Cari Berita

Breaking News

10 Puisi Esai Pemenang: Dilema Batin Petugas Perbatasan dan Luka Sosial Lainnya

Dibaca : 0
 
Sabtu, 28 Juni 2025


Oleh Denny JA


Di Semporna dan Sandakan, dua kota di pantai timur Sabah, perahu-perahu kecil nyaris tak terdengar datang dari perairan Laut Sulu.

Mereka membawa manusia yang tak lagi punya tanah, dokumen, bahkan kadang nama yang sah secara negara.

Ibu-ibu dengan bayi dalam gendongan, lelaki-lelaki tanpa paspor, anak-anak yang belum pernah sekolah.

Menurut UNHCR dan Kementerian Dalam Negeri Malaysia, hingga 2023, terdapat lebih dari 800.000 migran tak berdokumen di Malaysia.

Sebagian besar mereka menetap di Sabah. Mereka bukan teroris. Mereka melarikan diri dari kemiskinan di Mindanao, Sulawesi, atau Kalimantan.

Namun, ketika mereka melangkah di negeri orang, satu garis tak kasat mata berubah menjadi tembok baja: hukum.

Dan di balik tembok itu, berdirilah petugas.

Ia tidak menulis aturan, tapi harus menjalankannya. Ia tak pernah melihat wajah orang-orang ini sebelumnya, tetapi ia harus menolak mereka datang.

-000-

Inilah yang disuarakan Beathres Petrus dalam puisi esainya yang memukau, "Antara Wajah dan Wibawa".

Puisi ini memenangkan Hadiah Utama 1 dalam Sayembara Puisi Esai Antarabangsa Kota Kinabalu 2025.

Ditulis dari sudut pandang seorang petugas garis depan, puisi ini bukan protes. Ia adalah doa profesional:

Aku tidak mahu undang-undang dilonggarkan
tapi aku mahu undang-undang
ditulis dengan tangan yang tahu apa itu pengampunan.”

Puisi ini menjadi pusat gravitasi sayembara karena pendekatannya yang orisinal dan keberaniannya membicarakan kemanusiaan dari balik seragam, bukan dari balik luka korban.

Ia menggetarkan justru karena kejujurannya yang sunyi. Ia tak bicara atas nama “yang kalah,” tapi atas nama “yang menjaga”—yang juga sering tak punya suara.

Membaca puisi esai Antara Wajah dan Wibawa karya Beathres Petrus, saya teringat pada sebuah karya sastra dunia yang mengangkat topik yang nyaris serupa: The Line Becomes a River (2018) karya Francisco Cantú.

Sebuah memoar kontemplatif yang lahir dari pengalaman langsung sang penulis sebagai agen Patroli Perbatasan Amerika Serikat di gurun Arizona dan sepanjang perbatasan AS–Meksiko.

Cantú, keturunan Meksiko-Amerika, ditugaskan untuk menangkap dan mendeportasi migran yang masuk secara ilegal.

Namun, yang ia temukan bukan sekadar pelanggar hukum, melainkan manusia: anak-anak yang kehausan, ibu yang membawa bayi, serta tubuh-tubuh yang mati di tengah padang pasir.

Yang paling mengguncang: ia harus mendeportasi teman ibunya sendiri. Memoar ini menjadi elegi sunyi tentang dilema penjaga pagar—antara tugas negara dan jerit nurani.

Puisi esai Antara Wajah dan Wibawa pun berbicara dari tempat yang sama: dari tubuh petugas. Bukan dari sudut pandang korban atau aktivis, melainkan dari orang yang berdiri di perbatasan.

Ia berseragam, dituntut menegakkan aturan, tetapi hatinya remuk melihat anak-anak dan ibu yang tiba tanpa dokumen.

Keduanya—memoar dan puisi—merekam konflik batin yang halus namun menyayat. Cantú menulis:

“Apakah yang saya lakukan ini membela negara, atau mengingkari kemanusiaan?”

Sementara Beathres menulis:

Aku tidak mahu undang-undang dilonggarkan / tapi aku mahu undang-undang / ditulis dengan tangan yang tahu apa itu pengampunan.”

Keduanya tidak menolak hukum, tetapi mempertanyakan: bisakah hukum punya jendela untuk kasih?

Persamaan keduanya adalah ketegangan antara wibawa negara dan wajah manusia.

Mereka memotret seorang penjaga, bukan sebagai alat sistem, tetapi sebagai pribadi yang mampu mendoakan, meragukan, dan menangis diam-diam.

Mereka mengingatkan kita bahwa di balik pagar besi dan protokol, ada manusia yang juga sedang diuji. Bahwa penjaga pun bisa merasa terkepung: bukan oleh musuh, tetapi oleh rasa bersalah.

Dan dari dua karya ini, kita ditarik masuk ke ruang yang jarang dibuka sastra: ruang batin petugas.

Di sana, kita belajar bahwa terkadang, tugas paling berat bukanlah menolak atau menerima, tetapi berdiri di antara keduanya dengan hati yang masih hidup.

-000-

Kesepuluh puisi esai pemenang Festival Puisi Esai ASEAN ke‑4 (2025) adalah mosaik luka sosial Asia Tenggara yang dirangkai dalam bahasa puitis dan dokumentatif.

Dalam Festival kali ini, masuk hampir 1000 puisi esai dari berbagai negara.

Isbedy Stiawan ZS mengangkat konflik agraria warga Wadas yang menolak tambang andesit demi menjaga mata air leluhur ("Wadas, Apakah Kita Masih Satu Tanah Air?").

*Datin Seri yang Hilang di Tengah Kota Raya", ditulis oleh Jaya Ramba, merekam misteri hilangnya Pamela Ling, aktivis anti-korupsi yang lenyap dalam kabut kekuasaan.

D. Kemalawati menyayat hati lewat Khaliza", kisah pengungsi Rohingya di Laut Andaman.

Sementara Ririe Aiko dalam "Mata Kecil yang Menangis" menuliskan elegi pilu Engeline, gadis delapan tahun yang dibunuh ibu angkatnya. Puisi ini mencakar nurani: betapa sunyi jeritan anak yang tak terdengar dunia.

"Filmorita" oleh Sasjira menuturkan kisah diaspora dan ibu yang terpisah 27 tahun dari anak kandungnya.

$Pemergian Tanpa Amaran" menyuarakan rasa bersalah seorang ibu setelah anaknya bunuh diri.

Hamri Manoppo mengecam ketidakadilan tambang emas rakyat.

Nur Hafizah Hasrin mengangkat sunyi lansia yang dilupakan.

Amirah Abdullah memuliakan jururawat COVID-19.

Hanom Ibrahim menziarahi luka lama tragedi Memali.

Topik-topik ini penting karena menyuarakan mereka yang terpinggirkan: anak kecil, lansia, migran, rakyat miskin, hingga suara batin para petugas garis depan.

Puisi-puisi ini adalah arsip empati, sekaligus cermin peradaban.

-000-

Puisi esai, seperti 10 karya di atas, bukan sekadar genre sastra. Ia adalah jembatan antara fakta dan emosi, antara sejarah dan dramatisasi.

Ia tidak hanya menggugah, tetapi mengajari kita untuk mengenal luka dunia dengan empati dan puitika.

Melalui format ini, puisi tak hanya menjadi alat ekspresi, tapi juga instrumen dokumentasi sosial.

Kita tidak hanya diajak menangis bersama para korban; kita diajak mengerti mengapa mereka menangis, di mana mereka menangis, dan apa yang bisa dilakukan agar tangis itu berhenti.

Ketika seorang penjaga perbatasan berkata:

Aku bukan penyair.
Tapi sejak kerja ini bermula,
aku belajar membaca perasaan
melalui kelipan mata…”

Maka kita tahu: puisi sudah bukan lagi milik penyair. Ia telah turun ke bumi, ke meja petugas, ke ladang yang dirampas, ke kamar tua yang sunyi, ke lubang tambang yang basah darah.

Puisi esai adalah suara bagi mereka yang tak sempat menulis. Festival ini telah menjadi altar kecil untuk menghadirkan mereka ke dalam sejarah sastra Asia Tenggara.

Karena, seperti yang diyakini oleh petugas itu dan para penyair di sini: keamanan dan kemanusiaan bukan lawan, tetapi dua kaki dari bangsa yang ingin berdiri tegak.***

Jakarta, 28 Juni 2025


LIPSUS