Cari Berita

Breaking News

‘The Best Years of Our Lives’, Buka Puasa dan Denny JA

Kamis, 04 April 2024

Oleh Akmal Nasery Basral

SENIN kemarin, 1 April 2024/21 Ramadhan 1445 H, saya mendapat undangan buka puasa dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network. Undangan disampaikan langsung oleh Denny Januar Ali--lebih populer sebagai Denny J.A.--pendiri dan direktur eksekutif lembaga survei dan konsultan politik itu.

Tentu saja undangan saya terima dengan senang hati karena teringat pesan Nabi Muhammad ﷺ (peace be upon him) bahwa, “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, menghadiri undangan, dan menjawab orang bersin.” (HR Imam Bukhari #1164 dan Imam Muslim #4022).

Hujan deras yang terus mengurung Jabodetabek nyaris tanpa henti setiap hari membuat saya harus mengantisipasi kemacetan dan banjir yang mungkin terjadi. Maka saat waktu ashar tiba, saya sudah berada di mushola Bunaya Ali, di dalam Graha Dua Rajawali, kantor LSI Network di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur.

Bunaya Ali adalah nama almarhumah ibunda Denny J.A. Musholla ini cukup representatif.  Nyaman dengan karpet empuk serta sirkulasi udara yang sejuk meski luasnya tidak terlalu besar.

Usai menunaikan salat ashar berjamaah dengan seorang karyawan LSI sebagai imam, terdengar musik akustik live mengalun dari panggung kecil di pojok ruangan multifungsi yang berada di depan musholla. Tiga musisi melakukan sound check dengan gitar akustik, gitar elektrik, cajon, dan tentu saja, suara mereka yang di beberapa bagian membentuk harmoni. Mereka bawakan “Knockin’ On Heaven’s Door” (Bob Dylan, 1973). Mengetuk Pintu Surga. Pilihan lagu yang pas menjelang buka puasa.

Sebagian ruangan multifungsi dekat Musholla Bunaya Ali ditata dengan susunan kursi ala conference room atau theater style. Sedangkan sebagian ruangan dekat panggung musik diisi meja-meja panjang dengan menu prasmanan. Sejumlah karyawan katering sibuk menata aneka masakan.

2/

Pukul 17 WIB, Denny J.A. keluar dari ruang kerjanya, menyapa dan mengajak saya menuju satu meja dengan 8 kursi eksekutif yang terletak paling depan--di seberang panggung. Sejenak kemudian datang Toto Izul Fatah, peneliti senior LSI dan Direktur Citra Komunikasi LSI, diikuti beberapa orang lainnya. Dalam sekejap, kedelapan kursi terisi penuh. Denny memperkenalkan kepada saya nama mereka satu persatu dan jabatan masing-masing. “Ini para pimpinan LSI Network dan anak perusahaan,” ujar Denny. 

Sementara saya pun diperkenalkannya kepada mereka. “Pak Akmal ini penulis novel Sang Pencerah kisah Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah,” ujar Denny sebelum melihat  saya. "Tahun berapa itu?"

“2010.”

Usai perkenalan singkat, Denny terlibat dalam pembicaraan dengan Toto. Saya tenggelam dalam pikiran mengapa ditempatkan bersama para pimpinan LSI, tidak pada kursi theater style baris terdepan sebagai tamu biasa? Kesimpulan saya: inilah cara Denny J.A. memuliakan tamu. Sebuah adab luhur yang juga diamanatkan Nabi Muhammad ﷺ ( _peace be upon him_) kepada umatnya. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR Imam Bukhari #5670).

Jika saya bisa memilih, tentu lebih nyaman duduk di kursi untuk tamu bukan di meja eksekutif para pimpinan LSI yang membuat saya rikuh. Akan tetapi dengan penghormatan Denny setinggi itu, dan kehangatan respon para eksekutif LSI di kanan-kiri saya yang mengajak berbincang santai, membuat kerikuhan saya dengan segera lenyap.

3/

Tepat pukul 17.30 WIB, pembawa acara naik ke panggung dan menyilakan Denny memberikan sambutan. Doktor Comparative Politics and Business dari Ohio State University itu membuka resmi acara dengan menebarkan salam diikuti menyapa para petinggi LSI dan anak perusahaan, lalu nama saya (sebuah kehormatan lagi!), serta karyawan secara keseluruhan yang berjumlah 70-an orang.

Ada beberapa poin yang disampaikan Denny. Sebagian yang bersifat informasi internal, kurang tepat saya tuliskan di sini. Namun sebagian lain yang lebih bersifat umum, bisa saya sampaikan berikut ini.

Denny menyatakan ada dua masa yang bertolak belakang menanti mereka: panen raya dan paceklik raya. Panen raya akan terjadi pada November 2024, ketika pilkada serentak berlangsung di seluruh Indonesia. Jumlahnya sekitar 500-an pilkada untuk tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Panen raya ini bukan hanya akan dinikmati LSI Network melainkan juga oleh konsultan politik dan lembaga survei lainnya.

Adapun paceklik raya akan menyusul segera. “Setelah pilkada serentak, tak ada lagi pemilihan kepala daerah sampai sekitar 4-5 tahun ke depan,” katanya. “Untuk itu kita semua harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi paceklik panjang.”

Untuk memperjelas situasi masa depan yang penuh tantangan, Denny memberikan ilustrasi menarik. “Sebagai penggemar film-film klasik, saya beri contoh kisah film The Best Years of Our Lives tahun 1946,” ungkapnya.

Film besutan Sutradara William Wyler ini berkisah tentang tiga orang tentara AS yang kembali kepada kehidupan normal sebagai warga sipil setelah Tentara Sekutu memenangkan Perang Dunia II. Pada awalnya mereka dielu-elukan publik setinggi langit. Puja-puji mereka terima dari empat penjuru angin. Namun hal itu tak berlangsung lama karena masyarakat punya banyak masalah masing-masing yang harus dihadapi.

Akibatnya, kehadiran para tentara veteran dengan segera terlupakan. Sanjungan menguap di keramaian. Lebih tragisnya, mereka kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan pascaperang yang tak pernah mereka alami di medan tempur. Setiap saat ada saja kesulitan baru yang muncul yang tak mereka pahami. Semakin lama semakin berat. “Maka kita tak boleh seperti para prajurit veteran itu,” Denny menyimpulkan. “Senang mendapatkan pujian sesaat, tapi setelah itu mendapatkan kesulitan bertubi-tubi karena tak siap menghadapi situasi kehidupan yang berubah cepat. Kadang tak bisa diprediksi.”

Bagi saya, ini sebuah pengantar menjelang buka puasa yang tak biasa. Singkat namun istimewa—dan mengena.

4/

Azan maghrib berkumandang, waktunya buka puasa. Saya bayangkan Denny tetap duduk di kursinya, begitu juga petinggi LSI Network lainnya. Pramusaji yang akan mengantarkan takjil ke meja kami. Saya keliru. Denny berdiri dari kursi, berjalan menuju meja prasmanan, berbaur bersama karyawan.

Diambilnya sepiring daging kambing guling, sop kambing, dan beberapa potong lontong, sebelum kembali ke meja dan menyantapnya. Menu lainnya yang tersedia adalah ayam teriyaki, sapi lada hitam, salad Bangkok, nasi putih, beberapa jenis takjil dan desserts, serta es krim. Menu yang sama bagi pendiri, BOD, manager, karyawan, resepsionis, office boy, dan petugas sekuriti. Tak ada perbedaan, tak ada pengistimewaan.

Setelah makan malam dan salat maghrib, pembawa acara kembali memanggil Denny ke panggung untuk sumbang suara menyemarakkan acara. Lagu “Rindu Rasul” dari Bimbo (syair gubahan penyair Taufiq Ismail) dipilih Denny dan dibawakan penuh penghayatan melalui vibra suara baritonnya yang mengingatkan sekilas pada getar vokal khas Elvis Presley.

Aplaus meriah diberikan hadirin ketika lagu selesai. Denny bersiap turun panggung ketika hadirin bersorak serempak “Lagi! lagi!”. Dia pun bicara dengan trio pengiring.

“Ternyata stok lagu-lagu religi mereka terbatas,” ujar Denny disambut tawa audiens dan ketiga musisi. “Jadi kita nyanyikan lagu sekuler saja bersama-sama.” Meluncurlah lagu “Ku Tak Bisa” (Slank) yang membuat seisi ruangan ikut bernyanyi.

Hadirin kembali beramai-ramai berteriak, “Lagi, lagi, lagi!” saat lagu tuntas.  

Denny kembali bicara dengan musisi. Lalu syair  “Pelangi di Matamu” pun meluncur dari mulutnya. Hadirin ikut bernyanyi penuh semangat. Akrab, hangat. Saya teringat mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga penyuka berat komposisi rock ballad karya grup cadas Jamrud ini.

Pada Pilpres 2004 yang ditandai ketegangan hubungan Presiden Megawati Sukarnoputri dengan SBY yang dipecat dari jabatan Menko Polkam karena mencalonkan diri sebagai capres, “Pelangi di Matamu” menjadi simbol perlawanan pendiri Partai Demokrat itu. Terlihat sangat jelas saat SBY sebagai tamu VVIP Grand Final Akademi Fantasi Indonesia (AFI) 2 Indosiar, justru naik panggung menyanyikan lagu ini yang disiarkan live. Bait-bait awal lagu:  30 menit kita di sini/tanpa suara/dan aku resah harus menunggu lama/kata darimu” menggambarkan dengan tepat situasi communication breakdown antara SBY dan Megawati saat itu.

Begitu “Pelangi di Matamu” selesai dinyanyikan Denny (dengan koor hadirin), seperti sebelumnya mereka meminta lagu lain dengan gegap gempita. “Lagi, lagi, lagi!”

Kali ini Denny menolak setelah melihat arloji di pergelangan tangannya. “Sudah hampir jam 7, saya harus melayat seorang teman yang baru wafat,” katanya.

Teman yang dia maksud adalah Trisno S. Sutanto--atau Johannes Silentio nama akun Facebooknya—seorang aktivis kebhinnekaan dan keberagamaan yang juga suami Sosiolog UI, Dr. Evelyn Suleeman.

Niat melayat Trisno ke Rumah Duka UKRIDA (Universitas Kristen Krida Wacana) bukan baru muncul di benak Denny saat di atas panggung. Sejak pagi hari niat itu sudah diumumkannya di Grup WhatsApp SATUPENA, Perhimpunan Penulis Nasional di mana Denny menjabat sebagai Ketua Umum periode 2021 – 2026. Dia mengajak anggota SATUPENA yang berkeluangan waktu untuk melayat bersama.

5/

Setelah Denny pergi, saya berbincang dengan Ardian Sopa, Direktur SIGI LSI, yang duduk di sebelah kiri saya. Kandidat doktor ilmu politik UPH itu ternyata mendapat gelar S1 sarjana ilmu politik dari FISIP UI, kampus tempat saya kuliah juga. Meski kami berbeda angkatan cukup jauh--Ardian angkatan 2003—namun kesamaan alma mater membuat kami cepat nyambung dalam nostalgia obrolan ‘kampus oranye’ Depok.

Keluar dari Graha Dua Rajawali (“dua rajawali adalah metafor untuk dua anak lelaki saya yang sekarang sedang kuliah di Inggris,” ungkap Denny J.A. ketika saya tanyakan alasan nama gedung itu di awal pertemuan), derai hujan kembali mengecupi bumi.

Seluruh rangkaian peristiwa sejak kedatangan saya ke kantor LSI Network kembali berputar di kepala. Sebuah hadits Nabi Muhammad ﷺ ( peace be upon him) yang sering disampaikan penceramah di bulan Ramadhan juga terngiang di telinga:  “Barangsiapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR Imam Tirmidzi #807, Ibnu Majah #1746, Imam Ahmad 5/192).

Senin itu saya mendapatkan dua pahala, yaitu pahala berpuasa dan pahala memenuhi undangan silaturahmi. Sedangkan Denny J.A. mendulang tiga pahala, yakni pahala berpuasa, pahala memuliakan tamu, dan pahala memberi makan (buka puasa) bagi orang yang sedang menjalankannya. In syaa Allah.

Satu hari lagi yang memberikan saya pelajaran berharga bahwa setiap lokasi adalah tempat menimba ilmu dan setiap orang adalah guru. 

Alhamdulillah. Segala puji dan puja bagi Tuhan Semesta Alam, Maha Pengasih Maha Penyayang Maha Pemurah. 

Cibubur, 4 April 2024/24 Ramadhan 1445 H


_____
*) Akmal Nasery Basral, jurnalis senior dan sastrawan Indonesia, penulis novel “Sang Pencerah” kisah Kiai Ahmad Dahlan.

LIPSUS