Cari Berita

Breaking News

Nelaah Keterdadakan

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 11 Februari 2025

Oleh Dalem Tehang

“MBAK kok gupek amat ya. Kenapa sih?” tegur Gilang saat melihat Dinda terburu-buru sarapan, pagi tadi.

“Dapet tugas dadakan, dek. Makanya gupek nggak karuan gini,” sahut Dinda sambil melipstiki bibir indahnya.

“Tugas dadakan dari siapa emangnya?” tanya Gilang.

“Dari dosen-lah, dek. Emang dikira siapa yang bisa buat mbak gupek pagi-pagi kayak gini,” sela Dinda.

Slow aja, mbak. Sebenernya, nggak ada yang dadakan itu. Cuma nyampeinnya pas waktu sudah mepet aja. Jadi, nggak perlu juga buat mbak grusa-grusu nggak karuan gini,” tutur Gilang, yang juga siap-siap berangkat sekolah.

“Ya ini nyatanya dosen baru nge-chat. Kasih tahu kalau jam 08.00 masuk ruang kuliah. Dia kasih kabarnya jam 07.25. Mana mbak tadi belum mandi, untung sudah bangun,” ucap Dinda, yang masih siwek.

“Adek kan sudah bilang, nggak ada yang dadakan. Cuma kebetulan nyampeinnya aja barusan, atau kita baru tahu. Pasti sudah sejak semalem dosen itu ngerancang bakal ngajar pagi-pagi. Nah, dia pengen ngetes, siapa yang tepat waktu dan ngerasa penting sama ilmu yang mau disampein, makanya baru dikasih tahu pagi ini,” tanggap Gilang, sambil tersenyum.

“Ah, Adek sok tahu. Belum tentu dosen mbak mikir kayak gitu. Jangan kebiasaan nebak pikiran orang,” sela Dinda.

“Nah, soal nebak pikiran orang ini yang adek tertarik, mbak. Sesuatu yang cuma ada di pikiran tanpa diekspresiin dengan kata atau kalimat, emang nggak bisa ditebak.
 Tapi, pikiran atas sesuatu yang diwujudin dengan kata atau tertulis, juga nggak mudah ditebak lo,” kata Gilang.

“Ngomong apa sih Adek ini. Kok malah ngajak tebak-tebakan. Mbak ini lagi buru-buru, nanti aja diskusinya,” tanggap Dinda.

“Sebentar, mbak. Yang mau adek omongin ini juga berkaitan sama kuliah mbak lo. Kan malah bisa ditanyain ke dosen. Nanti mbak kuliah apa memangnya,” ucap Gilang sambil memegang tangan Dinda, agar tidak buru-buru pergi.

“Mata kuliah hukum tata negara, emang kenapa?” kata Dinda, nampak mulai kesal.
“Nah, pas kalau gitu. Karena yang mau adek sampein juga nyambung sama hukum tata negara,” sahut Gilang, tersenyum tipis.

“Ya udah, cepetan nyampeinnya. Mbak kan mesti ngatur waktu, dek. Jangan dilama-lamain ngomongnya,” kata Dinda lagi, dengan wajah mrengut.

“Mbak tahu nggak, apa yang tertulis pada Visi Indonesia Emas 2045?” tanya Gilang.
Dinda mengernyitkan dahi. Mencoba mengingat-ingat. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya.

“Visi Indonesia Emas 2045 itu bunyinya: Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan,” ujar Gilang.

“Oke, terus kenapa?” tanya Dinda, mulai ada nada emosi.

“Mbak tahu nggak, Negara Nusantara itu dimana?” tanya Gilang lagi.

“Ya nggak tahulah, dek. Lagian baru denger ini kalau ada nama Negara Nusantara. Maksudnya Negara Indonesia pastinya-lah itu,” sahut Dinda.

“Mbak tahu kan, negara kita ini namanya Indonesia. Republik Indonesia. Dalam UUD 1945 sangat jelas, bahkan waktu Bung Karno dan Bung Hatta nyampein Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 pun atas nama bangsa Indonesia, bukan atas nama bangsa Nusantara atau yang lainnya,” urai Gilang.

“Iya juga ya, dek. Kenapa jadi Visi Indonesia Emas 2045 pakai kata Negara Nusantara ya. Aneh juga,” ucap Dinda, setelah berpikir beberapa saat.

“Ini yang adek maksud nggak ada yang dadakan itu, mbak. Segala sesuatu pasti sudah direncanain. Jadi, jangan terlalu mudah nilai sesuatu itu dadakan, karena selain telah direncanain mateng, juga pasti ada maksud tertentu pada sesuatu itu,” lanjut Gilang.

“Emang gimana nurut Adek adanya kata Negara Nusantara dalam Visi Indonesia Emas 2045 itu?” tanya Dinda, penasaran.
“Jelas itu pelanggaran konstitusi, mbak. Negara kita ini namanya Negara Republik Indonesia. Bukan Negara Nusantara. 

Setahu adek, siapa aja yang coba-coba ngerubah nama negara, berarti makar,” kata Gilang dengan tegas.

“Ada begituan kenapa selama ini semua elite negara diem aja ya, dek?” tanya Dinda lagi.

“Bisa aja para elite penguasa nggak baca atau nggak nelaah serius adanya kalimat itu, mbak. Atau bisa juga, emang sudah ada persekongkolan. Wallahu’alam. Adek duga, emang ada yang diem-diem rencanain mau ngebuat negara baru, mbak. Buktinya, mati-matian lahirin wilayah sebagai ibukota negara baru yang dinamai IKN. Kan kata Nusantara-nya dilengketin disana,” urai Gilang.  

“Kalau gitu, bisa aja nanti Negara Republik Indonesia ini pecah dong, dek! Karena sudah ada yang secara formal masukin dalam visi misi pemerintah ngenalin nama Negara Nusantara!” ujar Dinda, dengan wajah serius.

“Segala kemungkinan bisa aja terjadi, mbak. Apa yang nggak mungkin di negeri ini. Sepanjang sang penguasa mauin, ngelanggar atau ngotak-atik aturan kan sudah biasa,” jawab Gilang, dengan nada santai.

“Tapi soal Negara Nusantara ini bukan masalah kecil lo, dek. Ini ngancam keberlangsungan bangsa dan Negara Republik Indonesia,” kata Dinda, tetap dengan wajah serius.

“Mbak nggak usah gupek. Biar soal adanya Negara Nusantara itu diurus para elite negeri ini. Belum saatnya kita ngurusin beginian, walau bisa aja kita termasuk generasi yang terdadak ketika ternyata bener, kelahiran negara baru itu kejadian,” ujar Gilang, dan membukakan pintu pager untuk Dinda bergegas ke kampusnya, di Gedongmeneng. (*)    
 
    

LIPSUS