![]() |
ilustrasi: telepon genggam (ist/inilampung) |
Oleh, Dalem Tehang
DINDA memperhatikan dengan serius saat Gilang menerima telepon dari seorang kawannya. Cukup lama mereka berbincang. Sampai kemudian Gilang mengakhiri perbincangannya dengan ucapan: “God always has the best one for you!”
“Serius amat teleponannya, dek,” sapa Dinda, setelah Gilang menutup pembicaraan dan duduk di sampingnya.
“Biasalah, mbak. Adek kan tempat kawan-kawan nyampein keluh-kesah dan dianggep tampungan masalah,” sahut Gilang, sambil tersenyum.
“Nggak usah sok hebat sih, dek! Emang tadi soal apa yang diomongin, kok kayaknya serius banget,” tanggap Dinda.
“Tadi kawan itu cerita, dia kesingkir dari jabatan kapten tim sepakbola klubnya. Karena ada anak baru yang dia anggep pinter bener lakuin praktik sycophants,” jawab Gilang.
“Maksudnya penjilat! Kan itu arti sycophants!” sela Dinda dengan cepat.
“Iya, penjilat emang maksudnya, mbak. Kawan adek kesingkir sebagai kapten tim sepakbola di klubnya karena ada anak baru yang praktikin sycophants habis-habisan sama pelatih,” terang Gilang.
“Tapi kok tadi mbak denger dan lihat gaya Adek nanggepinnya slow-slow aja. Sakit lo rasanya dijatuhin karena adanya penjilat itu, dek,” kata Dinda.
“Justru karena paham kalau tersingkir dari sebuah posisi akibat adanya penjilat itu sakit, makanya adek bawa enjoy aja tadi ngobrolnya, mbak. Biar nggak nambahi beban di hati dan pikiran kawan itu,” jelas Gilang, dengan nada santai.
“O, jadi gaya slow tadi itu siasat Adek biar kawan yang lagi nyampein keluh-kesahnya nggak makin ngerasa kebebanan ya. Mbak kira, justru Adek nganggep enteng soal praktik penjilat yang buat kawan tersingkir,” sahut Dinda.
“Kita kan mesti pahamlah, mbak. Kalau ada kawan yang mau ngaduin masalahnya sama kita, pertama karena dia percaya sama kita. Kedua, karena dia butuh peredaman sama apa yang lagi dia rasain. Baru yang ketiga, dia berharap adanya saran. Kalau orang cerita masalahnya sama kita malah kita kompor-komporin, itu namanya jerumusin,” urai Gilang, juga sambil tersenyum.
“Tapi emang penjilat itu ada aja lo, dek. Mbak yakin, di semua lini kehidupan pasti ada,” kata Dinda lagi.
“Boleh jadi gitu, mbak. Makanya nggak usah kita jadi pusing sama perilaku penjilat. Bisa jadi, ya cuma dengan gaya itulah dia eksis. Walau ada juga yang kemudian jadi karakter,” jawab Gilang.
“Iya juga sih ya. Kita emang mesti paham-paham aja kalau ada penjilat di sekitar kita. Kayak beberapa waktu lalu, saat santer masa jabatan Ketua BEM fakultas mbak mau berakhir bulan ini, mulai banyak orang deketnya yang main ke kelompok kanan-kiri buat nyari peluang mertahanin posisinya ke depan. Eh, pas diumumin kalau masa jabatan Ketua BEM diperpanjang, mereka pelan-pelan balik lagi. Pada sok hormat gitu lagi gayanya,” tutur Dinda, sambil tertawa lepas.
“Itulah seninya kita hidup di kelilingi penjilat, mbak. Banyak yang bisa jadi bahan ketawaan. Tapi ada kawan adek, karena dia nggak mau nerima keputusan kepala sekolah kalau dia nggak masuk sekolah selama seminggu tanpa izin, karena yang sebenernya cuma tiga hari, akhirnya malah disanksi. Diskors selama dua minggu. Itu risiko dia karena bertahan sama kebenaran dan nggak mau jadi penjilat,” ujar Gilang.
“Oh, ada juga yang sampai gitu ya. Kayaknya yang piawai mainin gaya sycophants itulah yang sekarang ini selamet ya, dek?” Dinda menyela dengan cepat.
“Faktanya, siapa yang pinter menjilat itulah yang selamet, mbak. Tapi coba tanyain hati dan pikirannya, pasti ada pergolakan sama apa yang dia lakuin,” jawab Gilang.
“Persoalannya, sekarang ini kan jarang orang yang mau dialog sama dirinya sendiri, dek. Orang lebih ngutamain jaga prestise atau gengsinya di mata kelompok dan koleganya, nggak peduli mesti jadi penjilat sekalipun,” kata Dinda lagi.
“Kalau nurut adek, penjilat itu adalah orang yang nggak punya kualitas diri, mbak. Kemampuan akal atau nalarnya rata-rata aja. Ditambah mentalnya yang ringkih. Sebenernya, kalau dalam sebuah tim sepakbola, nggak banyak yang bisa diharap dari seorang penjilat, kecuali ya buat diri orang itu sendiri,” ujar Gilang setelah berdiam beberapa saat.
“Karena keyakinan itu ya, maka tadi Adek bilang ke kawan yang telepon: God always has the best one for you! Tuhan selalu memiliki yang terbaik buatmu,” tanggap Dinda.
“Iya, mbak. Karena ngadepin penjilat itu nggak mudah. Dengan berbagai cara ia bisa lakuin hal-hal yang bahkan nggak pernah terbayang sama kita bisa diperbuat. Itulah kelebihan seorang penjilat. Satu-satunya cara, ya mesti ngeyakinin kalau Tuhan selalu punya yang terbaik buat kita,” ujar Gilang.
“Jadi Adek sepaham ya, kalau namanya penjilat itu selalu ada dalam kehidupan ini?” tanya Dinda.
“Sepahamlah, mbak. Makanya, biarin aja mereka yang happy dengan gayanya itu. Karena ia akan lelah lahir batin dalam melakoninya. Berperang dengan batin dan pikirannya sendiri. Ngapain kita musingin orang yang sengaja ngerusak dirinya sendiri,” sahut Gilang, seraya tersenyum. (*)