Cari Berita

Breaking News

'Prembedelan' Pameran Lukis Yos Suprapto, Ini Surat Terbuka Afnan Malay untuk Fadli Zon

Dibaca : 0
 
Senin, 23 Desember 2024

Afnan Malay, aktivis 1984 melayangkan Surat Terbuka ke MenBud Fadli Zon/foto dok prinadi


INILAMPUNG.COM, Yogyakarta – Yos Suprapto batal menggelar pameran lukis di Galeri Nasional Indonesia (GNI) menjadi viral. Penurunan tiga karya lukis Yos ditengarai "pembredelan" bagi ruang kreativitas seniman di awal kepemimpinan Presiden Pranowo Subianto. 

Afnan Malay, aktivis 1984 yang juga dikenal penyair, selain turut menulis puisi atas penurunan karya seni di GNI Jakarta, ia kirim surat terbuka untuk Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI.  Ini Surat Terbuka penulis Buku Fiksi Mulyono, kumpulan puisi Afnan Malay yang diluncurkan di Jakarta, pekan lalu.


Yos, Galnas, dan MenBud: surat terbuka untuk Fadli Zon

Bung Fadli yang baik,

Sebelum pemerintahan Joko Widodo berakhir, pembicaraan hadirnya kementerian yang Bung pimpin saat ini antusias dilakukan dengan intensitas tinggi. Tentu yang membicarakannya penuh harap adalah para pelaku budaya: kalangan seniman panggung (musik, teater, tari) sastrawan (penyair, cerpenis, novelis), film, dan pastilah kesenian yang tumbuh dari latar budaya kita (ludruk, randai, wayang), tidak terkecuali senirupa.


Kategori yang saya sebutkan, bisa tidak pas dan tidak lengkap, tapi intinya, produk budaya kita sudah waktunya tidak lagi hanya bertahan dari gempuran 'budaya luar' atau 'seniman luar'. Ketika Dirjen Kebudayaan yang diharapkan membesar jadi kementerian, saat dikawal Hilmar Farid (kawan se almamater Bung), pendekatan inklusif yang dilakukannya cukup berhasil, jika tidak dikatakan sangat.


Dan setelah kementerian kebudayaan hadir, yang Bung pimpin, tidak ada yang meragukan kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas Bung. secara kapasitas dan kapabilitas, Bung masuk kategori profesional (mumpuni sebagai 'otoritas utama') pemangku kebijakan ini. Dari sisi akseptabilitas, dukungan politik terhadap Bung tidak terbantahkan ibaratnya tinggal menunggu penempatan saja.


Tapi, justru pada persoalan akseptabilitas ada  hal kecil yang perlu diperhatikan, Bung terlalu kuat 'warna politiknya'. Salah? Pasti tidak! Hanya saja keraguan mengiringi Bung, apakah  bisa bersikap inklusif: merangkul semua, baik seniman yang politis, kalau kategori ini relevan dan yang apolitis). Kekuatan Bung dalam konteks dukungan politik adalah harapan, bukan hal buruk. Karena, dengan itu Bung bisa mengawal penuh agenda-agenda kebudayaan yang bakal digulir yang bakal kita raih. Mengayomi pelaku budaya, manusia-manusia kreatif republik kita ini, merupakan 'sekali tenteng dua tiga pulau terlampaui': mudah belaka.


Bung Fadli,


Lalu kenapa pameran Yos Suprapto menjadi preseden buruk yang datang terlalu pagi? Pameran gagal tersebab karya-karya Yos menusuk apa, menusuk siapa? Apakah tusukan ekspresi berkesenian, bersifat kriminal? Sehingga orang-orang di jajaran Galeri Nasional berubah seketika menjadi  polisi kebudayaan, menyortir mana yang pantas mana yang tidak? Dan dimana Bung bersikap sebagai figur yang punya kapasitas (pengetahuan dan otoritas), cakap, dan saatnya Bung tampil sambil berkata, "ini momentum saya akan buktikan, saya pantas dan layak diterima."


Jangan sampai Bung jatuh pada pilihan situasional yang terjadi antara pelukis (Yos Suprapto), (Suwarno Wisetrotomo), dan jajaran di Galeri Nasional. Tidak ada kusut yang tidak selesai, kata orang-orang tua di kampung kita, juga di kampung-kampung republik dengan redaksi berbeda. Pantas kah Bung justru menjadi bagian dari kekusutan yang penyelesaian ada dalam genggaman Bung? Saya peduli dengan kapasitas Bung, apakah mungkin Bung sendiri tidak?


Pertanyaan elementer publik, setidaknya, saya yang bagian dari publik, sebagai warganegara republik ada beberapa hal. 


Pertama, apakah Yos di mata kurator dan Galeri Nasional adalah perupa yang sama sekali tidak ada rekam jejak berkeseniannya! Sehingga kurator gegabah melakukan kurasi terhadap perupa yang levelnya antah berantah. Kedua, bukankah Galeri Nasional sebuah rumah seni-budaya yang tingginya tidak semua seniman berhasil memanjatnya? Ia dikelola ketat dan manajemen waktu yang tidak pula longgar. Kenapa Yos, sampai pada level itu untuk dilukai? 


Tapi siapakah yang seharusnya terluka dengan pembreidelan konyol pameran Yos: ya kurator, Galeri Nasional, dan Bung! Kalau luka kurator bisa diobatinya dengan alasan-alasan kenapa ia mundur. Kalau luka Galeri Nasional cepat beralih, pegawai negeri tidak mungkin punya penyesalan dengan tameng sekadar menjalankan tugas?


Nah, surat terbuka yang saya tulis dengan rasa hormat ini sampai pada titik itu: apakah Bung akan berdalih macam-macam, beberapa macam, atau satu macam saja? Apa dalih yang Bung pertahankan? Bung tidak terluka dengan preseden buruk yang 'dilemparkan situasi' tidak menyenangkan ini? Atau Bung, justru merelakan diri jadi bagian benang kusut yang mudah Bung urai? Jarum ada di tangan Bung untuk memandu benang kusut pameran Yos.


Bung,


Sebagai penyair saya merespon kekuasaan yang berlangsung pada periode sebelumnya. Saya membukukan sajak-sajak tentang penguasa saat itu lewat kumpulan puisi berjudul 'Buku Fiksi Mulyono'. 


Tiap-tiap warganegara yang sadar dan punya cara ungkap dalam hal ini lukisan (Yos) dan puisi (Afnan), pastilah tergerak merespon kondisi tanah airnya. Bung sendiri dulu sangat tajam melakukan 'tusukan-tusukan' kepada yang sudah dua periode memimpin republik!


Bayangkan, kritik terhadap yang sudah berkuasa saja dibungkam: apa perlunya? Kalau kevulgaran yang dianggap pokok dalam soal pameran ini, saya bertanya: bukankah itu sekadar memedihkan mata yang melihat (dan pasti tidak semua mata penonton pameran jadi sakit karenanya). Kurang vulgar apa kekuasaan yang tuli diteriaki para guru besar se republik, termasuk yang terdepan dari kampus Bung dan kampus saya.


Kurang hormat apa kita dengan figur utama yang dilukis Yos: kita relakan melakukan pembiaran anak-menantunya berkuasa, kita relakan konstitusi kita dirusak. Saya ingat yang lantang ketika suasana republik kacau-balau, hanya Megawati Soekarnoputri yang memperingatkan, "Inkonstitusional."


Bung Fadli,


Harapan ada pada Bung. Sungguh bijak jika Bung mengjak kurator, pelukis untuk kembali duduk bersama. Saya yakin, Yos bersedia menurunkan satu-dua lukisan yang 'entah melukai siapa'. Kritik-respon seniman-pelaku budaya di atas panggung-panggung kesenian, di galeri-galeri atau ditulis di buku-buku bukankah itu sangat beradab?


Saya sempat menuliskan puisi atas peristiwa tidak terpuji, Galeri Nasional menggagalkan agendanya sendiri: menggagalkan pameran. Puisi saya beri tajuk 'Lukisan Diturunkan'.


ia lukis tanah airnya 

barisan gunung-gunung

tinggi tidak terdaki, indah dari

kejauhan 


ia lukis tanah airnya

meliuk sungai-sungai

jernih tidak teraih, indah dari

kejauhan


ia lukis tanah airnya

jurang-jurang menganga, kian

lebar jerat kaki-kaki panjang

terjengkang


ia lukis tanah airnya

pohon-pohon tumbang, kian

cepat tubuh-tubuh sembab 

terjerembab


ia melukis penguasa culas

tak jua bergegas pergi kemana

warna-warna menyala,

jangan tumpas

tanah air

kami


tinggi gunung-gunung, meliuk

sungai-sungai, menganga jurang-

jurang, bertumbangan pohon-pohon

pohon, dilukis

jangan


Jogja, 20/Des-24


Bung Fadli yang baik,


Terimakasih dan salam

AFNAN MALAY

penyair

LIPSUS