Cari Berita

Breaking News

Dipertanyakan: “Apa Duduk-Duduk” Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Minggu, 04 Mei 2025

 

Pengamat politik dari Fisip Unila, Dr. Dedi Hermawan. (ist/inilampung)

INILAMPUNG.COM, Bandarlampung - Dipastikan, tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya Pemprov Lampung memiliki “lembaga anti korupsi”. Itulah yang dinamai Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi. Keberadaannya sah. Karena berdasarkan Keputusan Gubernur Lampung Nomor: G/188/IV.01/HK/2024 Tahun 2024. 


Apa tujuan adanya Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi ini? Menurut data dalam LKPJ Kepala Daerah Tahun 2024 khusus Inspektorat, lembaga anti korupsi yang –kabarnya- diketuai Ardiansyah, SH, tersebut bertujuan memberikan informasi terkait dengan kendala-kendala proses bisnis yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi dan memberikan usulan rekomendasi yang berhubungan dengan pencegahan tindak pidana korupsi.


Lalu apa yang selama ini telah dikerjakan oleh Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi? Tidak ada yang tahu. Ardiansyah, SH, yang diketahui pernah memimpin “Tim Lembaga Anti Korupsi” bentukan Pemprov Lampung saat beraudiensi dengan Pj Gubernur Samsudin –saat itu-, belum berhasil dihubungi untuk meminta penjelasan. Dua nomor handphone yang bersangkutan, Minggu (4/5/2025) pagi, tidak dapat dikontak lagi.


Pengamat politik pemerintahan dari PUSKAP Wilayah Lampung, Gunawan Handoko, dan pengamat politik dari Fisip Unila, Dr. Dedi Hermawan, dihubungi Minggu (4/5/2025) siang, mengaku baru mengetahui bahwa Pemprov Lampung memiliki Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi ini.


“Jujur, saya baru tahu dan dengar sekarang ini. Kalau memang resmi dibentuk melalui Keputusan Gubernur, harusnya ya jelas dong apa saja yang sudah dilakukan. Kita patut pertanyakan ‘apa duduk-duduk’ komite itu kaitannya dengan pencegahan korupsi dan rekomendasinya apa saja. Keterbukaan harus dilakukan, karena sebagai lembaga resmi bentukan pemprov, tentu ada anggaran pemerintah yang diterima,” kata Gunawan Handoko melalui pesan WhatsApp.


Ia berharap, Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi dapat menyampaikan secara terbuka apa saja yang telah dilakukannya selama ini, mengingat persoalan tindak pidana korupsi cukup serius untuk dicegah sejak dini.


“Keterbukaan itu perlu, agar semua pihak mengetahui. Apalagi ini menyangkut dunia bisnis, tentu kajian-kajian dari Komite sangat diperlukan agar dunia usaha di Lampung makin berkembang dan jauh dari persoalan,” lanjutnya.


Meski dari paparan tujuan yang dituliskan Inspektorat Lampung bahwa Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi fokus dalam bidang bisnis, namun bagi Gunawan Handoko, praktik korupsi di lingkungan pemerintah daerah juga seharusnya menjadi perhatian.


“Ada fakta bahwa dalam 4 tahun terakhir, tindak pidana korupsi di lingkaran pemerintahan se-Lampung mencapai angka 151 kasus dengan kerugian negara Rp 207 miliaran. Yang menjadikan Provinsi Lampung menempati peringkat 10 sebagai provinsi dengan kasuskorupsi terbanyak se-Indonesia. Tentu, Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi perlu menjelaskan secara transparan mengenai hal tersebut, meski mungkin tidak terkait langsung dengan tupoksinya,” urai Gunawan Handoko.


Apa Gubernur Tahu

Sementara Dr. Dedi Hermawan menilai, dengan posisi Lampung sebagai provinsi 10 besar kasus korupsinya, dimana peran Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi selama ini, dan apa yang telah dikontribusikan.


“Kita jadi patut untuk bertanya-tanya soal keberadaan Komite itu. Siapa saja personal dan mewakili unsur apa, bagaimana proses pembentukannya, apa yang melatarbelakangi dan tujuannya. Apakah Gubernur Mirza juga telah mengetahui keberadaan Komite ini, pun adakah agenda Gubernur bersama Komite tersebut,” beber Dedi Hermawan yang juga dikenal sebagai penggiat Ruang Demokrasi (RuDem).


Menurut dosen Fisip Unila itu, sepanjang pernyataan-pernyataan publiknya di berbagai forum, sepertinya Gubernur Mirza tidak pernah mengucapkan hal-hal terkait adanya Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi ini.


“Tampaknya publik atau bahkan Gubernur Mirza belum banyak mendapat informasi terkait eksistensi dan peran Komite ini, utamanya dalam pencegahan praktik korupsi di lingkungan pemerintahan di Provinsi Lampung,” kata Dedi seraya menyayangkan apabila Komite ini tidak diberdayakan atau memberdayakan diri untuk bersama Gubernur menjalankan program pencegahan korupsi.


Menurutnya, status 10 besar sebagai provinsi terkorup hendaknya menjadi momentum bagi Gubernur Mirza bersama Komite Advokasi Daerah Anti Korupsi untuk menyusun agenda pencegahan korupsi.


“Hadirkan dan wujudkan visi Provinsi Lampung sebagai zona hijau dari praktik korupsi. Rakyat menanti apa agenda bersama Gubernur dan Komite ini untuk mewujudkan visi tersebut,” tutur Dedi Hermawan.


Rugikan Negara 207 M

Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Direktori Putusan Tipikor Mahkamah Agung (MA) RI, dari tahun 2020 hingga 2024 di Provinsi Lampung telah terjadi 151 kasus korupsi yang merugikan keuangan negara Rp 207.593.412.073,19, dan menurut BPKP Perwakilan Provinsi Lampung dengan kondisi itu Provinsi Lampung menempati peringkat ke-10 sebagai provinsi dengan kasus korupsi terbanyak se-Indonesia.


Adapun ke-151 kasus korupsi itu menyebar pada 15 kabupaten/kota se-Lampung. Secara kuantitas, Lampung Timur menempati posisi teratas dengan 21 kasus, diikuti Lampung Utara 19 kasus, Bandar Lampung 15 kasus, Way Kanan 13 kasus, Tanggamus dan Pesawaran sama-sama 12 kasus, Tulang Bawang 10 kasus, Lampung Selatan dan Mesuji sama-sama 9 kasus, Lampung Tengah 8 kasus, Pesisir Barat 6 kasus, Lampung Barat 5 kasus, sedangkan Pringsewu, Metro, dan Tulang Bawang Barat masing-masing 4 kasus.


Sementara, kerugian negara terbesar terjadi diKabupaten Lampung Utara dengan nilai Rp 88.131.402.135,62, diikuti Kota Bandar Lampung dengan angka Rp 57.058.100.047,43, dan Tulang Bawang Rp 11.958.937,442,27. (fjr/inilampung)

LIPSUS