![]() |
PT Wahana Raharja (ist/inilampung) |
(Bagian II)
Untuk diketahui, awalnya Wahana Raharja berupa Perusahaan Daerah (PD), didirikan berdasarkan Perda Provinsi Lampung Nomor: 15 Tahun 1991, tanggal 9 November 1991. Lalu melalui Akta Notaris Siti Agustina Sari, SH, MKn, Nomor: 166 tanggal 29 November 2013 –yang telah disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: AHU-65605.AH.01.01 Tahun 2012 tanggal 2 Januari 2013-, BUMD milik Pemprov Lampung itu berganti menjadi PT Wahana Raharja.
Bila mengacu pada Akta Notaris Mahfud, SH, MKn, Nomor: 07 tanggal 15 November 2018, RUPS PT Wahana Raharja mengungkapkan bahwa modal dasar perseroan sebanyak Rp 25.000.000.000. Terdiri atas: Pemprov Lampung Rp 24.995.000.000, dan PT Jasa Lampung Utama (LJU) Rp 5.000.000.
Tercatat pada tahun 2022 lalu posisi komisaris dijabat oleh Elvira Umihanni –kini Kepala Bappeda Lampung- dan direktur Alamsyah. Tahun 2023 Budiono tertulis sebagai komisaris dan Jevri Afrizal direktur. Pada 30 November 2023, Gubernur –saat itu Arinal Djunaidi- melantik pengurus baru PT Wahana Raharja sesuai hasil RUPS Nomor: 500/042/INT/WR.UP/XI/2023 terdiri dari: Kusnardi komisaris utama, Untung Suryono komisaris independen, Jevri Afrizal direktur utama, dan Witoni direktur operasional.
Belakangan beredar kabar, kepengurusan atau pengelola PT Wahana Raharja telah berganti. Sulpakar menjabat komisaris utama, Antonius komisaris, dan Yondri direktur operasional. Disebut-sebut, Jevri dan Witoni telah mengajukan pengunduran diri.
Terlepas dari silang-sengkarut siapa pengelola yang sebenarnya, jika menilik Perda Provinsi Lampung Nomor: 15 Tahun 1991 tujuan didirikannya PT Wahana Raharja adalah meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dalam rangka pembangunan daerah. Melalui bidang usaha perdagangan umum, pertanian, perkebunan, industri, pertambangan, jasa, konstruksi, distribusi, percetakan, dan penerbitan.
Bagaimana kondisi keuangan PT Wahana Raharja yang sebenarnya? Mengacu pada Laporan Keuangan sampai tanggal 31 Desember 2023 lalu –sebagaimana tertuang dalam LHP BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung Atas Laporan Keuangan Pemprov Lampung Tahun 2023 Nomor: 40.A/LHP/XVIII.BLP/05/2024 tanggal 3 Mei 2024- total asetnya Rp 8.790.886.821.
Sementara piutang macet di tahun 2022 sebesar Rp 2.067.589.946 dan di 2023 jumlahnya Rp 1.980.057.548, dengan jumlah aset lain-lain Rp 2.367.589.946 di 2022 dan Rp 2.276.057.548 pada 2023.
Posisi utang PT Wahana Raharja di 2023 pada angka Rp 2.794.758.036, yang terdiri dari utang ATK senilai Rp 125.226.654, dan utang kepada PT Semen Baturaja Rp 2.669.531.382. Sedangkan beban gaji dan tunjangan di tahun 2023 mencapai Rp 689.438.264, mengalami penurunan signifikan dibandingkan tahun 2022 di angka Rp 1.651.540.037.
Soal Lahan 206 Hektar
Kasus penjualan lahan seluas 97 hektar oleh oknum direksi kepada S senilai Rp 3 miliar, baru dipanjar Rp 900 juta, terindikasi bagian dari permainan untuk menutupi penjualan 50 hektar lainnya dibawah tangan.
Kenapa PT Wahana Raharja berani mengklaim lahan 206 hektar di Rejomulyo, Pasir Sakti, Lampung Timur, itu sebagai “miliknya”? Sejak ditandatanganinya MoU tanggal 18 Oktober 1995 antara PT Wahana Raharja –diwakili dirut saat itu Muchtar Lutfi- dan Muzali, ketika itu Kades Transos Rejomulyo, tentang penggunaan lahan 112 warga seluas 206 hektar untuk usaha penambangan pasir BUMD Pemprov Lampung tersebut, upaya untuk “memiliki” memang sudah dilakukan.
Terbukti pada tanggal 15 November 1995 melalui surat nomor: 594.3/1235/WR.4/1995 PT Wahana Raharja meminta bantuan penerbitan sertifikat tanah seluas 206 hektar tersebut kepada Kakanwil BPN Provinsi Lampung, dengan alasan untuk memberikan perlindungan hak atas lahan milik petani. Gubernur –saat itu Poedjono Pranyoto- dalam surat bernomor: 594.3/3426/04/1995 tanggal 12 Desember 1995 menguatkan permintaan PT Wahana Raharja tersebut kepada Kakanwil BPN.
Sekira 2 tahun kemudian, muncul akta pengikatan jual beli nomor: 33 tanggal 16 Juni 1997 yang diterbitkan oleh Notaris Asvi Mapilindo. Isinya: Perjanjian jual beli antara Dirut PT Wahana Raharja, Muchtar Lutfi, dengan warga Rejomulyo dengan harga Rp 9.000.000 untuk lahan 15.000 m2.
Keberadaan akta notaris ini sama sekali tidak diketahui warga Rejomulyo. Mereka semakin terkaget saat mengetahui telah terbit sertifikat hak milik masing-masing warga, namun tidak pernah diberikan kepada warga. Persoalan pun semakin tidak jelas. Namun, PT Wahana Raharja tetap mengklaim lahan seluas 206 hektar itu sebagai miliknya.
Sebenarnya, pengakuan PT Wahana Raharja itu mengherankan. Mengapa? Karena pada tahun 2006 –atau setelah 9 tahun akta notaris ditandatangani- PT Wahana Raharja mengirim surat ke Gubernur Lampung dengan nomor: 590/013/WR.2/2006 tanggal 6 Januari 2006, mengenai sertifikat tanah masyarakat Rejomulyo.
Atas surat itu, Gubernur –saat itu Sjachroedin ZP- melalui surat bernomor: 500/0190/04/2006 tanggal 24 Januari 2006, menyampaikan 3 hal:
1. Mengingat kondisi keuangan Wahana Raharja saat ini belum memungkinkan dan perusahaan telah memiliki areal penambangan pasir yang belum dimanfaatkan secara optimal, maka terhadap tanah seluas 937.885 m2 yang terletak di Desa Rejomulyo, Kecamatan Pasir Sakti, Kabupaten Lampung Timur, belum perlu dibeli oleh PD Wahana Raharja.
2. Terhadap 109 buah sertifikat milik masyarakat Rejomulyo agar diserahkan secara resmi kepada masing-masing pemilik dengan biaya penggantian disesuaikan dengan hasil kesepakatan antara pihak PD Wahana Raharja dengan masyarakat pemilik sertifikat.
3. Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari, maka dalam penyerahan sertifikat harus memperhatikan hal-hal antara lain:
- Diserahkan secara resmi langsung kepada pemilik sertifikat dengan disaksikan oleh pejabat setempat (BPN Lampung Timur, unsur Kecamatan dan Perangkat Desa) dengan disertai tanda terima penyerahan.
- Dibuatkan Berita Acara Penyerahan yang ditandatangani oleh masing-masing pihak dan disaksikan oleh pejabat setempat.
Diikutikah arahan Gubernur Lampung itu oleh PT Wahana Raharja? Besok lanjutannya. (bersambung/kgm-1/inilampung)