Cari Berita

Breaking News

Tarik Pajak di SPBU

INILAMPUNG
Kamis, 09 November 2023

Endriyono

Esais, Tinggal di Bandarlampung


Satu karung durian, datang dari Bengkunat. Rasanya khas. Cukup banyak habis melumatnya, membuat kepala sedikit berat. Selain durian, ada terong, juga jengkol muda. Tentu kopi juga.

Demikian kisah saya hari ini. Di tengah membaca buku Mary E Edward yang berjudul "Regional and Urban Economics and Economic Development; Theory and Methods" yang memberi bukti empiris bahwa proporsi insinyur yang tinggi di suatu daerah mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi proporsi pengacara yang besar menghambat pertumbuhan. Pada konteks Lampung, riset itu menemukan relevansinya. Bisa dipertajam, dalam obrolan kami, kalau daerah banyak LSM dan Wartawannya, pasti susah maju. Tapi jika daerah banyak pendengungnya, malah lebih maju. Minimal terkenal. Kami kembali tertawa. 

Tepatnya, menertawakan kebodohan. 

Lalu muncul ide-ide gila, agar tak melarat karena bergelar sarjana hukum, sebaiknya jangan jadi pengacara. Tetapi buka usaha yang sedikit ilegal. 

Agar tak miskin meski bergelar sarjana pendidikan, jangan jadi guru. Tapi buka kursus. 

Itulah kenapa teman kami yang sarjana hukum islam, buka cucian motor. Masih normal, cuci pakai salju. Padahal visi utamanya, teras rumah yang disulap jadi cucian motor itu bakal dibuat dinding kaca tembus pandang. Lalu puluhan perempuan seksi, hanya pakai bikini yang mencuci sepeda motornya. Harapannya, para bapak mata keranjang semua mencuci motor ke tempatnya. Meski kendaraannya tidak kotor. 

Lalu teman kami yang buka apotek, bakal menambah stok obat kutu air. Sebab, perempuan pencuci motor pasti jari kakinya melepuh keserang gatal. Roda ekonomi berputar di antara kami. 

Pertemanan kaum sarjana yang sudah kena inflasi. Tak diterima kerja, tapi hidup sudah bergaya kaum kota. Yang akhirnya mengeluarkan kredo, cari kerja bagi orang Lampung itu lebih susah dibanding cari uang. 

Kami masih terus tertawa, tentang banyak hal yang kadang merasa perih. Bayangkan, sekarang import beras banyak-banyaknya, padahal masuk musim rendeng yang artinya, sawah kami bakal memulai tabur benih. Sebuah konsekwensi logis, jika beras banyak, pasti musim panen nanti harga panen kami anjlok. Mau ditampung, sekarang sudah tak punya lumbung padi tahan hama dan penyakit seperti zaman dulu. Tidak mungkin lagi zaman sekarang, kecuali pabrik empunya mesin pemanas yang berani menimbun gabah. Selain berjamur, tikus, resiko juga kalau harga tidak naik malah turun sebab warga desa tak punya kuasa atas kewenangan menentukan harga. Selain sudah banyak hutang di warung sembako tetangga. 

Di tengah waktu menunggu cucian sepeda motor dan mobil, sambil makan durian dan mencecap kopi, kami menghitung di antara semua kendaraan yang masuk itu berapa yang pajaknya mati. Lebih separo. Salah satu teman kami memaki kelewat kasar dengan sebutan aneh-aneh untuk pemprov Lampung atas inisiatif kebijakan menagih pajak di SPBU. 

Padahal, logikanya sederhana. Kalau punya uang, tak mungkin nunggak pajak. Beberapa yang kendaraannya mati pajak itu, sengaja menunggu pemutihan. Tapi lacur, pemutihan yang ada hanya mengurangi denda. Artinya pajak tertunggak tetap mesti dibayar. Beberapa ada yang sudah antre mau bayar pajak, karena uangnya tak cukup. Batal. 

Skema yang perlu ditempuh Pemprov Lampung sebenarnya sederhana. Gelar pemutihan, tak usah dalam jangka waktu yang lama, sebulan dua bulan saja. Siapkan sistem yang rapi agar wajib pajak tak menunggu lama dalam antrean, cukup bayar setahun. Pasti ada ledakan pembayar pajak. 

Kalau sudah dua kali memakai sistem pemutihan masih ada wajib pajak membandel, baru bisa ditempuh cara-cara ofensif seperti preman pasar penarik salar itu. Yang kalau dipaksakan sekarang, mungkin warga bakal melawan. Lalu beranda medsos mendadak penuh adegan adu mulut antara wajib pajak dengan penagih pajak. 

Memangnya, pemprov punya petugas yang berani melawan warga kalap? Yang punya kendaraan satu-satunya untuk kebutuhan dasar, distop gegara tak punya uang untuk membayar pajak? Cek saja, apakah ada pemilik kendaran nunggak pajak itu isi BBM penuh tank? 

Bahkan bisa disample lebih dalam, dari semua kendaraan yang isi BBM berapa yang isi full? 

Jangan sampai karena ambisi mau maju Pilkada, ketidakmampuan menyelesaikan target tunggakan pajak, membuat Bapenda kehilangan nalar. Dan lagi kenapa pula sudah jadi Pj Bupati masih jadi Kepala Bapenda? 

Sedemikian rendahkah SDM ASN di Lampung sehingga untuk sedikit inovasi kebijakan pun tak mampu dibuat? 

Terkesan, justru semakin menyulitkan warga. 

Percayalah, ini sudah bagus, daerah kita aman. Lama tak terdengar aksi kriminalitas seperti begal dan jambret yang marak di jalanan.  

Oya, bagaimana kabar e-samdes? Kita buka aplikasi LinkAja hanya ada 5 provinsi, tanpa Lampung di dalamnya. (*)

LIPSUS