![]() |
Tuberculosis (TB) |
Nur Fadhilah, Iwan Tri Bowo
Persepsi yang rendah terhadap risiko infeksi TBC dapat menjadi penghambat utama dalam implementasi program pencegahan. Oleh karena itu, strategi penguatan persepsi kerentanan yang berbasis pada edukasi dan komunikasi yang tepat sasaran sangat dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program TPT, terutama di negara dengan beban TBC tinggi seperti Indonesia, seperti; pendidikan kesehatan yang kontekstual: memberikan informasi yang sesuai dengan tingkat literasi masyarakat lokal.
Penyuluhan berbasis komunitas: melibatkan tokoh masyarakat atau kader untuk menyampaikan risiko TBC. Pendekatan komunikasi interpersonal: tenaga kesehatan perlu melibatkan pasien secara emosional dan rasional dalam proses edukasi. Dan pemanfaatan media digital: menyebarkan konten visual dan testimoni dari penyintas dapat meningkatkan persepsi kerentanan dan urgensi pencegahan.
Dalam konteks ini, keyakinan tentang keparahan terhadap TBC adalah sejauh mana keyakinan seseorang terhadap risiko dan tingkat keparahan suatu penyakit berpengaruh kuat terhadap keputusan untuk menerima intervensi kesehatan, termasuk TPT. Keyakinan tentang keparahan TBC mencerminkan persepsi individu terhadap serius tidaknya konsekuensi dari penyakit ini, baik secara medis maupun sosial. Seseorang yang memiliki keyakinan kuat tentang bahaya dan dampak serius TBC cenderung lebih waspada dan merasa terdorong untuk mengambil langkah preventif seperti TPT.
Hal ini karena kepercayaan terhadap keparahan penyakit dapat menciptakan rasa urgensi dan motivasi untuk menghindari konsekuensi buruk. Pertanyaan yang diajukan dalam instrumen penelitian menggambarkan tingkat pemahaman responden mengenai potensi kematian, penularan, komplikasi, penurunan kualitas hidup, dan dampak pengobatan. Ketika individu menyadari bahwa TBC bukan hanya penyakit biasa, tetapi sebagai penyakit yang dapat menimbulkan kefatalan dan mengganggu produktivitas, maka mereka lebih mungkin untuk menerima upaya pencegahan seperti TPT.
Persepsi ini mencakup: bahaya TBC terhadap kehidupan atau produktivitas, potensi komplikasi atau kematian, stigma sosial dan diskriminasi, dan dampak terhadap keluarga atau ekonomi. Individu yang meyakini bahwa TBC adalah penyakit yang berbahaya cenderung memiliki motivasi lebih tinggi untuk melakukan tindakan pencegahan, termasuk menerima TPT. Dengan demikian, temuan ini memperkuat literatur yang ada bahwa persepsi terhadap keparahan penyakit TBC memainkan peran krusial dalam mendorong penerimaan terhadap TPT.
Intervensi promotif dan edukatif harus difokuskan pada peningkatan pemahaman masyarakat terhadap dampak serius TBC sebagai strategi meningkatkan keberhasilan program eliminasi TBC di komunitas. Edukasi harus menyentuh aspek: konsekuensi medis dan sosial dari TBC, efektivitas dan keamanan TPT, pengurangan stigma terkait TBC. dan tenaga kesehatan perlu mengintegrasikan pendekatan komunikasi yang memperkuat persepsi realistis terhadap keparahan TBC, disertai penekanan pada manfaat TPT sebagai langkah preventif yang penting.
Tingkat penerimaan TPT di masyarakat masih tergolong rendah, meskipun efektivitasnya dalam mencegah progresi infeksi laten ke penyakit aktif telah terbukti. Salah satu faktor penting yang memengaruhi penerimaan TPT adalah keyakinan individu terhadap manfaat TPT itu sendiri. Menurut Health Belief Model (HBM), perilaku kesehatan dipengaruhi oleh persepsi individu tentang kerentanan terhadap penyakit, keparahan penyakit, manfaat tindakan, dan hambatan tindaka. Keyakinan tentang manfaat TPT merujuk pada sejauh mana seseorang percaya bahwa mengikuti program TPT akan memberikan keuntungan bagi kesehatannya, seperti mencegah infeksi TBC aktif, melindungi keluarga dari penularan, dan memperpanjang harapan hidup.
Dalam konteks keluarga kontak serumah, keyakinan ini menjadi kunci dalam membentuk motivasi untuk menerima dan menjalani program TPT. Sejalan dengan sejumlah temuan studi yang menunjukkan bahwa perceived benefit merupakan determinan utama dalam perilaku kesehatan, khususnya dalam konteks pencegahan TBC. Dalam kerangka Health Belief Model (HBM), perceived benefit dipandang sebagai faktor motivasional yang kuat karena individu cenderung akan menerima suatu intervensi jika mereka percaya bahwa intervensi tersebut membawa keuntungan yang nyata bagi kesehatan mereka.
Studi tentang implementasi pengobatan pencegahan tuberkulosis di daerah dengan prevalensi tinggi dengan potensi manfaat bagi individu yang terkena dampak cukup besar, lebih jauh hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pasien harus menjadi pusat dari kebijakan perluasan TPT, sehingga sistem kesehatan harus memastikan bahwa program dapat memberikan pengobatan dengan aman, efisien dan berkelanjutan, sehingga meningkatkan motivasi pasien untuk meningkatkan kesediaan dan kepatuhan menjalankan TPT.
Keyakinan ini berfungsi sebagai landasan motivasional yang mendorong keputusan perilaku, sejalan dengan teori HBM. Jika seseorang percaya bahwa TPT dapat: mencegah penularan TBC kepada keluarga, menjaga kesehatan pribadi dan keluarga, memberikan perlindungan jangka panjang, memutus rantai penularan TBC, dan memiliki manfaat yang lebih besar dari risikonya, maka individu tersebut akan melihat program TPT sebagai investasi kesehatan, bukan beban atau risiko. Keyakinan ini menginternalisasi makna positif terhadap terapi, memperkuat rasa tanggung jawab kolektif terhadap kesehatan keluarga, dan menciptakan sikap proaktif terhadap tindakan pencegahan.
Dengan demikian, hasil penelitian saat ini memperkuat bukti global bahwa persepsi akan manfaat nyata dari TPT menjadi salah satu faktor kunci yang memengaruhi penerimaan program ini. Hal ini memberikan dasar yang kuat bagi pengambil kebijakan dan tenaga kesehatan untuk mengembangkan strategi promosi kesehatan berbasis edukasi yang menitikberatkan pada peningkatan pemahaman masyarakat tentang manfaat TPT sebagai bagian integral dari eliminasi TBC.
Semakin tinggi persepsi individu terhadap hambatan yang mungkin dihadapi, maka semakin kecil kemungkinan individu tersebut untuk melakukan tindakan kesehatan preventif, seperti mengikuti TPT. Penelitian cross sectional menemukan bahwa kekhawatiran terhadap efek samping obat merupakan hambatan utama dalam menerima dan menyelesaikan pengobatan infeksi TB laten. Penelitian di Malaysia melibatkan enam klinik, hasil penelitian menginformasikan bahwa kurangnya penjelasan yang memadai dari petugas kesehatan serta kekhawatiran tentang efek samping obat menjadi faktor penghambat utama pelaksanaan terapi pengobatan.
Hambatan psikologis, sosial, dan logistik menjadi alasan utama mengapa banyak keluarga kontak serumah tidak menerima atau enggan mengikuti TPT. Model Health Belief Model (HBM) menguatkan bahwa persepsi hambatan merupakan prediktor kuat terhadap perilaku kesehatan. Oleh karena itu, intervensi yang ditujukan untuk meningkatkan penerimaan TPT harus mencakup edukasi yang menyeluruh, pendekatan berbasis komunitas untuk mengurangi stigma, serta sistem dukungan dan pemantauan terapi yang lebih fleksibel dan mudah diakses.
Isyarat untuk bertindak merujuk pada rangsangan eksternal atau internal yang mendorong individu untuk mengambil tindakan kesehatan. Isyarat untuk bertindak berfungsi sebagai pemicu yang menggerakkan individu dari niat ke tindakan nyata, termasuk menerima TPT Isyarat ini bisa berbentuk eksternal dan internal. Dalam bentuk eksternal: edukasi oleh petugas kesehatan, kampanye media massa, pengingat dari keluarga, dan internal: timbulnya gejala ringan, kekhawatiran pribadi terhadap risiko penyakit. Isyarat untuk bertindak bukan sekadar pemicu pasif, tetapi berfungsi sebagai penguat sikap dan kepercayaan terhadap manfaat TPT.
Penerapan strategi komunikasi yang tepat melalui berbagai bentuk isyarat mampu menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan tindakan, sehingga mempercepat pencapaian target eliminasi TBC. Oleh karena itu, rekomendasi yang dapat diberikan antara lain: mengintegrasikan edukasi dan penyuluhan sebagai bagian dari program rutin, melibatkan petugas kesehatan, keluarga, dan tokoh masyarakat dalam kampanye TPT, menggunakan media sosial dan teknologi digital untuk menyebarluaskan pesan TPT secara luas dan berulang, dan mendesain testimoni dan narasi positif dari penyintas TBC laten sebagai alat komunikasi yang membumi dan efektif.(*)
Nur Fadhilah, Iwan Tri Bowo
Dosen Univerisitas Muhammadiyah Pringsewu