Cari Berita

Breaking News

Setengah Dewa

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Kamis, 13 Februari 2025

Ilustrasi: Mengelap sepatu (ist/inilampung)



Oleh, Dalem Tehang


“KOK mata indahnya kuyu bener pagi ini, kenapa mbak?” tanya Gilang pada Dinda saat bertemu di meja makan untuk sarapan, pagi tadi.


“Lagi suntuk, dek. Nggak tidur semaleman,” sahut Dinda, dengan nada cuek.


“Emang ada apa. Nggak biasanya lo, mbak suntuk sampai nggak tidur semaleman gini,” sela Gilang.


“Lagi banyak pikiran aja, dek. Mana mau nyiapin acara mahasiswa di kampus, eh ada aja yang kerjaannya cuma ngungkit-ungkit kekurangan. Padahal, dia sendiri dikasih tugas juga nggak ada beres-beresnya,” ucap Dinda, mengeluarkan uneg-unegnya.


“Mestinya malah bersyukur dong mbak kalau ada yang ngomongin kekurangan kita. Kan buat introspeksi, buat terus perbaiki diri,” tanggap Gilang, dengan santai.


“Idealnya sih gitu, dek. Cuma kalau kekurangan itu diomongin di saat kita sendiri lagi lelah, sudah ngerasa berbuat maksimal, depan orang banyak pula, kan keki jadinya,” celetuk Dinda.


“Ya, manusiawi kalau cara nyampein kekurangan di depan umum gitu buat mbak kesel dan nggak terima. Tapi, jangan biarin hati dan pikiran mbak terus-terusan kebelenggu sama persoalan itu. Mbak sendiri yang rugi,” lanjut Gilang.


“Ngomong emang gampang, dek. Tapi jalaninnya yang susah. Kalau Adek ngalami kayak mbak, pasti juga kehilangan mood dan kesel hati,” tukas Dinda.


“Adek tahu kok, gimana rasanya dikupas orang soal kekurangan kita hingga kayak nggak ada secuil pun kebaikan di diri kita, berat nerimanyaemang, mbak. Selama ini adek sebenernya juga sering dapet bully-an gitu, tapi nggak drop-drop amat,” ujar Gilang, tetap dengan santai.


“Emang gimana cara Adek nenangin diri kalau ketemu orang yang cuma bilangin kekurangan kita doang?” tanya Dinda, sambil menatap Gilang yang asyik mencuili daging ayam goreng di atas piringnya.


“Adek bilang ke diri sendiri: musuhku bukan orang yang ngehujat, bukan yang ngehina atau yang ngedzolimi. Karena mereka justru beri aku pahalanya dan mereka memikul dosaku,” jawab Gilang, sambil nyengir.


“Cuma bilang gitu aja buat diri sendiri?” tanya Dinda lagi.


“Iya, adek selama ini cuma gitu doang, mbak. Alhamdulillah, nggak perlu berlama-lama yang namanya suntuk atau kesel di hati. Adek cepet bisa enjoy dan survive lagi. Toh, hakekat kita sebagai manusia emang penuh khilaf dan lupa. Ngapain musingin diri sendiri kalau yang diomongin emang hakekat dari keinsanan kita,” tutur Gilang, dengan santai.


“Kok Adek bisa santai gini ya kalau kena bully atau diomongin orang soal kekurangan atau ketidakbeneran. Kenapa mbak dan pastinya banyak orang bakalan marah kalau kejelekannya dijadiin bahan obrolan,” Dinda menyela.


“Karena adek mahami hakekat kita sebagai manusia, kuncinya itu aja, mbak. Kan manusia emang tempatnya salah dan lupa. Jadi, kalau ada yang ngopok-in kita soal kesalahan, kejelekan, kekurangan, dan sebangsanya, ya tanggepi biasa-biasa aja,” sahut Gilang, tetap dengan santainya.


“Kalau misalnya ini, ada kawan Adek yang ngomong ke kawan-kawannya, ngapain berteman sama Adek, nggak ada bagus-bagusnya, apa tanggapan Adek?” tanya Dinda.


“Alhamdulillah, mbak. Itu cara Semesta nyeleksi perkawanan adek. Yang masih mau berkawan, monggo, yang nggak mau, ya nggak apa-apa. Gitu aja kok repot,” ucap Gilang, dan tertawa.


“Terus sikap Adek sama orang yang ngajak kawan-kawan supaya nggak berteman, kayak mana?” Dinda bertanya lagi.


“Ya biasa, tetep baik-baik aja. Mbak inget ya, kebaikan nggak sama dengan kejahatan. Tolaklakejahatan dengan cara yang lebih baik, hingga yang memusuhimu bakal seperti teman yang setia. Dan kalau kata Kahlil Gibran; perbuatan baik adalah doa tanpa kata-kata,” jawab Gilang.


“Sok filosofis Adek ini kasih jawabannya,” celetuk Dinda.


“Bukan filosofis, mbak. Itu perintah Allah di Surah Fusshilat ayat 34. Kalau kita tetep nerimo apapun yang terjadi, hati ini tentrem,” kata Gilang.


“Kalau buat ngingetin orang yang sok paling bener, paling suci, dan sombong, biasanya Adek kayak mana?” tanya Dinda.


“Adek japri dia, mbak. Adek kirim chat arti dari Surah Al Isra ayat 37: Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung,” jawab Gilang, kembali sambil tersenyum.


“Ternyata Adek mbak yang bergaya tengil ini piawai juga. Nggak nyangka lo,” sahut Dinda, dan bergerak memeluk Gilang.


“Slow aja geh, mbak. Yang bahaya itu justru kalau kita ketemu kawan yang cuma ngomongin kebaikan, kesuksesan, dan kehebatan kita aja. Kalau mbak ketemu sama orang kayak gitu, waspada ya. Karena tanpa disadari, ia akan bawa kita keluar dari hakekat kemanusiaan, yang penuh dengan kekhilafan dan kelupaan. Kita mau dikemasnya jadi manusia setengah dewa. Dan itu hal mustahil terjadi selama kita masih hidup di alam fana,” urai Gilang, panjang lebar.


“Kayaknya, praktik model ngelus dan ngejilat itu lagi wayahnya lo, dek. Kan sekarang emang eranya punya Gubernur, Wagub, Bupati-Wabup, dan Walikota-Wakil Walikota definitif. Pastilah ada gula, ada semut,” tanggap Dinda. 


“Ya waspada aja yang jadi pimpinan pemerintahan definitif. Jangan sampai karena keasyikan nikmati elusan dan jilatan, akhirnya lupa sama janji ke rakyat dan wujudin visi misinya, akibat tercerabut dari hakekat kemanusiaannya, apalagi kalau sampai merasa layaknya makhluk setengah dewa,” kata Gilang dan bergerak meninggalkan meja makan sambil membawa piringnya ke tempat cucian. (*)    

LIPSUS