Oleh Denny JA
Di setiap ledakan, ada anak yang kehilangan ayah. Di setiap rudal yang diluncurkan, ada mimpi dunia yang lebih damai yang ikut terbakar.
Israel dan Iran. Dua bangsa dengan sejarah panjang dan sakral. Dua negara yang kini terperangkap dalam labirin dendam yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Padahal tanah mereka dipenuhi jejak para nabi: Musa, Isa (Yesus), dan Muhammad. Tapi di antara masjid, gereja, dan sinagoge, gema doa suci kian tergantikan oleh deru drone dan protokol militer.
Kini, di atas tanah yang sama, software pengintaian menggantikan kitab suci. Dan yang tersisa hanyalah nyala api dari kemarahan purba.
-000-
Ada saat dalam sejarah ketika keputusan perang tak lagi soal strategi, tapi tentang ketakutan yang menjelma menjadi keputusasaan.
Serangan Israel ke Iran pada Juni 2025 bukanlah ledakan spontan. Ia adalah kulminasi dari ketegangan yang telah disulam selama puluhan tahun. Sebuah perang pencegahan. Sebuah sinyal bahwa waktu, menurut Israel, hampir habis.
Badan intelijen—Mossad dan CIA—melaporkan bahwa Iran telah melintasi ambang kritis: uranium telah diperkaya hingga tingkat senjata. [^1]
Jika dibiarkan, hanya tinggal selangkah lagi menuju bom nuklir. Dan bagi Israel, itu berarti akhir dari keunggulan pencegahan yang menjadi tulang punggung strategi pertahanannya.
Yang diserang pun bukan sembarang target. Operasi “Rising Lion” menghantam Natanz, pusat pengayaan uranium; Parchin, tempat riset rudal balistik; hingga markas IRGC di Teheran Selatan.
Bahkan rumah para ilmuwan senior nuklir ikut menjadi sasaran. [^2]
Serangan ini presisi. Sebagian drone bahkan diluncurkan dari dalam wilayah Iran sendiri—melalui infiltrasi jaringan mata-mata.
Ini bukan sekadar serangan lintas batas. Ini operasi psikologis dan teknologi tinggi.
-000-
Namun perang, seperti halnya cinta dan kekuasaan, seringkali juga tentang motif yang tersembunyi.
Di dalam negeri, posisi Perdana Menteri Netanyahu tengah terjepit. Koalisi pemerintahannya goyah.
Ribuan warga Israel turun ke jalan, menuntut pengunduran dirinya. [^3]
Netanyahu tahu: dalam sejarah, musuh eksternal sering menjadi perekat bangsa yang tercerai. Dan Iran, sejak Revolusi 1979, adalah musuh ideal—strategis, ideologis, bahkan spiritual.
Maka serangan ini tak hanya militer. Ia adalah narasi ulang. Netanyahu ingin dikenang bukan sebagai pemimpin yang gagal, tapi sebagai tokoh yang bertindak tepat sebelum semuanya terlambat.
Namun lonceng telah berdentang. Jika damai tak segera dijalin, dunia hanya tinggal menghitung hari menuju kobaran yang lebih besar. Timur Tengah berdiri di ambang api besar.
Dan sejarah, sekali lagi, mungkin akan mencatat: yang pertama kali kalah bukanlah Iran atau Israel, tapi harapan. Dan anak-anak yang malam itu kehilangan rumah, dan langit penuh bintang.
Kadang, atas nama pertahanan, manusia justru menciptakan kehancuran yang tak bisa ditarik kembali.
-000-
Mengapa perang ini kaya dimensi?
Di balik ledakan dan drone, konflik Israel–Iran menyimpan tiga lapisan terdalam sejarah manusia: strategi, ideologi, dan spiritualitas.
Secara strategis, ini adalah tentang eksistensi. Israel, negara kecil yang lahir di tengah permusuhan, melihat senjata nuklir Iran sebagai ancaman final. Satu rudal ke Tel Aviv bisa melumpuhkan separuh negeri.
Sementara Iran melihat nuklir bukan sekadar senjata, tapi lambang martabat nasional. Setelah trauma intervensi Barat dan pembunuhan ilmuwan mereka, nuklir adalah simbol kebangkitan.
Secara ideologis, ini benturan dua dunia. Iran, dengan semangat Revolusi Islam 1979, menolak dominasi Barat dan mendukung solidaritas pan-Islamis.
Israel berdiri di atas fondasi Zionisme—impian abadi bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah leluhur setelah diaspora dan Holocaust.
Mereka bukan hanya negara. Mereka adalah gagasan. Dan gagasan seringkali lebih keras dari peluru.
Namun perang ini juga spiritual. Musa, Isa, dan Muhammad pernah menapakkan kaki di tanah yang kini diguncang rudal. Di sana kitab suci diturunkan. Di sana harapan pernah tumbuh.
Kini, di tanah suci itu, sirine lebih nyaring dari doa. Dan ketika darah menetes di atas kitab suci, kita tahu: ini lebih dari sekadar konflik politik.
Ini adalah perang atas makna.
Dan siapa pun yang menang, mungkin hanya akan mewariskan kehampaan.
-000-
Di era algoritma yang bisa menulis puisi, kita hidup dalam ironi: manusia semakin cerdas, tapi jiwa perangnya semakin purba.
Kita punya AI yang bisa memetakan bencana, menyelamatkan pasien, menyusun simfoni. Tapi kita masih memilih darah sebagai alat penyelesaian.
Apakah semua ini perlu? Apakah doa kalah oleh rudal? Apakah manusia cukup berani berdiri di antara dua kutukan: dendam dan kekuasaan?
“Dan bumi pun menangis, bukan karena langit membenci,
tetapi karena manusia lupa bahwa darah adalah bahasa yang paling sunyi.”
Dunia harus memilih.
Semakin kita diam, semakin nyaring retorika senjata. Tapi semakin cepat kita bangkit dari mimpi buruk ini, semakin besar peluang untuk menulis ulang sejarah.
Bukan dengan reruntuhan kota dan suara tangis,
tapi dengan senyum anak-anak yang utuh, dan harapan yang tak lagi terbakar. ***
Jakarta, 14 Juni 2025
Referensi:
[^1]: Reuters. Iran Enriches Uranium to 90% Purity, IAEA Report Confirms. (June 2025). https://www.reuters.com/world/middle-east/iran-enriches-uranium-iaea-2025-06
[^2]: BBC. Israel Strikes Iran in Major Operation “Rising Lion” Targeting Nuclear Sites. (June 2025). https://www.bbc.com/news/world-middle-east-israel-iran-attack
[^3]: Al Jazeera. Mass Protests in Israel Demand Netanyahu’s Resignation Amid Scandal and War. (June 2025). https://www.aljazeera.com/news/2025/6/10/netanyahu-protests