Endriyono
Esais, Tinggal di Bandarlampung
PANGAN berkualitas, sekarang jadi diskusi serius. Bukan soal kecukupan gizi dan perbandingan peradaban sebuah bangsa. Lebih dari itu, persaingan dan sebuah capaian masa depan seseorang pasti tergantung pada asupan pangan dalam tubuhnya.
Dulu, sering diceritakan kenapa banyak anak dari desa ini, padahal areal transmigran. Tapi melahirkan para professor, dua di antaranya bahkan jadi rektor di universitas terbesar di kampung kami. Alasannya, pangan anak-anak desa ini berkualitas dan cukup baik dari sisi nutrisi. Anak dengan mudah dapat ikan kali, lalu memakan jambu, bahkan, ketika pulang sekolah masih bisa sembari menyisil kacang tanah.
Namun demikian, zaman sudah berubah. Buah dan sayur meski berstatus desa, kampung kami masih mendatangkan beragam bahan pangan dari luar. Bukan sebatas luar daerah, pangan pokok seperti beras, kedelai, dan apalagi trigu, sudah didatangkan dari luar negeri.
Kami sering bercanda, belum tentu seabad lagi ada anak kampung kita yang jadi professor dan jadi rektor lagi di kampus itu. Sebab, anak sekarang didoktrin agar banyak makan sayur. Hanya makan sayur itu agar kelak kita sebagai bangsa ternak. Bukankah, tidak ada penguasa rimba dan bangsa yang buas, para penjajah itu, yang makanannya daun. Semuanya daging.
Itulah kenapa anak keturunan Jawa di Suriname sekarang badannya tinggi besar layaknya orang Eropa. Anak-anak Dlangu dan Terangseng tetap seperti profil buruh perkebunan di cerita Minke. Artinya, tanpa ragu para majikan untuk makan malamnya menyembelih sapi. Sementara untuk seekor ayam sakit saja, agar bisa dimakan dagingnya, para buruh mesti menunggu masuk waktu lebaran.
Analogi “kacau” ini bak gayung bersambut. Kawan kami bercerita, anak-anak Pulau Pisang, dan atau pesisir Lampung dari Kalianda sampai Krui, termasuk sampai Kaur, dan Bengkulu. Banyak yang luar biasa cerdas. Mereka di bawah tahun 90an, banyak yang sekolah ke Jawa.
Beberapa kepala sekolah, pejabat, kepala dinas, dan jabatan strategis lain, sekarang ini dipegang orang yang dulu masa kecilnya tinggal di pesisir. Dalil paling rasional, banyak makan ikan membuat anak jadi cerdas.
Dan di sini saya menemukan dongeng itu. Di desa ini. Dusun Tanjung Putus. Tentang anak-anak yang mencari lobster atau kepiting di akar-akar bakau, lalu hasil tangkapan mereka dijual untuk beli mie instan.
Para pengobor dan pemanah, pola tradisional mencari ikan nelayan di kampung pesisir memang setiap hari selalu dapat ikan. Akan tetapi, tak setiap hari anak-anak memakan ikan. Anak lebih suka pakai lauk kerupuk dibanding udang. Lebih suka pakai mie rebus instan dibanding pindang. Kalau kami makan bersama, nasinya yang selalu tambah. Tidak dengan ikan bakarnya. Dimana pada banyak tempat, ketika saya ikut makan orang-orang kaya, selalu ikannya yang banyak disantap dibanding nasi. Di kampung nelayan justru terbalik, nasinya dua piring penuh, ikannya hanya sepotong kecil.
Beberapa tahun lalu, kita dengar secara masif kampanye pentingnya makan ikan. Tahun ini, hanya ada lomba masak ikan di level provinsi. Artinya, memang ada pola yang terus berubah tentang memasyarakatkan makan ikan. Kalau kita masuk ke rumah warga desa di seantero Lampung, saya pernah mencoba mempraktikkan. Sejak dari Lempasing, Hanura, sampai Bawang, dan Kelumbayan. Masuk ke dalam rumah warga untuk sekadar bertanya, lauk apa?
Beberapa rumah yang saya masuki, tepatnya 11, tidak ada satu pun yang lauk makannya hari itu olahan ikan segar dari pantai.
Bahwa kekosongan itu jelas tak memenuhi syarat sebagai kajian akademik, tidak mewakili sebuah riset karena berada di luar metodologi dasar dalam pengambilan sample pada ilmu statistik jika dihitung dari total populasi penduduk. Tapi, pertanyaan saya itu hanya iseng, sekadar pelipur lara, jangan-jangan memang karena tak makan ikan yang membuat IQ orang Indonesia itu di bawah rerata penduduk dunia?
Itu juga terjadi di pesisir Kalianda. Dari Pasar Bawah sampai naik ke lingkar Selatan Gunung Rajabasa. Saya pernah bermotor dan tanya-tanya, apa lauk makan teman-teman saya di Canggung, Way Muli, Canti, sampai masuk ke Tanjung Heran. Yang justru dijawab, ada di antara mereka berlauk "dencis". Sejenis ikan laut yang diawetkan dengan saus dalam kaleng. Yang periode awal transmigrasi, warga dapat jatah satu rumah 8 kaleng tiap bulan. Satu kaleng dencis, berisi dua ikan seukuran ibu jari. Rasanya, tentu sangat lezat jika dihangatkan, ditambah irisan cabai, petai, dan tomat. Pas disantap dengan nasi putih. Tapi itu jadi ironi karena di pinggir laut dan ikan mudah ditangkap, meski jika beli juga tidak murah.
Sementara di lingkar bagian utara Gunung Rajabasa, atau masuk ke daratan yang menjauhi pesisir, ikan laut yang dikenal hanya tongkol dan cumi-cumi. Semua warga itu, tidak ada pola makan seperti di restoran seafood curah, yang sekali makan dalam satu duduk lima orang, habis sekilo cumi-cumi, setengah kilo udang, plus ikan kakab bakar, dlsb.
Orang kita hanya makan maksimal dua cumi-cumi atau sepotong ikan tongkol untuk lauk sepiring nasi. Maksud saya, jika tradisi tambah makan di kampung, artinya nasinya yang tambah. Tidak ada yang makan ikan lebih banyak dari pada nasinya.
Maka beberapa warung kelontong yang ada, barang paling laku selain beras, mie instan, gula, dan tentu saja, rokok. Dan pada rokok ini yang paling menarik. Hampir semua teori pertumbuhan ekonomi, di Indonesia faktor konsumsi rumah tangga paling banyak menyumbang PDRB, dan rokok di banyak penelitian hampir semua menyebut di angka belasan persen. Pada data Susenas, Maret 2023 misalnya, konsumsi rokok menyumbang 11,34 persen. Konsumsi berasnya, 23,73 persen. Jika diakumulasikan, kebutuhan untuk makanan 76,08 persen dan untuk nonmakanan, 23,92.
Sementara, kalau ditinjau dari “absolute poverty measure”, dimana kemiskinan ektrem didefenisikan kondisi kesejahteraan masyarakat jika pendapatannya di bawah 358 ribu per bulan per orang, yang jika dibedah secara harian, kurang dari Rp.12 ribuan. Para perokok mestinya bukan orang miskin. Namun faktanya, hampir semua perokok adalah orang melarat. Dan bisa disebut, hampir tidak ada orang kaya yang merokok.
Dan apakah kita melihat sekarang anak lelaki usia remaja, apalagi yang sudah bisa mencari uang sendiri yang tidak merokok? Apakah perokok remaja kita itu makan ikan dan atau mengonsumsi pangan berkualitas?
Bagaimana kita bisa yakin bakal menjadi bangsa maju secara peradaban dan perekonomian jika fundamen kekuatan utama dalam pembangunan. Yaitu, SDM berkualitas tidak serius dipetakan keberadaannya? (*)