Oleh, Dalem Tehang
“MBAK, bangun. Sudah siang kok masih molor aja to!” ucap Gilang yang masuk kamar Dinda dan membangunkan dari tidurnya, pagi tadi.
“Pengen nikmati libur dulu, dek. Mumpung ada waktu nggak kuliah, manjain badan, tidur berlama-lama,” sahut Dinda, sambil menarik selimutnya.
“Libur nggak ada mata kuliah kan nggak selalu diisi sama tidur aja, mbak. Setiap pagi, kita harus buru-buru bangun. Gelorain semangat habis Subuhan. Biar tetep optimis dan penuh harapankebaikan di setiap harinya,” ucap Gilang, duduk di pinggiran dipan.
“Emang apa yang Adek gelorain di hati dan pikiran setiap pagi?” tanya Dinda, tanpa membuka matanya.
“Adek ucapin kalimat: new dreams, new hopes, new experiences and new jouys. Mimpi baru, harapan baru, pengalaman baru, dan kegembiraan baru,” kata Gilang, sambil nyengir.
“Wuih, hebat Adek! Rupanya diem-diem, tiap pagi gelorain pengharapan ya,” sela Dinda.
“Ya mesti gitu dong, mbak. Kita kan harus terus mompa semangat jiwa dan pikiran kita sendiri. Jangan harepin dari orang lain. Pengharapan itu wajib dilakuin, biar keseharian penuh makna,” jawab Gilang, tersenyum.
“Tapi kan kadang pengharapan itu nggak terwujud, dek,” tanggap Dinda.
“Makanya jangan salah taruh pengharapan, mbak,” sahut Gilang dengan cepat.
“Maksudnya gimana?” tanya Dinda, dan mulai bangun dari rebahannya. Menyandarkan badan ke tembok kamarnya.
“Pengharapan kita itu cuma kepada Yang Maha Kuasa, mbak. Jangan pernah berpengharapan kepada makhluk,” jawab Gilang. Tegas.
“Kalau berpengharapan sama makhluk, sering kecewa ya, dek!” ujar Dinda, sambil mengerjap-kerjapkan matanya.
“Pastinya gitu, mbak. Kalau hanya berpengharapan sama Pemilik Semesta, nanti Dia akan gerakin makhluk buat bantu wujudin harapan kita. Semua Yang Di Langit pengaturnya,” kata Gilang.
“Tapi kan berharap sesama makhluk boleh-boleh aja, dek. Kita kan mesti bergaul karena makhluk sosial,” ujar Dinda lagi.
“Ya boleh-boleh aja, mbak. Bahkan wajib buat kita saling tolong-menolong, bantu-membantu, kasih-mengasihi, asah, asih, dan asuh. Tapi, kadar pengharapannya jangan berlebihan, karena yang gerakin hati, jiwa, dan pikiran setiap makhluk itu Sang Pencipta. Kalau Dia berkehendak, apapun bisa terjadi dan tidak terduga keterjadiannya,” urai Gilang.
“Hebat juga Adek ini, pagi-pagi sudah kasih asupan batin seindah ini,” ucap Dinda, dan bergerak memeluk Gilang.
“Bukan soal hebat atau nggak, mbak. Tapi, sudah kewajiban buat kita saling nguatin, salingngingetin. Karena, di masa sekarang ini, banyak yang lebih tinggi pengharapannya kepada sesama makhluk. Nah, biar kita tetep dalam pengharapan yang tidak berlebihan, wajar kan saling ngingetin,” tutur Gilang, sambil menebar senyuman.
“O, karena sekarang lagi masanya ngadepin pelantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota definitif ya, jadi banyak yang berlebihan dalam wujudin pengharapan,” kata Dinda, menimpali.
“Iya, mbak. Adek prihatin lihat mereka-mereka yang karena begitu menggeloranya syahwat buat punya kekuasaan, sampai-sampai tanpa sadar ninggiin pengharapan kepada makhluk ketimbang sama Yang Ciptain Makhluk. Padahal, urusan dunia ini kan cuma percandaan aja,” ucap Gilang, tetap dengan gaya santai.
“Emang sih, jelang pelantikan pimpinanpemerintahan definitif sekarang ini, mereka yang lagi ngejer kekuasaan gayanya sama; segendang sepenarian. Sama-sama ngagulin pengharapan kepada makhluk,” tanggap Dinda, dengan pelan.
“Maka, kalau ada saudara atau kawan yang orangtuanya lagi berlebihan dalam pengharapandemi dapetin kekuasaan, wajib diingetin, mbak,” ucap Gilang lagi.
“Mbak kemarin ngingetin kawan soal beginian, dek. Karena dia cerita, bapaknya bisa seharian di rumah calon pimpinan pemerintahan yang mau dilantik, sampai-sampai waktu adeknya disunat aja nggak nungguin. Eh, kawan itu malah kesel sama mbak. Sok nasihatinlah, sok ngertilah,” tukas Dinda sambil tersenyum kecut.
“Terima aja, mbak. Itu bagian dari risiko karena mbak sudah ngingetin buat kebaikan. Kalau ada yang diingetin buat tetep berpengharapan maksimal sama Yang Punya Dunia tapi dia malah kesel, berarti dia lagi sangat-sangat khawatir dengan masa depannya. Itu aja kok sebenernya,” kata Gilang.
“Emang nggak boleh ya khawatir sama masa depan, dek?” tanya Dinda.
“Nggak boleh, mbak. Nurut Syech Abdul Qadir Al-Jaelani; ‘rasa khawatir yang berlebihan terhadap masa depanmu adalah sikap berburuk sangka kepada Allah’,” jawab Gilang. Tegas.
“Tapi kan buat bisa nguatin pengharapan hanya kepada takdir itu nggak mudah, dek. Apalagi, di masa-masa sekarang ini. Karena yang ada dibenak pikiran cuma gimana dapetin jabatan atau bertahan di posisi sekarang dengan adanya pimpinan pemerintahan definitif nanti,” tanggap Dinda lagi.
“Justru ini ujiannya, mbak. Saatnya, pengharapan yang selama ini berlebihan kepada makhluk, mulailah diperkecil. Mumpung belum kebablasan,dan jadi penyesalan. Karena hati Gubernur, Bupati atau Walikota definitif pun tergantung Yang Di Langit. Bukan dari bisikan dayang-dayangnya,” ujar Gilang, seraya tersenyum. (*)