Cari Berita

Breaking News

Catatan untuk Hi. Bachtiar Basri: Dalam Diam yang Bercahaya

Dibaca : 0
 
Minggu, 25 Mei 2025



Oleh Agusri Junaidi


Malam begitu tenang. Ketika aku bertamu, hari sebenarnya baru saja gelap. Masuk dari rumah lama yang tak berubah bentuknya sejak pertama kali aku ke situ, tembus menuju bangunan lain dari komplek itu. Di situ ada kolam renang kecil, bonsai yang berbaris dalam pot. 
Lalu, melewati pergola ada musholla semi terbuka untuk sampai ke teras yang kursi tamunya dijejerkan rapi, menghadap ke kolam Koi yang sudah juga dikeringkan, ikan Koi yang dulunya ramai itu sudah dihibahkan ke Mesjid Al Ikhlas, Kotabumi.


Sebuah kendaraan operasional hitam double kabin tampak terparkir di tengah ruang lapang di antara pertemuan dua blok bangunan. Ia keluar. Saat melihatku ia bilang, "Kok kamu gak ngetok pintu?"  Nada yang sudah ku kenal. Aku bertabik menyambut tangannya. "Sehat, Bang?” aku balik bertanya. 
Kami lalu duduk bersisian, terpisah oleh meja kecil tempat minuman, snack dan asbak. "Isbedy berapa hari lalu ke sini, dia tanya apa kamu dari sini, saya bilang kamu sudah lama gak ke sini." Nadanya biasa, tapi aku merasa jadi malu hati dibuatnya. 


Saat itu masih bulan Syawal. Tapi sebenarnya dengan beliau, pertemuan kami bukan soal kwantitas, lebih pada kwalitas pertemuan itu sendiri yang begitu kenyal dan padat, hingga setelahnya untuk waktu lama aku merasa tak ada hal ikhwal lagi yang perlu dibahas. 


Begitulah sejak dulu, pun saat beliau masih memangku jabatan penting. Aku biasa memantau situasi dari jarak tertentu, mendapatkan informasi tentang apa dan siapa melakukan apa di sekitar beliau.  Lalu obrolan mengalir deras, berbagai soal dan tofik saling berganti. Banyak ia bicara soal lukisan dan memamerkan beberapa karya terbarunya. 


Aku terkesan akan karya barunya yang tampil dengan warna yang lebih terang, cerah dan muda. Komposisi warna kontras yang saling membangun harmoni dalam sekat-sekat yang acak. “Lukisan Abang banyak berubah, rasanya lebih segar, yang tak tahu akan mengira ini karya anak muda,” komentarku. 


Menurutnya lukisan itu beberapa belum selesai, detailnya masih kurang, di ruang-ruang yang kosong masih perlu di isi, sambil ia menunjuk pada kanvas.


“Gaya seperti ini dimudahkan dengan cat atrylic,” ujarnya. 


Lalu ia bercerita tentang prosesnya berkarya, cerita soal anak muda asal satu perguruan tinggi di Jawa yang tiba-tiba memenangkan lomba melukis  bernilai milyaran di luar negeri yang membawanya berkeliling dunia, lukisan Bang Bach yang dibeli beberapa kolektor  yang harganya cukup bikin tercengang juga kalau diukur dari kemampuan ekonomiku.


Lalu ia meminta aku membuka Google dan mencari lukisan termahal di dunia. Yang muncul adalah lukisan sederhana dengan warna merah yang tak begitu kental dan di tengahnya tepat memotong bidang ke bawah ada sapuan warna merah. 


Kami tertawa bersama, merasa geli dengan absurditas dunia seni rupa. Satu lukisannya didominasi warna hitam, di tengah ada pola-pola setengah lingkaran yang tak simetris muncul warna merah pupus kecoklatan. Jarang sekali aku bertanya soal makna dari karyanya yang Sebagian abstrak karena semestinya setiap orang punya persepsi sendiri. 


“Apa makna lukisan ini, Bang?” Aku bertanya penasaran. 


Dia diam sejenak, aku pikir dia akan memberi jawaban normatif. “Ini saya buat menjelang pergantian tahun kemarin, artinya…suram,” jawabnya. 
“Ini tentang politik?” Aku menyimpulkan sendiri, ia tidak tegas mengiyakan atau tidak, hanya kuingat tadi sempat juga kudengar ia membahas soal perang dagang yang memanas antara Amerika dan China.


Malam itu ia mengajakku melihat satu persatu lukisannya sampai yang terpajang di ruang makan dan masuk kamar di bagian belakang.

"Masih banyak di sini,” katanya lagi. 
Beberapa lukisan terpajang di dinding atau sekadar menyandar di dinding. Satu lukisan lumayan besar sobek di tengahnya akibat banjir di rumahnya beberapa waktu lalu. 


Sayang sekali, aku membatin. Aku banyak bertanya, juga mengapa dia tak tertarik melukis realis yang lebih mudah dimaknai. 


Ternyata baginya, melukis realis tak akan mengalahkan fotografi dan pernah juga ia lakukan. Ia bilang salah seorang kolektor lukisannya mengatakan lukisannya lebih cocok dengan selera para kolektor di Jawa ketimbang di Lampung dan mestinya lebih dikenalkan dengan berpameran di kota-kota besar pulau Jawa. 

***

Pilkada Lampung Utara tahun 2008 menjadi momen penting dalam karier politiknya. Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan sengketa hukum, pengalaman ini menjadi bagian dari perjalanan panjangnya dalam dunia politik dan pemerintahan di Provinsi Lampung.


Bang Bachtiar adalah sosok yang inspiratif. Ia tak suka yang etok-etok, alak-alak atau istilahnya ecak-ecak yang kesannya asal jadi. Dia seseorang yang punya selera bagus dan selalu ingin yang terbaik dalam hal apapun. Bahkan pun  soal rokok, contohnya malam itu, dia menyuruhku membeli rokok kesukaannya dengan catatan adalah produksi terakhir yang beredar di pasaran. 


“Cari yang bulan Februari kalau yang Maret belum ada,” pesannya. 


Aku perlu keliling beberapa toko agar mendapat sesuai pesanannya. 
Jiwa sosialnya juga sangat tinggi. Malam itu ditengah perbincangan tiba-tiba dia teringat sesuatu.


 “Waduh, Mas Slamet tadi kehujanan gak ya?" Ia sedikit risau, ternyata sore tadi Mas Slamet Har dan Ketua PW Muhammadiyah Lampung Prof. Sudarman bertamu. 

Ia menyumbang pada Universitas Muhammadiyah Kotabumi (UMKO) empatlukisannya, dan Mas Slamet Har yang pasangannya saat Pilkada Lampura 2008 membawanya dengan Pick Uf. 

Itu bukan sumbangan biasa, lukisan Bang Bachtiar dikoleksi beberapa kolektor dengan harga tinggi. Bahkan ada yang di atas seratus juta rupiah. Kerapkali hasil penjualan lukisan dalam pameran itu ia sumbangkan untuk kegiatan amal itu atau lembaga sosial diantaranya Lampung Peduli. 


Dia sangat peduli untuk kemajuan masyarakat Lampung. Malam itu ia cerita ditail pun oleh seorang tokoh yang juga mantan bupati, konteksnya adalah pengembangan Lampung menjadi dua provinsi. Tokoh itu juga mengatakan dia juga akan berbicara dengan budayawan Lampung Anshori Djausal. 

Dalam percakapan itu, Bang Bachtiar menjelaskan pemekaran provinsi akan berdampak luas pada pemerataan pembangunan, sehingga tak hanya kabupaten yang berada di seputar ibukota saja yang berkembang. 

Jika provinsi dimekarkan dengan Lampung Utara karena posisinya di tengah menjadi ibukota maka dengan kabupaten lain yang mekar dari Lampung Utara luasnya akan mencapai 58 % dari total wilayah Lampung. 

“Provinsi pemekaran akan punya daerah laut di Pesisir Barat sebagai kawasan unggulan wisata, punya kawasan puncak di Lampung Barat, pertanian kehutanan dan perkebunan di kabupaten lainnya,” paparnya. 


Pertemuan beberapa tokoh mantan bupati terjadi beberapa waktu kemudian di  Lamban Sabah milik anggota DPR RI Mukhlis Basri yang juga mantan bupati Lampung Barat.  


Sayangnya banyak juga yang apriori dengan ide ini seolah ini akan mengurangi makna historis, bahkan mengurangi wilayah kekuasaan Gubernur Lampung, Iyai Mirza. 

Sebenarnya proses itu memerlukan rentang waktu yang cukup panjang. Karena itu, justru ini diharapkan dapat terjadi karena posisi tawar yang bagus Gubernur Mirza dengan pemerintah pusat. Gubernur adalah putra daerah Lampung Utara, tak salah para tokoh itu berharap di masa kepemimpinan Gubernur Mirza proses itu dimulai.


Begitulah Bang Bachtiar selalu punya visi jauh kedepan, selain itu ia memiliki minat pada banyak hal, termasuk olahraga dan seni. 


Ajaklah bicara soal pertanian, perikanan, kehutanan dan perkebunan, meski alumni fakultas hukum UII, ia  setidaknya mampu mengimbangi perbincangan dengan pakarnya sekalipun. Ia tak pernah mengajarkan hal yang buruk, dan baginya menjunjung tinggi komitmen dan loyalitas harus jadi karakter utama. 

***

Malam itu, 18 April, jadi pertemuan terakhirku dengannya. Saya pamit sekitar pukul 23.00. 

Aneh sekali, ia tiba-tiba bilang, “Coba saya minta rokok kamu sebatang."

Saya buru-buru menyerahkan kotak esse biru itu dan ia mencomotnya sebatang. Di luar kebiasaan,  ia mengantarku ke depan menuju ke mobil.

Aku pikir karena malam itu sedang sepi dan mungkin tidak ada pria lain di rumah. Aku mendengar kabar dia sakit tanggal 14 Mei sore, aku beberapa kali meneleon Handoko, mantan Walpri beliau yang standby di UGD Abdul Moeloek dan mendapat berita beliau dalam kondisi sadar dan masih dalam perawatan. 

Esoknya, pagi-pagi dalam perjalanan ke Bandara Raden Intan hendak ke Jakarta, aku coba telepon Nanggara, putra beliau namun tak tersambung.

Tetapi, beberapa jam kemudian Nang chat WA: Saya baru bangun, Bang. Papah kondisinya sudah membaik tapi masih dirawat. 


Aku berharap beliau lekas baik seperti sedia kala, selama ini kami tak pernah mendengar ia sakit hingga di opname. Sore lebih kurang bakda ashar di seputar Kemayoran, baru selesai aktivitas dan merebahkan tubuh, dua panggilan telepon dari orang berbeda kuabaikan. 


Panggilan telepon ketiga, aku yakin ini soal penting. Syahriza, sahabatku dari seberang sana mengabarkan kepergian beliau dan menanyakan alamat untuk pengiriman karangan bunga. Ya Tuhan. Aku sesak dan kehilangan, menangis sesenggukan, istriku mencoba menenangkanku dengan mengelus-elus lenganku. Tuhanku, dia orang baik. Dia orang baik. 


Setelah meninggalnya ayah pada 2005, aku terhubung secara strategis dengannya pasca Pilkada Lampung Utara 2008. Meski mulutku memanggilnya abang, hatiku memanggilnya Papah. Ia mensupport diriku dalam banyak hal. Ia membimbing, mengarahkan, memberi nasihat. Aku tak pernah berseberangan dalam politik dengannya. Dalam pertempuran yang menentukan, aku siaga dan berjuang bersamanya. 


Izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah Eulogi.
Saya menulis ini bukan sebagai penghormatan formal, tapi sebagai bentuk duka yang dalam. Bachtiar Basri, bagi saya, adalah sahabat, mentor dan orang tua yang hadir bagai pohon di tengah terik: tak banyak bicara, tapi meneduhi.
Ia bukan tokoh yang gemar berdiri di depan kamera, bukan pula politisi yang lihai menata retorika agar disukai publik. Ia memilih jalan yang sunyi: mengabdi dengan senyap, bekerja dengan hati, dan memimpin dengan sikap. Kami bersahabat bukan karena jabatan atau afiliasi. 


Kami berteman karena nilai—karena cara memandang dunia ini dengan kesederhanaan yang jujur.
Dalam pergaulan kami, saya lebih banyak mendengarnya daripada bicara. Ia mengajarkan saya bahwa kesabaran dan keteguhan tidak perlu diumumkan, cukup dijalani. Ia menjalani hidupnya dengan diam yang bercahaya.

Saya masih ingat perbincangan kami selepas Pilkada Lampung Utara 2008. Saat itu, ia hanya berkata lirih, “Kita mungkin dikalahkan dalam Pilkada, Gus, tapi jangan pernah kalah di hati rakyat.” Ucapannya itu tidak ia tujukan untuk penghiburan. Ia mengatakannya dengan keyakinan seorang lelaki yang mengerti bahwa politik sejati adalah merawat kepercayaan, bukan memenangkan kekuasaan.


Sebagai Wakil Gubernur Lampung, ia tidak berubah. Tetap dengan bahasa yang tenang, langkah yang terukur, dan perhatian yang tulus pada hal-hal kecil—yang justru paling menyentuh masyarakat. Ia tidak mengejar gemerlap. Ia tahu, yang penting adalah keberlanjutan dan ketulusan.


Kini beliau telah tiada. Tetapi, warisannya bukanlah proyek atau bangunan megah. Warisannya ada dalam ingatan orang-orang kecil yang pernah disentuhnya, dalam keputusan-keputusan yang dibuat dengan kejujuran, dalam tutur kata yang tidak menyakiti.


Saya merasa kehilangan. Tetapi saya juga merasa bangga, karena pernah merasakan sentuhan kasihsayangnya. Itu semua bagi saya lebih dari cukup untuk membuat hidup terasa lebih berarti.


Terima kasih, Kau telah mengajarkan kami arti keteguhan. 
Tenanglah dalam keabadian.
Kami akan meneruskan cahaya yang pernah kau nyalakan dalam diam.***


Jatimulyo, 25 Mei 2025

LIPSUS