![]() |
Ilustrasi: Meja sekolah (ist/inilampung) |
Oleh, Dalem Tehang
“LHO, kok nggak ke sekolah, dek? Kan hari ini katanya mau ada pertandingan futsal,” tegur Dinda saat melihat Gilang nyantai main gadget di teras belakang.
“Lagi mager aja, mbak!” sahut Gilang dengan cueknya.
“Mager kayak mana sih Adek ini. Nggak mungkinlah Adek sampai ninggalin tanding futsalkalau sekadar mager. Pasti ada sesuatu ini,” sambung Dinda yang berdiri sambil bertolak pinggang di depan Gilang.
“Iya sih, adek lagi ngehindari ajakan makan-makan abis tanding futsal nanti, mbak,” ucap Gilang, diikuti senyum tipisnya. Nyengir.
“Lha, diajak makan-makan kok malah dihindari. Gimana sih Adek ini?” sela Dinda, mengernyitkan dahinya.
“Karena makan-makan itu ada muatannya, mbak. Ada kepentingan politik di balik ajakan. Istilah nggak ada makan siang gratis, rupanya beneran ya,” jelas Gilang, tetap sambil nyengir.
“Coba sih apa ceritanya, dek. Jangan lama-lama buat mbak penasaran,” ujar Dinda, dan duduk di kursi, berhadapan dengan Gilang.
“Jadi gini lo, mbak. Minggu depan kan di sekolah adek mau pemilihan Ketua OSIS. Nah, ketua yang sekarang maksain ponaannya yang gantiin dia. Padahal, nggak punya kemampuan. Kawan-kawan pada nolak sebenernya, tapi nggak berani frontal,” tutur Gilang.
“Emang menuhi persyaratan ponaannya itu?” tanya Dinda, mulai tertarik pada cerita Gilang.
“Jauh-jauh hari, persyaratannya sudah disesuaiin sama kriteria ponaannya itulah, mbak. Misalnya, yang dulu syaratnya harus pernah jadi pengurus inti OSIS atau ketua kelas, sekarang diubah sekadar jadi pengurus OSIS dan pengurus kelas aja. Pokoknya, semua sudah dikondisiin. Termasuk dari 18 kelas di sekolah adek, setiap kelas berapa murid yang bakal milih, sudah dipetain. Rigid bener kerja-kerja sosialisasi dan pemantapan pemenangannya,” urai Gilang lagi.
“Lha terus, kenapa Adek malah nggak ke sekolahan untuk ikut tanding futsal cuma karena ngehindari ajakan makan-makan? Kan bisa aja ikut makan tapi nanti nggak milih ponaannya Ketua OSIS itu,” tanggap Dinda.
“Karena nurut adek, makan-makan itu bagian dari praktik penyuapan, mbak. Adek nggak mau nambahin dosa cuma gara-gara urusan beginian,” jawab Gilang, dengan tegas.
“Emang gitu, dek. Penyuapan itu dosa?” tanya Dinda dengan serius.
“Ya iyalah, mbak. Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersabda: ‘penyuap dan orang yang disuap dimasukkan ke dalam neraka’. Itu hadits riwayat Thabrani. Hadits riwayat Tirmidzi menulis: ‘Allah melaknat penyuap dan yang disuap dalam urusan hukum’. Dari dua hadits itu aja jelas-jelas kalau perbuatan nyuap dan disuap, dosa. Ancamannya neraka dan dilaknat,” kata Gilang.
“Tapi kan belum tentu juga ajakan makan-makan itu arahnya ke penyuapan, dek. Jangan kelewat negative thinking gitulah,” ucap Dinda.
“Aduh, mbak. Seremeng-remeng apapun, kan bisa dibaca maksudnya sih. Ketimbang adek lakuin hal-hal yang kurang pas sama aturan agama, baikan ngehindar dengan nggak dateng ke sekolah buat tanding futsal hari ini,” tanggap Gilang.
“Yang jadi perhatian mbak, kenapa ya kok ada semacam trend warisan dalam urusan kekuasaan sekarang ini. Kemarin, waktu pemira di fakultas mbak, anaknya dekan yang ndadak maju dan akhirnya jadi Ketua BEM. Sekarang di sekolah Adek, Ketua OSIS maksain ponaannya buat gantiin dia,” ucap Dinda dengan pelan.
“Karena sudah banyak melenceng tatanan aturanmaupun sosial kemasyarakatan dari yang digarisin leluhur pendiri negeri ini, mbak. Kekuasaan sudah jadi pengendali aturan atau hukum. Syahwat menguasai jadi nggak terkendali. Hingga ketika ngomongin jabatan, posisi atau kekuasaan, layaknya warisan dari nenek moyangnya sendiri,” jawab Gilang, sambil tersenyum.
“Tapi kan nggak bener juga kalau aturan disesuaiin sama kepentingan bertahannya pewarisan, dek,” ketus Dinda.
“Semua anak bangsa yang pikiran dan hatinya masih baik, masih tulus, masih ngerti sama tatanan yang dibuat leluhur negeri ini, ya paham itu sebenernya, mbak. Tapi kan semua diem. Karena mereka sadar bener, trend pewarisan kekuasaan ini nggak bisa dilawan dengan cara frontal,” kata Gilang.
“Kalau trend pewarisan kekuasaan ini dibiarin, berarti kan sama aja ngingkari kemerdekaan orang lain,” lanjut Dinda, dengan nada kesal.
“Bener yang mbak omongin itu. Sesepuh Amerika Serikat namanya Abraham Lincoln pernah bilang: ‘those who deny freedom to others deserve it not for themselves’. Mereka yang ngingkari kemerdekaan orang lain, nggak berhak dapetin kemerdekaan buat dirinya sendiri,” jawab Gilang.
“Jadi nurut Adek, harus gimana biar trend pewarisan kekuasaan nggak terus melegenda?” tanya Dinda.
“Yang pasti, aksi penolakannya ya jangan frontal, mbak. Sebab seperti kata Gus Mus: ‘Sebelum nendang, perlu disadari bahwa kita akan berdiri dengan satu kaki saja’. Dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berpesan: ‘kenali kebenaran maka kamu akan tahu orang-orang yang benar. Benar itu tidak diukur oleh orang-orangnya, tetapi manusia diukur oleh kebenaran’,” jawab Gilang.
“Konkretnya kayak mana, dek?” tanya Dinda lagi.
“Adek inget satu filosofi kepemimpinan dalam Hasta Brata, mbak. Yaitu mulat laku jantraning maruta. Seorang pemimpin harus neladani angin, yang berada dimana-mana dan selalu ngisi setiap ruang kosong,” kata Gilang.
“Gimana kalau pemimpinnya yang justru jadi anginnya, dek. Baru muncul langsung mainkan gaya angin puting beliung. Puluhan orang ndadak terpontal-pontal dari rumahnya,” sela Dinda.
“Mungkin pemimpin itu lagi pengen nunjukin kuatnya dia punya kendali atas angin, jadi lupa sama ajaran leluhur, mbak. Bahwa menjadi pohon itu bukan hanya berdiri, tapi juga berserah pada kedalaman yang tak terlihat,” sahut Gilang, seraya tersenyum. (*)