Cari Berita

Breaking News

Buntut Kasus Mahepel, Posisi Prof. Nairobi Goyang

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Jumat, 20 Juni 2025

 

Prof Nairobi (ist/inilampung)

INILAMPUNG.COM, Bandarlampung - Kasus tewasnya mahasiswa FEB, Pratama Wijaya Kusuma, yang diduga terkait kegiatan pendidikan dasar (diksar) Mahasiswa Ekonomi Pencinta Alam (Mahepel) Universitas Lampung (Unila), membuat goyang posisi Prof. Nairobi selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) PTN terbesar di Lampung itu.


Menurut penelusuran inilampung.com, pekan depan para petinggi Unila akan menggelar rapat khusus menyusul hasil tim investigasi internal kampus.


“Posisi Prof. Nairobi sebagai Dekan FEB saat ini goyang. Karena salah satu kesimpulan tim investigasi internal kampus atas kegiatan diksar Mahepel adalah adanya kelalaian struktural di tingkat fakultas. Dalam konteks inilah, pertanggungjawaban ada pada Prof. Nairobi selaku Dekan FEB,” kata seorang pejabat Unila, Jum’at (20/6/2025) malam, melalui telepon.


Menurutnya, jika Rektor Unila menghargai hasil kerja dan rekomendasi tim investigasi internal yang dibentuknya, sewajarnya Prof. Nairobi dicopot dari jabatan Dekan FEB buntut kasus Mahepel tersebut.


“Sebaliknya, kalau Rektor tidak menjatuhkan sanksi tegas atas kasus Mahepel ini, bisa saja suasana kampus Unila akan memanas. Sebab kalangan mahasiswa hanya menginginkan adanya keadilan sesuai hasil kerja tim investigasi internal,” lanjut dia.


Beberapa mahasiswa Unila yang dihubungi Jum’at (20/6/2025) siang, mengaku kecewa dengan sikap tim investigasi internal yang tidak secara spesifik menjatuhkan sanksi kepada Dekan FEB, Prof. Nairobi.


Kan terbukti kegiatan Mahepel mengandung unsur kekerasan fisik dan mental. Tapi kenapa tim investigasi internal kampus tidak menjatuhkan sanksi kepada Dekan FEB, Prof. Nairobi, yang dinilai lalai dalam fungsi pengawasan. Kalau akhirnya semacam ini, buat apa dibentuk tim investigasi internal. Serahkan saja semuanya kepada Polda Lampung yang telah melakukan penyidikan,” kata seorang mahasiswa FH Unila.


Mahasiswa yang tengah menyusun skripsi ini menilai, keputusan tim investigasi internal tersebut tidak mencerminkan keadilan, terlebih karena tim investigasi internal kampus telah mengungkap 3bentuk kelalaian: yaitu kelalaian individu, kelalaian kolektif oleh panitia Mahepel, dan kelalaian struktural di tingkat fakultas. Termasuk di dalamnya lemahnya supervisi dari Wakil Dekan III dan pembiaran oleh Dosen Pembina Lapangan.


Kekecewaan juga diungkap Menteri Koordinator Hukum, HAM, dan Demokrasi BEM Unila, Ghraito Arif H. Ditegaskan, Dekanat FEB seharusnya turut bertanggungjawab atas insiden tersebut.


“Wakil Dekan III memang punya kewenangan mandataris, tapi tanggung jawab tertinggi tetap di tangan Dekan. Kami menilai, sanksi tegas perlu diberikan kepada pimpinan fakultas yang lalai,” ujarnya, Jum’at (20/6/2025) siang, sebagaimana dikutip dari pembaruan.id.


Unsur Mahasiswa Disepelekan

Selain mempertanyakan keputusan tersebut, Ghraito juga mengungkap bahwa unsur mahasiswa tidak dilibatkan secara penuh dalam proses investigasi alias disepelekan.


Ia menyebut, tidak pernah mendapat undangan rapat atau akses informasi penting sebagai anggota tim investigasi.


“Dari awal hingga akhir, unsur mahasiswa hanya dijadikan formalitas. Rapat-rapat tidak pernah diinformasikan, dan protes kami kepada ketua tim pun diabaikan. Ini bentuk pelanggaran karena tidak ada transparansi dalam proses maupun hasil,” katanya.


Menurutnya, keberadaan mahasiswa dalam tim seharusnya menjadi jaminan bahwa proses berjalan terbuka dan adil. Namun yang terjadi justru sebaliknyaproses investigasi terkesan ditutup-tutupi dan berpotensi dimanipulasi.


“Atas dasar itu, kami menduga kesimpulan yang diambil tidak objektif dan menciderai marwah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Harusnya, keadilan dan perspektif korban yang dikedepankan,” tambahnya.


Sebagai bentuk desakan, BEM Unila meminta agar pihak kampus mengevaluasi total hasil investigasi, memberikan sanksi kepada pihak yang bertanggungjawab, dan memperkuat sistem perlindungan terhadap mahasiswa dalam setiap kegiatan kemahasiswaan, khususnya yang berisiko menimbulkan kekerasan. (kgm-1/inilampung)

LIPSUS