Oleh Hudan Hidayat, kritikus sastra
Kisah tentang sepi yang begitu mengena. Ruang tamu urung jadi ruang tamu karena ruang itu dingin - tamunya gak ada kecuali angin. Selalu tentang aku dan kamu tapi kamu bukanlah dia personal itu. Kamu itu adalah aku yang sedang mengalih-ngalih dalam puisi.
Isbedy Stiawan Z S begitu piawai mengucapkan kesepian. Kalimat-kalimatnya mengendap, mengajak kita untuk merasakannya. Pulang tertinggi adalah mati, tapi kelebat mati ini adalah turunannya: tualang, masih di "ruang tamu" juga, yang disapanya dengan "dingin". Tanpa orang lain tubuh memang berkawan dengan angin, dengan dingin.
Jasa Isbedy mengingatkan kedinginan ini. Betapa sendirinya mirruhi kita itu. Dia sendirian di ruang tamu adalah tubuh kita. Kita tidak menyadari bahwa dia ada seperti kita tidak menyadari kehadiranNya - karena sibuk dengan dunia.
Terpakainya kata "bagi" membuat kita memikirkan banyak arti, oleh kata "bagi" itu, yang begitu padat dipakai, begitu intens setelah rapatnya tiga baris awal. Angin "masuk dari lubang", tapi beda dengan "angin" Kritikus Adinan yang juga masuk dari lubang kunci. "Bagi" itu membawa serta "aku" dalam suasana "angin" yang memenuhi "ruang tamu".
Hanya angin, kata Goenawan. Kata Isbedy juga. Dan "mungkin"-nya adalah sebuah saran: pulang atau tualang. Indah sekali bait ketiga itu. Ia nyanyi sunyi yang sedemikian sepi.
malam
masih punyaku, katanya
Untuk apa mengucapkannya? Siapa yang akan merebut malam itu darinya? Itulah dia: saking kesendirinya, malam pun ia takutkan bukan punyanya lagi. Kita diajak pindah oleh Isbedy - bukan di ruang tamu lagi tapi dalam hutan tempat senyap begitu merajalela.
Langit terbuka - langit terlepas, lagi-lagi kata Goenawan. Kata Isbedy: purnama tinggi. Di situlah kemudaan itu: daun tapi mengapa disaput embun ialah napas si aku.
Kita senang menyadari pucuk itu adalah daun, daun itu adalah pucuk - permainan kata yang mungkin saja tidak dirancang untuk permainan, tapi sifat permainannya kalau kita renungi akan saling mengunci. Seakan penyair dengan instingnya yang sangat bagus menyadari hakikat ini - kita tidak bisa keluar selagi masih di sini - lalu muncul dengan ucapan Melayu lama itu: pucuk daun. Polisemi bagi kata yang saling menguatkan. di pucuk sepinya, alam senyap memperdengarkan napasnya. Adalah embun. Ia yang ditangkap dan digenggam oleh si aku.
Setelah sejenak terlena aku itu kembali lagi ke dunia inderanya yang mengenali sekelilingnya, serta tubuhnya sendiri. "ah habis sabarku", katanya. Ia pun mengkaji lagi tubuhnya yang sepi. namamu terus berbilang, sebuah usaha memperbarui ingatan terhadap dia.
Inilah puisi Isbedy Stiawan ZS yang belum diberi judul menayang di status facebook (FB) pribadi, Rabu 14 Mei 2025 malam.(red.)ruang tamu dingin
angin pelanpelan
masuk dari lubang
bagi hidupku pulang
atau pun tualang
seorang. tiada erang
kantuk melenggang
setelah tegukan terakhir
kopi yang tadi kausajikan
malam
masih punyaku
purnama tinggi
di pucuk daun
napasku berembun
ah, habis sabarku
tak juga lelap
biarpun mata kupaksa
kukatupkan; namamu
terus berbilang
malam malam
kapan aku temui fajar?
2025