Cari Berita

Breaking News

Kualitas Manusia Indonesia dan Human Development Index Menuju 2045

Dibaca : 0
 
Jumat, 02 Mei 2025


Tulisan ini adalah pengantar buku Dr. Sri Sulistyaningsih: “Membangun Karakter Bangsa…” (Red.)


Oleh Denny JA

Pada suatu pagi musim gugur di Tokyo, tahun 2020. Seorang gadis kecil bernama Mayako Matsumoto pulang sekolah bersama ibunya.

Dalam perjalanan, ia menemukan sebuah dompet kulit hitam yang berat, penuh lembaran yen dan kartu identitas. Tak ada orang di sekitar.

Mayako menatap ibunya. Sang ibu hanya tersenyum dan berkata, “Kita bawa ke kantor polisi, ya.”

Sejam kemudian, dompet itu telah kembali ke pemiliknya. Mayako hanya menerima beberapa permen sebagai ucapan terima kasih. Tak lebih. Tak ada sorotan. Tak ada tepuk tangan.

Namun kisah ini viral. Bukan karena nilai dompetnya, melainkan karena sikap spontan yang lahir dari budaya kejujuran.

Di Jepang, nilai-nilai kejujuran bukan hasil ceramah panjang. Ia tumbuh dari rumah, dari sekolah, dari teladan masyarakat.
Karakter bukan sesuatu yang dihafal, melainkan ditumbuhkan. Ia lahir dari kebiasaan yang konsisten, dari sistem yang memperkuat nilai—bukan sekadar mengulang-ulangnya.

-000-

Kisah itu menggugah saya kembali saat membaca buku Dr. Sri Sulistyaningsih: Membangun Karakter Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045.

Buku ini bukan sekadar telaah akademik, tapi seruan untuk membangkitkan nurani:
Apakah kita sungguh siap menyambut tahun 2045 — satu abad kemerdekaan Indonesia?

Tiga gagasan kunci disodorkan:

1. Krisis Karakter dan Bonus Demografi
Populasi usia produktif memang melimpah, tapi tanpa kualitas karakter, ia bisa menjelma ledakan sosial.
Dunia digital tanpa nilai, globalisasi tanpa arah—semuanya bisa menyesatkan tanpa kompas batin.

2. Kearifan Lokal sebagai Akar Karakter
Solusi bukanlah mengimpor nilai dari luar, melainkan menghidupkan ulang warisan dalam diri kita sendiri.
Hasta Sila dan Paliwara adalah kekayaan budaya yang tak usang—hanya terdiam.

3. Tripusat Pendidikan
Rumah, sekolah, dan masyarakat harus menjadi ekosistem yang utuh.
Karakter tak hanya diajarkan di kelas, tapi juga di meja makan, di warung kopi, di tempat ibadah, bahkan di dunia maya.

-000-

Menurut BPS, pada tahun 2020 lebih dari 70,7% penduduk Indonesia berada dalam usia produktif. Angka ini menjanjikan.
Bandingkan dengan Jepang (59,5%) atau Singapura (49,8%).
Namun, Indonesia menghadapi ironi: potensi besar, tetapi kualitas manusia yang belum menyusul.

Rata-rata IQ penduduk Indonesia hanya 78,49—salah satu yang terendah di Asia Tenggara.
Jepang mencatat 112,3; Singapura 105,89. IQ bukan segalanya, namun ia mencerminkan kualitas gizi, pendidikan, dan stimulasi sejak dini.
Tanpa kualitas, kuantitas justru menjadi beban.

Lihat pula Indeks Persepsi Korupsi (CPI): pada 2024 Indonesia mencatat skor 37—peringkat 99 dari 180 negara.
Jepang berada di peringkat 20 (skor 71), Singapura di posisi 3 dunia (skor 84).
Korupsi bukan hanya soal hukum, tapi gambaran karakter dan mental kolektif.

-000-

Bagaimana Jepang membangun karakter dan budaya kejujuran?

Laporan tahun 2024 mencatat: warga Tokyo mengembalikan uang tunai senilai 4,49 miliar yen ke kantor polisi.
Itu setara dengan 471 miliar rupiah.

Individu biasa menyerahkan barang temuan tanpa tekanan hukum—hanya karena merasa tak berhak.

Di rumah, anak-anak belajar lewat keteladanan. Di sekolah, kejujuran dilatih lewat kebiasaan: mereka membersihkan kelas sendiri.
Di masyarakat, kantor polisi disibukkan bukan oleh kriminalitas, tapi oleh pengembalian barang hilang.

Prinsip haji—rasa malu mengambil yang bukan hak—menjadi kekuatan budaya.
Lebih baik hidup sederhana daripada kehilangan kehormatan diri.

Bayangkan jika kultur ini tumbuh di Indonesia.
Jika dompet yang jatuh tak perlu dicari, karena keesokan paginya ia telah kembali ke pemiliknya.

-000-

Sebagai respon atas definisi karakter bangsa dari Dr. Sri Sulistyaningsih, kita masuk ke diskusi tentang Human Development Index (HDI).

HDI mengukur tiga aspek utama: kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak.
Tahun 2022, Indonesia mencatat skor 0,713, berada di peringkat ke-112 dari 193 negara.
Swiss berada di puncak dengan skor 0,967. Jepang di urutan ke-24 dengan skor 0,920.

HDI bukan sekadar angka. Ia adalah cermin peradaban.
Tanpa akses pendidikan yang adil, tak lahir masyarakat berpikir.
Tanpa kesehatan setara, solidaritas melemah.
Tanpa kesejahteraan minimum, nilai seperti kejujuran mudah roboh.

Karakter bangsa yang kuat berdiri di atas HDI yang tinggi.
HDI adalah infrastruktur tak kasatmata dari cita-cita bangsa.

Sebagaimana dikatakan Mahbub ul Haq, pencetus HDI:
“Tujuan pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang menikmati umur panjang, sehat, dan hidup bermakna.”

-000-

Bagaimana jika HDI bukan sekadar laporan tahunan, tapi sistem hidup yang bernapas bersama rakyat?

Lahir gagasan: HDI Quantum Leap—lompatan besar dalam pembangunan manusia.
Bayangkan ada sebuah otak nasional kolektif—National HDI Brain—berbasis kecerdasan buatan, yang memantau dan merespon data dari seluruh daerah secara real-time.

Ia bukan mesin dingin, tapi semacam hati bangsa: merasakan denyut pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dalam satu napas.

Lapisan Kesehatan
Melalui data pembelian seperti vitamin ibu hamil, sistem ini bisa mendeteksi risiko stunting 18 bulan sebelum terjadi.

Lapisan Pendidikan
Kurikulum STEM (ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, dan matematika) bisa disesuaikan berdasarkan kondisi di lapangan.
Misalnya, jika banyak anak berisiko putus sekolah karena jarak jauh atau kondisi ekonomi, kurikulum bisa dibuat lebih fleksibel.

Lapisan Penghasilan
Jika udara di kawasan industri tercemar, sistem akan menaikkan upah minimum.
Udara bersih bukan kemewahan—tapi hak dasar manusia.

Insentif juga disusun ulang:
Perusahaan yang mau berinvestasi di daerah dengan HDI rendah, dapat potongan pajak.
Setiap kenaikan satu poin HDI, pajaknya dipotong dua persen.

Warga miskin bisa mengakses Skill NFTs—yakni sertifikat keterampilan digital berbasis blockchain.
NFT (Non-Fungible Token) ini unik, bisa diverifikasi, dan nilainya meningkat seiring produktivitas warga.

-000-

Teknologi dalam skema ini tak menggantikan manusia.
Ia memperkuat intuisi, memperluas cakrawala, dan memurnikan keputusan.

Inilah simbiosis etis antara manusia dan AI.
Inilah HDI sebagai sistem hidup yang peka dan responsif.

Dengan sistem ini:
• Data lintas sektor membentuk jaringan kesadaran nasional.
• Talenta di desa bisa menembus pasar global, berbekal sertifikasi keterampilan.
• Dan HDI tak lagi angka mati, melainkan wajah bangsa: yang bernapas, belajar, dan bertumbuh.

Ini bukan fiksi. Ini visi.
Dan visi besar lahir dari keprihatinan yang mendalam—tentang siapa kita hari ini, dan siapa yang ingin kita jadi esok hari.

-000-

Kisah Mayako di awal hanya sebutir cahaya kecil. Tapi ia menuntun kita pada pertanyaan besar:
Bisakah Indonesia membentuk manusia yang bukan hanya produktif, tapi juga jujur, tangguh, dan berakar pada nilai?

Buku ini mengajak kita menyadari:
Karakter bukan pelengkap pembangunan. Ia adalah fondasinya.

Tanpa karakter, bonus demografi berubah jadi beban.
Tanpa integritas, teknologi berubah jadi pisau.
Tanpa keadaban, kemajuan menjadi semu.

HDI bukan hanya angka. Ia adalah cermin.
Dan bangsa besar adalah bangsa yang berani menatap cermin itu—dengan jujur dan mau memperbaiki wajahnya.

2045 bukan sekadar angka.
Ia adalah ujian sejarah:
Apakah kita akan menjadi besar?
Besar dalam jumlah, dalam etika, dan dalam peradaban? ***

Jakarta, 2 Mei 2025

Referensi
Kompas.com. (2023, September 7). Negara Asia Tenggara dengan rata-rata IQ tertinggi di dunia 2023: Indonesia urutan berapa?
https://www.kompas.com/tren/read/2023/09/07/110000465/negara-asia-tenggara-dengan-rata-rata-iq-tertinggi-di-dunia-2023-indonesia?page=all&utm_source=chatgpt.com

Transparency International. (2024). Corruption Perceptions Index 2024.
https://www.transparency.org/en/cpi/2024

World Population Review. (2023). Average IQ by country 2023.
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/average-iq-by-country

Facebook. (2024). Viral kisah kejujuran warga Tokyo: Dompet dikembalikan ke polisi.
https://www.facebook.com/share/16EEtcanm8/?mibextid=wwXIfr


LIPSUS