![]() |
Pembantu Rektor II UIN Raden Intan Prof. DR, Safari, M.Ag., dalam dialog publik, di Selasa(13/5/2025) (inilampung.com) |
INILAMPUNGCOM --- Dialog Publik dan Deklarasi Ruang Aman Perempuan bertajuk “Urgensi Penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” yang dihelat di GSG Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, Selasa (13/5/2025) lalu, oleh Korp PMII Putri (KOPRI) Komisariat Raden Intan, diakhiri dengan penandatanganan Deklarasi Ruang Aman Perempuan.
Deklarasi
Ruang Aman Perempuan tersebut terdiri dari 6 poin, yang merupakan komitmen
bersama. Yaitu:
1.
Kampus harus menjadi tempat yang bebas dari segala bentuk kekerasan berbasis
gender, termasuk pelecehan seksual, diskriminasi, perundungan, dan intimidasi
terhadap perempuan.
2.
Setiap perempuan berhak merasa dihormati dan diberdayakan dalam seluruh proses
akademik, sosial, dan organisasi di lingkungan kampus.
3. Menolak
segala bentuk kekerasan seksual dan ketidakadilan gender, serta menolak budaya
patriarki yang membungkam suara perempuan.
4. Berpihak
kepada korban, serta mendorong adanya sistem pelaporan yang adil, aman, dan
tidak menyalahkan korban.
5. Mendorong
edukasi, sosialisasi, dan pelatihan berkelanjutan tentang pencegahan kekerasan
seksual dan penguatan kesadaran gender di kampus.
6. Berkomitmen
untuk berkolaborasi dengan seluruh elemen kampus, mahasiswa, dosen, tenaga
kependidikan, dan pimpinan, serta lembaga bantuan hukum dan organisasi advokasi
perempuan seperti DAMAR.
Deklarasi
itu ditandatangani secara simbolis oleh berbagai pihak yang hadir dalam acara
Dialog Publik KOPRI Komisariat Raden Intan.
Seperti
diketahui, acara yang diikuti puluhan peserta ini menghadirkan berbagai tokoh
dan organisasi penting, di antaranya Wakil Rektor II UIN Raden Intan, LBH
Dharma Loka Nusantara, Perkumpulan DAMAR, Action.idn, Duta Aksi Nusantara,
Juristic Indonesia, serta perwakilan organisasi mahasiswa dan pemuda dari
berbagai kampus.
Wakil
Rektor II UIN Raden Intan, Prof Dr Safari, MAg, dalam sambutannya,
menggarisbawahi pentingnya upaya sistematis dan ilmiah dalam menangani
kekerasan seksual oleh seluruh unsur kampus.
“Kampus
harus berperan aktif dalam melindungi perempuan, bukan menjadi tempat yang
menyimpan potensi kekerasan,” ujarnya.
Sementara
Ketua KOPRI Komisariat Raden Intan, Helen Dita Suryani, menyampaikan bahwa
sebagai pusat pendidikan, kampus memiliki tanggung jawab moral untuk
menciptakan ruang aman bagi perempuan.
“Kami
ingin kampus menjadi tempat yang aman dan mendukung perempuan dalam segala
aspek akademik dan sosial,” tuturnya.
Afrintina,
SH, MH, Direktur Eksekutif Perkumpulan DAMAR, mengajak peserta untuk melakukan
riset berbasis data serta membentuk lembaga penanganan independen di luar
kampus.
“Sinergi
antar elemen gerakan juga perlu diperkuat, agar korban mendapat dukungan
optimal,” katanya.
Di
sisi lain, Virdinda La Ode Achmad, SH, Founder Action.ind, Duta Aksi Nusantara,
dan Juristic Indonesia, menekankan perlunya evaluasi berkala atas implementasi
UU TPKS.
“Komitmen
kampus dalam menjunjung keadilan dan kesetaraan harus terus dikawal,” tegasnya.
Senada
dengan itu, Ahmad Hadi Baladi Ummah, SH, dari LBH Dharma Loka Nusantara,
mengungkapkan bahwa UU TPKS memberikan kerangka hukum yang lebih komprehensif
dalam menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dibandingkan
dengan KUHP. (kgm-1/inilampung)