Cari Berita

Breaking News

Lansia Menolak Tua: Sekolah Kehidupan yang Tak Pernah Usai

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Rabu, 07 Mei 2025

Nur Fadhilah


Oleh, Nur Fadhilah


Usia memang bertambah, rambut mungkin mulai memutih, dan sendi tak lagi sekuat dahulu. Namun, semangat untuk terus belajar, berkarya, dan berkontribusi tak pernah mengenal kata usang. Dalam era di mana usia kerap menjadi batasan bagi produktivitas, gagasan "Lansia Menolak Tua", menyadarkan sebuah narasi optimisme bahwa usia hanyalah angka, bukan batasan untuk berkembang. Gagasan ini hadir sebagai bentuk perlawanan filosofis dan eksistensial terhadap stereotip yang mereduksi potensi individu hanya karena angka. 

Lansia, kelompok usia yang selama ini diidentikkan dengan ketergantungan dan kemunduran, justru menunjukkan bahwa semangat untuk belajar, berkarya, dan berdaya tidak mengenal titik henti. Ini bukan sekadar optimisme kosong, tetapi realitas yang dibuktikan oleh tumbuhnya gerakan-gerakan pembelajaran sepanjang hayat, seperti "Sekolah Lansia" yang tersebar di berbagai komunitas.


Usia biologis mungkin bergerak linier, membawa serta penurunan fungsi-fungsi fisiologis secara alamiah. Namun, usia psikologis dan intelektual bisa tetap dinamis dan adaptif, bahkan transformative, selama ada stimulus pembelajaran yang bermakna. Di sinilah letak keistimewaan lansia yang menolak tua, mereka tidak sekadar bertahan dalam usia senja, melainkan menantang batas-batas usia dengan terus menanam ilmu, memperluas wawasan, dan menyala dalam api semangat seperti remaja yang baru pertama kali menemukan makna hidup.


Fenomena ini mengonfirmasi konsep successful aging dan productive aging, yang menekankan pentingnya keterlibatan aktif lansia dalam aktivitas sosial, kognitif, dan spiritual. Sekolah lansia tidak hanya menjadi sarana formal untuk pembelajaran, tetapi juga ruang sosial yang membangun harga diri, memperkuat identitas, serta memperluas jejaring sosial. Kegiatan-kegiatan di dalamnya bukan sekadar untuk "mengisi waktu luang", tetapi sebagai platform transformatif bagi lansia untuk terus menjadi subjek, bukan objek dalam pembangunan masyarakat.


Jika belajar adalah proses untuk menjadi, maka lansia yang menolak tua adalah simbol manusia yang tak pernah selesai dalam proyek keberadaannya. Mereka telah memahami bahwa menjadi tua adalah keniscayaan, tetapi menjadi lemah, menyerah, dan pasif adalah pilihan. Dalam diri mereka, terkandung pelajaran paling radikal tentang resiliensi eksistensial, kemampuan untuk terus berkembang dalam keterbatasan, melampaui rasa takut, dan memaknai hidup dalam setiap hela napas yang tersisa.


Sudah waktunya masyarakat berhenti memandang lansia sebagai beban. Justru mereka adalah agen pembelajaran, penjaga nilai, dan sumber inspirasi lintas generasi. Mereka tidak memerlukan belas kasihan, melainkan akses terhadap pendidikan yang inklusif dan ruang untuk tetap berkarya. Karena bagi mereka, belajar bukan hanya hak, tetapi juga kebutuhan spiritual yang menjaga nyala kehidupan agar tak pernah padam.


Maka, kepada setiap pembaca, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: Jika para lansia tak pernah berhenti belajar, apakah kita yang lebih muda masih berani bermalas-malas dalam pencarian makna hidup? "Menolak tua" bukan tentang melawan usia, melainkan tentang menaklukkan keterbatasan diri. Dan dalam perjuangan itu, para lansia telah lebih dulu menunjukkan jalannya.(*)



*)

Nur Fadhilah

Dosen Fakultas Kesehatan Universitan Muhammadiyah Pringsewu 

Koord Indonesia Ramah Lansia Kota Bandar Lampung

 

LIPSUS