Cari Berita

Breaking News

Ladang Genjer di Desa

INILAMPUNG
Minggu, 29 Oktober 2023

Endriyono
Esais, Tinggal di Bandarlampung

TEMAN yang kerja dan mukim di Jakarta cerita, enak tinggal di kampung. Beaya hidup murah. Apalagi jika berasnya tidak beli, sayur tinggal metik di pekarangan, dan kalau pun beli. Harganya terjangkau. 

Mungkin dia sudah lama tidak ke perkampungan lagi. Sebab, narasi di atas pasti diucapkan periode masa kecilnya, di bawah tahun 90an. 

Sekarang, di desa itu setiap pagi sudah ada tukang sayur keliling bawa sepeda motor. Tidak ada pekarangan atau tegalan yang penuh sayur mayur. Tinggal petik. Kalau pun ada, itu ladang genjer, kangkung, dan atau daun katu yang dua dekade lalu tinggal ambil, sekarang sudah mesti beli. 

Seorang tetangga, mengalihkan sawah padinya, dari satu petak jadi 3 petak, khusus untuk genjer. Jauh lebih menghasilkan dibanding tanam padi. Genjer itu hama, semua orang bisa mengambilnya di sawah. Sekarang sudah dikelola intensif. Dari panen mingguan jadi tiga hari sekali. Tepat hari pasaran di pusat desa. Rutin uang masuk meski tak besar, tapi cukup untuk kesejahteraan keluarganya dimana tiap hari anak sekolah mesti punya uang. Tapi Pak Parman, tidak bisa dicontoh oleh Pak Wardi. Yang tidak punya sawah ladang. 

Pak Wardi memang punya keahlian tukang. Tanah rumahnya, pas hanya utuk bangunan. Empat pot bunga pun, terlihat sudah penuh di teras. Desa yang melambangkan murah pangan, telah menjelma jadi permukiman padat dengan dampak kemajuan teknologi yang mewarnai ragam aktifitas sosialnya. Pagi ini, Minggu, 29 Oktober 2023 misalnya. Rumah-rumah rapat tanpa pelataran berlomba menyetel musik keras-keras. Ada tarling. Ada lagu "Janda mana, janda mana tuan senangi..." di sela-sela musiknya, ada iklan pinjol atau e-dagang, bising sekali. Televisi sudah berganti yutub. 

Tidak ada tawaran, sini ngopi sembari menyantap mantang rebus seperti dulu. Sebab, sarapan warga desa sekarang sudah nasi uduk dan bakwan yang dijual Yuk Nas di ujung jalan. 

Pak Wardi tidak kesulitan meski sarapan nasi uduknya beli karena keahliannya jadi tukang profil bangunan cukup mengantarnya jadi pekerja yang mapan. Saya sering bercanda, belum merasakan kalau anak mulai sekolah atau kuliah. Jangan meremehkan hidup tanpa tabungan. Namun nasehat saya sering ditertawakan. Hanya beberapa tahun kemudian, tak tahan lagi tinggal di desa, Pak Wardi milih mengontrak di tengah kota. Itu dimulai lantaran pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu, jika keterampilan dan keahlian jadi satu-satunya sumber matapencaharian keluarga, pasti babak belur. 

Konkritnya, desa itu tak seperti kalimat nyaman di atas. Semuanya sudah serba beli. Maka di pojok desa sudah ada dua merk "waralaba jamur" itu. Yang permai dan damai. Yang ramah dan berlimpah karunia, terjalin kelindan kekerabatan. Hanya berlaku satu dua hari. Bagi yang tinggal bertahun-tahun, kalau tak gerak dan tak masak. Satu keluarga pasti mati kelaparan. Jelas beda dengan periode di bawah 90an. Dimana jika dapur tak ada asap pagi hari, tetangga akan datang pura-pura minta garam atau kemiri. Lalu bertukar saling kirim makanan. Saling pinjam bahan pokok makanan atau bersama-sama, ke toko kelontong Mbak Bariyah. 

Sekarang sudah tidak bisa. Mbak Bariyah pernah update status WA. "Kalau hutang di sini, begitu BLT cair belanjanya ke Indomart."

Tenggang rasa, saling tolong menolong di desa, sekarang ini hanya ada saat ada pengumuman dari toa, si fulan meninggal dunia. Tidak ada tradisi hantar makanan ke tetangga lagi. Justru terlihat senang jika ada tetangga susah, dan susah melihat tetangganya senang. 
Kali ini, saya dan Pak Wardi jagongan. Keterampilannya jadi tukang profil bangunan, coba diejawantahkan untuk membangun desa. Caranya, jadi Caleg. 

Kepada semua yang kenal belaiu sudah saya maklumatkan agar memilihnya. Demi kemajuan desa kita. Lawan politik Pak Wardi, anak saudagar dan tuan tanah di sebelah desa, didukung penuh Pak Man, empunya ladang genjer. Semua rumah di desa kami, bakal diberi dua kilo beras dan sebengket sayur mayur. 

Suasana tanpa pertarungan politik saja, di desa sudah nyaris punah tegur sapanya. Sekarang mesti terbelah dengan aksi dukung mendukung. Panas sekali. (*)

LIPSUS