Oleh Dalem Tehang
“MBAK, gimana sih cara ngenilai hasil kerja seseorang?” tanya Gilang.
“Maksudnya ngenilai kayak mana, dek,” sahut Dinda. Balik bertanya.
“Sebentar lagi adek selesai nih jadi ketua kelas. Kan ada kayak evaluasi gitu. Biasanya yang dinilai apanya ya, mbak,” jelas Gilang.
“Oh soal itu to. Pastinya kawan-kawan mau ngenilai apa aja yang sudah adek usahain selama jadi ketua kelas-lah. Masak gitu aja pakai tanya,” ucap Dinda, sambil tersenyum.
“Ya adek tahu kalau itu mah, mbak. Karena adek ketua kelas, ya pasti soal kepemimpinan sebagai ketua kelas itulah yang bakalan dievaluasi. Nggak mungkin juga di luar itu. Yang adek maksud, biasanya yang serius dievaluasi itu nyangkut soal apa. Kegiatan kelas, peningkatan disiplin kawan-kawan, atau apa,” tutur Gilang dengan nada kesel.
“Slow geh, dek. Jangan gampang amat emosi itu naik. Nanti ngurangi kecermatan dalam berpikir lo. Nurut mbak sih, dalam ngenilai sesuatu itu, bukan dari hasilnya, tapi dari usahanya,” tanggap Dinda.
“Yang dilihat kan hasilnya, mbak. Langka yang mau ngenilai usaha itu. Fakta yang jadi ukurannya. Mau dia gulung-kuming nggak karuan, nggak pernah tidur 24 jam sekalipun, kalau kenyataannya nggak ada kemajuan sesuai janji waktu kampanye, ya tetep dinilai gagal itulah,” kata Gilang, menimpali.
“Yang mbak sampein tadi kata Albert Einstein, dek. Bukan dari pikiran sendiri. Dia bilang; ‘memberikan nilai atas sesuatu itu dari usaha, jangan dari hasilnya, baru kita bisa menilai kehidupan’,” jelas Dinda.
“Itulah makanya banyak orang ngeyakini kalau hasil nggak khianati usaha ya, mbak,” sela Gilang.
“Mbak nggak sepakat sama penilaian kayak gitu, dek. Kalau hasil diyakini nggak bakal khianati usaha, lha terus dimana tempatnya takdir. Banyak lo contohnya. Sekolah bareng, les bareng, lulus bareng, ngelamar kerjaan bareng, tapi yang satu diterima, satunya nggak. Mestinya, kalau ngikuti fatsun hasil nggak khianati usaha, kan dua-duanya diterima,” urai Dinda.
“Jadi, dalam urusan apapun tetep jangan singkirin garis tangan atau takdir ya, mbak,” ujar Gilang.
“Bukan cuma jangan nyingkirin, tapi harus yakin sama takdir, dek. Hidup ini ditentuin takdir, yang sudah ditulis sama Sang Penguasa 50 tahun sebelum kita hirup udara dunia. Tapi, kita juga wajib usaha, berjuang sekuat tenaga dan pikiran. Kanjeng Nabi pernah bersabda; ‘berusahalah buat duniamu seakan-akan kamu hidup 1000 tahun, dan beribadahlah seakan-akan besok kamu mati’,” tutur Dinda.
“O gitu ya, mbak. Terima kasih sudah kasih pencerahan. Jadi, soal usaha atau perjuangan adek yang mau dievaluasi kawan-kawan ya, bukan hasil dari usaha itu sendiri,” ucap Gilang, beberapa saat kemudian.
“Kalau nurut Albert Einstein mestinya gitu, dek. Mbak coba urai alurnya ya. Selama ini, yang dinilai kan hasil atas sebuah masa kepemimpinan. Katakanlah gitu. Kalau faktanya jelek atau kurang, otomatis dianggep dia gagal. Yang ngenilai nggak mau narik mundur; kenapa kok gagal, apa kendalanya, sudah kayak mana usaha pemegang kepemimpinan. Mestinya ya ditarik mundur. Nanti ketahuan, seberapa serius orang itu berusaha wujudin programnya,” jelas Dinda.
“Gimana kalau kawan-kawan ngenilainya tetep dengan hasil, mbak. Nggak peduli sama usaha adek selama ini?” tanya Gilang. Ada nada kekhawatiran.
“Ya terima aja, karena mayoritas di sekeliling kita memang sudah terbiasa dengan alur itu. Sebagai ketua kelas, adek harus siap hadapi segala kemungkinan. Baik yang ngevaluasi usaha maupun hasil. Karena memang nggak mudah nebarin suatu pikiran yang dianggep nggak lazim,” jawab Dinda.
“Iya sih, yang mbak sampein dari omongan Albert Einstein itu memang nggak lazim. Bahkan bisa jadi ketawaan. Gimana adek bisa mahami kalau pola itu sebenernya masuk akal, wong bisa-bisa malah dianggep aneh karena selama ini nggak dipakai orang buat nyampein penilaian,” ucap Gilang, sambil menghela nafas.
“Adek belajar aja dari akar pohon. Letaknya tersembunyi, di dalam tanah. Nggak semua orang peduli apalagi ngaguminya. Walau gitu, dia tetep usaha dan kerja siang malam tanpa lelah dan pamrih buat kehidupan batang dan dedaunan. Yang dilihat dan dikagumi orang kan cuma batang dan daunnya yang hijau dan segar. Kebayang nggak, kalau akarnya nggak berusaha atau malah mati, bakalkah batang dan daunnya akan sebagus itu,” kata Dinda, panjang lebar.
“Tapi kan nggak mudah ngevaluasi dengan pola usaha itu, mbak. Malah ribet kayaknya,” sela Gilang lagi.
“Justru sebenernya lebih mudah dan elegan, dek. Waktu adek nyalon ketua kelas, pasti sampein visi misi dan program yang mau dikerjain kan. Evaluasi aja dari situ, bakal ketahuan keseriusan adek berusaha wujudin janji kampanye dulu,” tanggap Dinda lagi.
“Jadi, kalau ngenilai Penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati yang sebentar lagi selesai jabatannya, cukup buka buku: apa penugasan dari atasannya aja ya, mbak. Nggak usah riweh pelototi data hasil kerjanya,” kata Gilang dengan cepat.
“Elegannya ya gitu, dek. Kalau ternyata mayoritas yang ditugasin atasannya nggak dijalanin, berarti dia nggak kerja. Cuma pengenin dan banggain posisi sebagai penjabat aja. Apalagi kalau demennya hanya sibuk di kegiatan seremonial, pasti ninggalin banyak masalah,” ujar
Dinda sambil tersenyum simpul. (*)