Cari Berita

Breaking News

Kades yang Baik

INILAMPUNG
Kamis, 26 Oktober 2023

Endriyono
Esais, Tinggal di Bandarlampung


MALAM itu, saya masuk ke lingkaran orang yang bersila. Obrolan seputar cara membangun desa, pertanian terintegrasi, inovasi dan kreatifitas mengolah bahan pangan, nyaris semuanya hal terkait SDGs, dibahas. Semuanya mendadak pakar. Meski banyak mencibir, saya mempermaklumkan. Setidaknya, itu semangat dan kemuliaan, semacam cita-cita luhur tentang bagaimana kampung miskin jadi desa wisata, mengkaji secara intensif juga, bagaimana ada desa miliarder, dan semacamnya.

Desa itu bisa, kenapa desa kita tidak?

Tiba-tiba, saya diberi pertanyaan. Kira-kira bahasanya begini. Bagaimana jika kita maju sebagai calon kepala desa? Bagaimana caranya menang. 

Tentu saya tergeragap. Spontan saya justru balik bertanya. Memangnya punya uang berapa? Lebih lanjut, Pilkades itu politik paling rumit untuk standar kepastian variable utama penyebab kemenangan. Apalagi jika yang dilawan adalah incumbent. 

Meski bukan perkara mudah untuk menang Pilkades, bukan sesuatu yang mustahil.

Malam itu tak ada kesimpulan, namun pada malam-malam berikutnya, obrolan mengerucut. Yakin maju. Siap menang siap kalah. Semua yang ada, tahu. Calon Kades ini orang baik. Tapi semua orang juga tahu, beliau tidak kaya. Tidak banyak uang. Jelas saja saya berkomentar. "Di politik itu, baik saja tidak cukup. Butuh variabel lain untuk bisa menang. Termasuk mau berbuat apa setelah jadi Kades." 

Calon Kades itu berani memikul kepemimpinan di level desa. Mesti siap menderita. Nanti bakal sibuk, ada orang meninggal, hajatan, lahiran, sampai anak mau masuk sekolah, lapor ke Kades. Harus bisa menyelesaikan semua masalah warga. 

Singkat cerita, maju. Kompaklah lingkaran kecil itu mendorong "orang baik ini" jadi calon Kades. Dan saya mondar-mandir untuk melihat atau sekadar hadir. Agar dianggap berpartisipasi. Minimal menemani berbincang calon Kades kami. Yang membuat saya banyak berkata. Harus siap kalah. Jangan sampai seperti ini, ucap saya seraya menyodorkan Cerpen Kuntowijoyo berjudul "Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi". 

Lalu kami tertawa sebab selalu hadir teman yang mampu membuat suasana menjadi megah, hidup, dan lucu. 

Penderitaan pun, jika diceritakan rekan kami ini, jadi sangat menghibur serta memancing tawa. Hidup ini hanya lelucon, jangan jadi mercon, kata dia.


Singkatnya, mengkampanyekan kebaikan diri melawan incumbent yang bagi uang per suara 50 ribuan. Calon Kades kami menang. Total habis 15jutaan untuk acara makan-makan warga di rumahnya. Lalu dilantik. 

Setahun lebih saya tak pernah bertemu lagi. Lalu diundang agar segera datang, kami berbincang tentang banyak hal. Saya ditanya soal BUMDes. Bagaimana caranya bisa untung. Tentu saja tertawa. Secara cashflow maupun pakai teori apa saja, BUMDes itu tak mungkin sehat sebagai perusahaan. Bayangkan, modal 100-200 juta. Pasti ngangkat tim suksesnya jadi pengurus, bahkan pasti porsi jabatannya mentereng, direktur, manajer, dlsb. Intinya, tanpa kompetensi bisnis yang memadai, nanti diberi gaji UMR saja, berapa modal yang diputar? Yang benar, bagi uang modal BUMDes itu untuk foya-foya. Lalu bareng-bareng masuk penjara karena korupsi dana desa. 

Semua tertawa. Membenarkan analisa saya. Tapi karena bentuk tanggung jawab sudah menyorongnya masuk dan jadi Kades, saya membantu bersama rombongan awal malam itu. Membuat peta kebermanfaatan Pemdes bagi masyarakat. 

Disepakatilah hitungan, berapa hasil panen padi di desa itu agar semua warga, makan dari hasil bumi pertiwi desa kita. Meski pun beli, bagi warga yang tak punya sawah. Terdata, kurang 2 ton beras selama setahun. Jika itu terlaksana. Butuh dana penyangga agar desa kami swasembada beras. Lalu ikan kali, mendata jumlah produksi ikan lele, nila, dan ayam kampung. Sampai membudidayakan aneka tales sebagai pangan alternatif.

Rumit sekali. 

Mengkonsolidasikan petani yang punya sawah lebih satu hektare, sewaktu tiba musim panen, fakta yang terjadi, tidak ada gabah yang dijemur di pelataran rumah warga. Semua sudah diangkut mobil, langsung dari sawah. Sebab, petani merasa sudah berhutang pupuk pada tengkulak dan bertepatan anaknya masuk sekolah. Butuh uang tunai segera. 

Singkatnya, semua hasil pertanian dari desa kami berjalan seperti biasa. Tidak ada beras yang dimakan warga dari hasil panen sawah kami sendiri, kecuali segelintir KK. Tidak ada ikan hasil kolam di dalam desa yang dimakan warga dalam koordinasi Pemdes, semuanya berjalan sendiri.

Termasuk ternak ayam dan kambing yang limbahnya bakal dijadikan pupuk untuk sawah di dalam desa, pupuk kendang itu tetap di jual ke luar daerah.

Cita-cita desa mandiri dan swasembada pangan, warga makan dari hasil panen tanah desa kami sendiri dan minum dari sumur atau mata air bumi pertiwi. Menjadi sebatas angan-angan. Sulit sekali direalisasikan. Air minum pun, warga sudah pakai galon atau air isi ulang/kemasan. Sebab, merebus air sumur yang jernih dan segar itu, dianggap jauh lebih mahal karena gas LPJ-nya beli. Ditambah sering langka keberadannya. Meski pemerintah menetapkan HET gas melon 18 ribu, tak ada harga gas LPJ di desa kami yang harganya di bawah 20 ribu. 

Tiga tahun berlalu. Kawan kami yang jadi Kades sering sakit. Orang kecamatan dan kabupaten terlihat sangat benci, apalagi beberapa apparat Polsek. Beberapa kali kami mendamaikan kebencian itu untuk memberi keyakinan, ini orang baik. Kalau mau sekadar dapat kerjaan dari dana desa, itu urus dengan yang lebih atas. Atur sama mereka. 

Teman kami semakin tertekan. Sakitnya kian parah. Beberapa kali mesti dilarikan ke rumah sakit yang jauh dari desa. 

Kades kami semakin menderita, karena ternyata tunjangan atau gaji Kepala Desa itu sering terlambat sampai berbulan-bulan. Sebelum jadi Kades, teman kami punya ladang jeruk yang cukup untuk sekadar beaya sehari-hari.

Sampai beberapa waktu lalu. Kemarahan saya meledak, call center pemerintah di atasnya saya caci maki. Sebab, selama ini berobat ke RS pakai BPJS dimana kartunya, ternyata mati. Padahal BPJS itu yang bayar pemerintah melalui pihak kecamatan pakai dana desa, pihak BPJS tidak mau tahu jika terlambat bayar, otomatis kartunya mati.

Kades baik yang berpegang teguh pada nilai dan kebermanfatan warganya itu, akhirnya meninggal. Wafat beberapa hari lalu. 

Saya mendapat kabar dan tak bisa datang untuk sekadar takziah. Hanya bisa mengucapkan, surgalah engkau Mas. Insya Allah syahid. Saya menjadi saksi, sampean orang baik dan bersih. Al Fatehah. (*)

LIPSUS