Cari Berita

Breaking News

Ihwal Penceramah yang Ketinggalan Zaman

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Selasa, 18 Februari 2025

Mu'min Roup, UIN Syarif Hidayatulullah Jakarta (ist/inilampung)


oleh, Mu’min Roup

 

Seorang penyuluh dan penceramah harus mampu menghadirkan agama sebagai panduan dan ajaran yang tetap relevan di tengah Masyarakat. Bukan materi-materi agama yang menjemukan, bahkan menjadi beban sejarah. Peningkatan kompetensi menjadi sangat penting di tengah maraknya arus teknologi informasi yang mengandung sumber-sumber pengetahuan, yakni wawasan agama yang bisa menjadi instrumen untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.


Kini, bukan hanya ulama, pendeta, ustaz maupun santri yang fasih bicara agama, namun juga ekonom, politisi, terlebih lagi ilmuwan, budayawan dan sastrawan. Novel Hotel Prodeo, Matias Akankari atau Perasaan Orang Banten, sangat kental muatan religiositas. Situs-situs yang membahas tentang agama tak terhitung jumlahnya. Setiap kelompok, mazhab, aliran, saling bersinambung menyuarakan pendapatnya.


Pada prinsipnya, keikutsertaan semua pihak membicarakan agama adalah bentuk rasa memiliki, peduli dan tanggung jawab terhadap nilai-nilai etika yang bisa dipetik dari ajaran agama. Di tengah kontestasi dan padatnya lalu lintas informasi saat ini, kehadiran penceramah, penginjil, dan penyuluh agama lainnya menjadi sangat penting. Penceramah agama harus mampu memainkan peranan dan fungsinya untuk menjadi tempat bertanya dan sumber rujukan. Ia harus menjadi penggerak bagi pengembangan literasi keagamaan, hingga dapat mencerdaskan dan mendewasakan wawasan masyarakat.

 

Mubalig Vs Avatar

 

Pada prinsipnya, argumen yang harus dibangun tidak boleh membuat pikiran bangsa ini menjadi dangkal, seolah-olah kita menjadi korban dari suatu sistem, sampai kemudian penganut agama lain yang menjadi sasaran dendam dan kedengkian.

Jika mubalig dan penceramah berkoar-koar menyampaikan orasi yang dangkal dan tak masuk akal, berarti ia tak mampu mengoptimalkan akal sehat yang dianugerahkan Tuhan untuk mengelolanya. Mengapa di dalam Alquran seringkali dinyatakan, “Kenapa kalian tidak berpikir?” (Afala tatafakkarun). 


Hal tersebut dikarenakan para pembesar Arab (Qurays) yang menolak kebenaran, selalu gemar memprovokasi publik (jamaah), hingga berdampak pada pikiran ratusan dan ribuan pengikutnya. Apa jadinya pendidikan anak-anak bangsa, jika keyakinannya diracuni oleh mubalig keblinger yang seenaknya membikin keputusan karena kebodohannya dalam menafsir ajaran agama? Bagaimana kita bisa mempercayai seorang mubalig atau guru ngaji yang seenaknya merokok di depan para murid, sementara ia mengajarkan tafsir Alquran tentang kerusakan di darat dan di laut, yang diakibatkan ulah perilaku-perilaku manusia?


Jika ceramah mubalig mengacu pada teks-teks harfiah semata, serta karakteristik tokoh agama tak mampu menjadi panutan, boleh jadi Artificial Intelligence melalui avatar-avatar akan mengambil-alih peran mereka, hingga mereka lebih layak memberi pendidikan dan pengajaran agama, untuk kecerdasan dan kedewasaan anak-anak bangsa.

 

Ceramah Avatar

 

Di aula kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, ratusan pendengar mengikuti secara antusias materi ceramah dengan khusyuk dan penuh khidmat. Materinya disampaikan berdasarkan skrip yang disusun oleh AI (Artificial Intelligence). Tetapi, ceramahnya begitu memukau, dalam durasi 30 menit, disertai muatan kecerdasan spiritual dan intelektual yang memadai. Dalam ceramahnya itu, Avatar juga menjelaskan perihal takdir hidup manusia, sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri.


Kini, kita menyadari betapa perkembangan AI, telah membawa pengaruh yang makin luas di tengah masyarakat global. AI telah mengambil-alih tugas-tugas yang mestinya diemban oleh para mubalig dan tokoh-tokoh agama. Fenomena di kampus Paramadina tersebut, membuktikan betapa agama telah masuk ke semua lini kehidupan. Ketika dibuka forum tanya-jawab, Avatar bahkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial yang diajukan para hadirin, dengan memberi penjelasan yang rasional dan memuaskan. Memang ada persoalan ekonomi, politik dan budaya yang dipertanyakan, namun Avatar juga mampu menjawabnya melalui perspektif tinjauan agama.


AI dapat mengolah data-data yang dimiliki, serta sanggup menjawab berbagai pertanyaan yang membuat para hadirin terkagum-kagum. Bukan hanya kekayaan informasi yang dimiliki, namun juga nasihat-nasihat spiritual yang menyejukkan.

Tentu saja Avatar bukan sosok manusia yang memberikan teladan di tengah masyarakat. Namun juga, jika seorang mubalig atau penyuluh agama tak sanggup melengkapi dirinya dengan sejumlah kompetensi, ia akan sulit melayani umat serta memberi pemahaman tentang agama berikut jawaban-jawaban atas problem yang dihadapi masyarakat.

Kini, seorang mubalig dan penyuluh agama apapun harus mampu menghadirkan agama sebagai panduan dan ajaran yang tetap relevan di tengah Masyarakat. Bukan suatu yang menjemukan, bahkan menjadi beban sejarah. Peningkatan kompetensi ini menjadi sangat penting di tengah maraknya arus teknologi informasi yang mengandung sumber-sumber pengetahuan, yakni wawasan agama yang bisa menjadi instrumen untuk menjalani kehidupan yang lebih baik .(*)

(*) Mu’min Roup

Peneliti dan dosen Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta. Menulis opini dan prosa di berbagai media luring dan daring.


LIPSUS