INILAMPUNGCOM --- Pengakuan Eka Afriana, Kepala Disdikbud Kota Bandarlampung, telah merubah identitas pribadinya –KTP dan akta kelahiran- dengan alasan akibat sering kesurupan, harusnya ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum (APH).
“Pemalsuan identitas itu tindak pidana murni, apalagi telah disampaikan secara terbuka. Jadi, seharusnya APH menindaklanjuti pengakuan tersebut dengan sesegera mungkin memeriksa yang bersangkutan,” kata advokat senior dari Peradi Bandarlampung, Alfian Suni, SH, MH, CPM, Kamis (29/5/2025) malam.
Menurut Alfian Suni, kasus pemalsuan yang diduga kuat dilakukan Eka Afriana –sebagaimana diakuinya sendiri- merupakan pidana murni, bukan delik aduan. Sehingga sudah seharusnya APH bergerak cepat menangani persoalan tersebut.
Advokat Putri Maya Rumanti juga menyatakan hal senada. Menurutnya, masyarakat yang paham hukum atas peraturan hukum tidak boleh diam, dan harus melakukan upaya hukum agar hal ini tidak berkelanjutan.
“Karena ini ranahnya sudah ke pidana, terlepas yang bersangkutan adalah kerabat pejabat di kota ini, tetap tidak dibenarkan,” kata Putri seraya berharap, aparat penegak hukum (APH) bisa segera menindaklanjuti persoalan ini tanpa tebang pilih.
Sementara, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Bandarlampung menegaskan sikapnya akan segera melaporkan Kadisdikbud Kota Bandarlampung, Eka Afriana, ke sejumlah lembaga terkait dugaan pemalsuan dokumen kependudukan dalam proses seleksi CPNS tahun 2008 silam.
Menurut Ketua Umum Permahi Bandarlampung, Tri Rahmadona, pihaknya segera melaporkan Eka ke Polda Lampung, Mabes Polri, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI, dan KemenPAN-RB, BKN, serta Kemendagri.
Sebelumnya, praktisi hukum senior, H. Abdullah Fadri Auli, SH, menilai, apa yang dilakukan kembaran Walikota Eva Dwiana tersebut merupakan pelanggaran serius.
“Apabila dokumen yang diubah tersebut digunakan untuk memberi keuntungan bagi pelaku, konsekuensi hukumnya jelas, yaitu pelanggaran terhadap UU Kependudukan dan UU Tindak Pidana Korupsi,” kata Bang Aab, panggilan akrab Ketua Harian IKA Unila itu, Rabu (28/5/2025) pagi.
Dijelaskan, merubah identitas yakni tanggal lahir merupakan bentuk pelanggaran serius karena tanggal lahir tidak dapat diubah. Bila merubah nama, diperbolehkan sepanjang ada penetapan pengadilan.
Menurutnya, pemalsuan identitas adalah tindakan pidana yang dapat dijerat dengan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Diantaranya Pasal 263-264 KUHP, pemalsuan KTP-el Pasal 95B UU Nomor: 24 Tahun 2023, pemalsuan data pribadi melanggar UU Nomor: 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
“Selain itu, perbuatan mengubah atau memalsukan identitas dokumen elektronik melanggar UU Nomor: 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jadi, apa yang dilakukan Eka Afriana senyatanya merupakan pelanggaran hukum dan merupakan perbuatan pidana,” tutur Abdullah Fadri Auli.
Sementara praktisi hukum, Sarhani, menilai, pengubahan atau pemalsuan data dalam bentuk apapun yang digunakan untuk administrasi negara merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman hingga 8 tahun.
“Pasal 263 dan 264 KUHP mengatur tegas tentang pemalsuan surat dan dokumen otentik. Ancamannya sampai 8 tahun penjara,” kata Sarhani, Selasa (27/5/2025) malam, seraya menyatakan saat ini pihaknya tengah menyiapkan laporan ke APH terkait pengakuan Kadisdikbud Balam yang memalsukan identitas pribadi: KTP dan akta lahir.
Ditambahkan Sarhani, praktik manipulasi data diri untuk menyesuaikan batas usia dalam rekrutmen ASN, bisa dijerat dengan Pasal 266 KUHP dan Pasal 93 dan Pasal 94 UU Administrasi Kependudukan Nomor: 24 Tahun 2013.
“Apalagi jika pemalsuan itu digunakan untuk mendapatkan jabatan atau keuntungan dari negara, bukan pelanggaran etika semata tetapi pidana murni,” sambung Sarhani. (kgm-1/inilampung)