Oleh, Nur Fadhilah
Dalam hiruk-pikuk pembangunan nasional yang berorientasi pada bonus demografi, ada satu kelompok populasi yang kerap kali terpinggirkan dari skema prioritas: Siapakah dia? Lansia. Ironisnya, kelompok usia ini justru menjadi cermin nyata dari keberhasilan sistem sosial, kesehatan, dan pembangunan berkelanjutan. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar siap menyambut era populasi menua dengan strategi yang bermakna, atau kita hanya sibuk membuat program yang seremonial belaka.
Data BKKBN 2023 menunjukkan bahwa populasi lansia Indonesia diproyeksikan mencapai 48,2 juta jiwa pada 2035. Lonjakan ini bukan hanya persoalan kuantitas, tetapi juga kualitas. Di sisi lain, pandemi COVID-19 membuka mata kita bahwa lansia adalah kelompok paling rentan, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial dan mental. Depresi, isolasi sosial, dan penurunan fungsi kognitif melonjak drastis selama masa pandemi. Fenomena terkini menunjukkan bahwa banyak lansia Indonesia mengalami double burden: disorientasi makna hidup pasca pensiun dan degradasi fungsi tubuh. Tanpa intervensi strategis, lansia rentan terjebak dalam isolasi sosial, penyakit degeneratif, hingga kehilangan kepercayaan diri.
Di tengah situasi tersebut sekolah lansia hadir sebagai inovasi komunitas yang menjanjikan. Bukan sekadar tempat berkumpul dan mengisi waktu luang, tetapi sebagai ruang pembelajaran yang sistematis, mengajarkan lansia tentang manajemen stres, kontrol penyakit kronis, literasi digital, hingga spiritualitas aktif, sehingga dengan kegiatan tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup lansia melalui pendekatan berbasis 7 dimensi lansia tangguh: spiritual, intelektual, fisik, emosional, sosial, profesional, dan lingkungan. Ini bukan jargon akademis kosong, ini adalah kerangka holistik yang, jika diterapkan dengan sungguh-sungguh, mampu merombak stigma "usia senja adalah usia tak produktif”. Dampaknya? Sebuah studi evaluatif dari Universitas Indonesia tahun 2022 menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam sekolah lansia meningkatkan skor kesejahteraan subjektif hingga 40% dan kemandirian dalam aktivitas harian sebesar 25%.
Tujuh dimensia lansia Tangguh, digambarkan sebagai sebuah kemampuan/ kekuatan/ motivasi/ keinginan yang dimilki lansia untuk dapat bertahan semaksimal mungkin, menyesuaikan segala perubahan yang terjadi sebagai akibat dari proses menua. Dimensi spiritual memberi makna pada proses penuaan, menguatkan jiwa agar tetap bersyukur dan tidak mudah rapuh secara mental. Dimensi fisik menanamkan gaya hidup sehat dan aktif yang memperpanjang usia produktif lansia. Dimensi emosional mengajarkan kontrol diri, menghindari kesepian yang bisa berujung pada depresi. Dimensi intelektual membuktikan bahwa belajar tidak mengenal usia, dan otak bisa tetap tajam di usia senja. Dimensi sosial menghadirkan kembali semangat bermasyarakat, sehingga lansia tidak merasa dikucilkan. Dimensi profesional membangkitkan kembali identitas dan keahlian, agar lansia tetap merasa berguna dan mampu memberi kontribusi. Sedangkan dimensi lingkungan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya ruang hidup yang aman dan ramah usia. Oleh karena itu, saatnya pemerintah daerah, lembaga keagamaan, akademisi, dan masyarakat sipil menjadikan Sekolah Lansia sebagai gerakan kolektif, bukan proyek sporadis.
Jika sekolah formal untuk anak-anak adalah kewajiban, mengapa sekolah lansia belum menjadi kebutuhan? Jika lansia yang tangguh bisa menurunkan beban sistem kesehatan, meningkatkan peran sosial, dan bahkan menopang ekonomi keluarga melalui usaha mikro atau keterlibatan sosial, mengapa Sekolah Lansia belum dijadikan program nasional yang masif dan berkelanjutan? Ini adalah saat yang tepat untuk mengubah paradigma. Lansia bukan beban. Mereka adalah aset sosial yang sedang menunggu dipantik kembali daya hidupnya. Melalui Sekolah Lansia, kita tidak hanya mencetak individu tangguh, tapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai komunitas, solidaritas lintas generasi, dan ketahanan sosial.
Maka, pertanyaannya sekarang bukan lagi perlu atau tidak? Tetapi, beranikah kita menginvestasikan kebijakan pada masa tua bangsa ini sebelum kita semua menjadi bagian darinya? Sudah saatnya paradigma tentang lansia diubah. Lansia bukan beban, tetapi aset bangsa. Mewujudkan lansia tangguh adalah investasi peradaban. Jika bangsa ini ingin bermartabat hingga usia senja, maka membangun lansia tangguh adalah harga mati. siapa lagi yang akan ikut mendorongnya lebih luas? Karena jika kita diam, kita sedang membiarkan generasi lansia kita menua dalam sunyi. Tetapi jika kita bergerak, kita sedang membangun Indonesia yang tidak hanya muda, tapi juga bijak di usia tua. Apakah Anda siap menjadi bagian dari gerakan ini?(*)
Nur Fadhilah, M. Kes, Ph, D
Dosen Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung
Koord. Indonesia Ramah Lingkungan Kota Bandar Lampung