yang bebas hukum. Siapa saja boleh memetiknya, sekarang kian langka. Wajar jika sudah ada iklan di televisi dengan vulgar menyebut, "terbuat dari air kelapa asli" atas produk minuman kemasan.
Beberapa malam lalu, dipinggir kampung kami digelar festival layang-layang. Sampai pagi. Jalan penghubung antarkampung diportal. Penonton mesti bayar tiket masuk. Yang ikut lomba banyak sekali. Langit malam di pinggir kampung kami bertabur kerlap-kerlip, riuh suara welasan.
Angin ini, seperti alarm atas tubuh yang kian ringkih dan renta. Membuat saya tak tahan di alam terbuka cukup lama. Tapi jika di dalam ruangan, tubuh semakin cepat berkeringat.
Di kampung kami, hampir semua orang mengeluh. Merasa kehidupan kian sulit. Betapa sengsara ketika dicepit kemelaratan. Semua barang menjadi mahal dan uang menjadi kebutuhan mutlak yang terus membuat kami terlilit hutang.
Malam di tengah festival layang-layang, saya ikut dengan mereka, teman kecil kami yang kian familiar dengan bahasa asing. Yang baru saya dengar seperti; spin, maxwin, scater, rungkad, dan semacamnya.
Saya mencobanya. Di ponsel memang ada game online. Pubg, ml, dan catur. Ketika main catur online, setelah menang dan menunggu proses mencari lawan, selalu ada iklan beragam aplikasi pinjol yang terkenal itu.
Tentu, sebagai anak desa yang bodoh, saya menginstalnya. Pinjaman disetujui, senang. Cair 500 ribu. Uang yang diterima, 450ribu. Angsuran lima kali, sejumlah 139.500. Saya bayar 139 ribu pada angsuran terakhir. Jadi ada sisa 500. Dan tahukah apa yang terjadi? Hutang 500 rupiah itu, membuat saya ditelepon teror sehari bisa lima kali. Lalu bertambah sampai 2200. Dan itu membuat saya berhutang lagi. 2 juta, cairnya 1 juta 800 ribu. Delapan kali angsuran, sekali cicilan 333.000. Rentang angsuran itu, satu periodenya ternyata hanya 15 hari.
Jika tertunda sehari, bunga berbunga.
Barulah saya percaya. Benar. Di kampung kami, anak Pak Jan, punya hutang 20juta. Anak Lek Man, habis melunasi hutang totalnya 123 juta, hasil dari menjual sawahnya. Dan tentu jangan kaget. Meski semua orang di kampung kami mengeluh hidupnya kian melarat dan serba sulit, anak-anak mudanya bermain ponsel dengan kecerdasan yang dianggap punya literasi keuangan karena punya dompet digital. Mereka merokok yang sebungkus harganya senilai 3 kg beras. Sekali duduk. Uang jutaan habis dengan sekelebat hembusan angin yang membuat debu di pelataran rumah kami bergulung-gulung. Yang membuat beragam tanaman hias layu hanya sebab paginya tak disiram.
Lihatlah ponsel anak muda, jika di dalamnya ada aplikasi pinjol, ada aplikasi uang digital, apalagi ditambah wajahnya pucat, hampir bisa dipastikan, anak muda kita itu pasti dalam masalah baik mental maupun ekonomi sosialnya.
Kalau demikian fakta di perkampungan kami, siapa bilang bonus demografi itu potensi utama yang membuat negara maju?
Percayalah, kita sedang berada pada posisi sandwicks itu.
Yang menunggu siapa saja memakannya karena lezat. Kalau kita dalam posisi makanan, lantas apa yang layak kita banggakan pada generasi sandwick sebagai bonus demografi? Pantaslah, beberapa waktu lalu ada geger besar di kampung kami, karena pepaya dan pisang di kebun Pak Nuri, dipanen anak muda pakai obrok, bawa sepeda motor dan parang. Ditaksir harganya maksimal dapat Rp.200ribu.
Dan jelas, maling pisang dan kates itu bukan untuk kebutuhan dasar. Melainkan dibelikan uang digital ke BRILink, ATM Mini, atau semacamnya yang kian menjamur di perkampungan kita.
Anehnya, ada yang merasa sudah memblokir ribuan situs atau rekening yang diduga jadi tempat judi daring. Bahwa benar satu dua situs terblokir, tapi seperti perpindahan musim angin, mati satu tumbuh seribu.
Sesingkat itu, semua pesan wa atau sms di ponsel saya pun, isinya link situs judi daring.
Demikianlah, akhirnya saya yang sering tepat membuat prediksi dan analisa, merasa katam teori falsifikasi atau paham menghitung elastisitas, kini masih terduduk dalam jebakan tagihan pinjol. Mungkin kalau lama tinggal di sini, saya juga bakal ikut maling pisang atau mengunduh kates yang entah di kebun punya siapa.
Percayalah, adiktifnya game online, apalagi judi slot di pragmaticplay itu, jauh mengalahkan kecanduan rokok. Jangan pernah mencobanya. (*)